Share

malang

Kinan memilih beberapa kotak kemasan berisi kue yang sudah dipotong-potong. Ia memeriksa isinya sebelum dibawa ke depan. Ada tiga kotak berisi penuh kue yang ditumpuk dan dibawa wanita itu untuk menambah hidangan di depan.

Gelas yang tadi ia siapkan sudah dibawa terlebih dahulu oleh salah satu anak tetangganya yang dimintai tolong oleh Rini. Hati-hati Kinan melangkah sebab yang ia bawa lumayan berat.

"Duh, kok nggak ada orang," gumam Kinan saat sampai di meja hidangan dan tidak menemukan siapapun. Biasanya di bagian ini ada satu atau dua orang yang ditugaskan menjaga, gunanya untuk membantu tamu jika mereka kesulitan saat mengambil hidangan.

Sesaat Kinan meperhatikan sekeliling. Halaman rumah mertuanya yang dipasangi tenda disulap menjadi seperti ruangan, dengan dinding-dinding dari kain. Di depan sana, Indah duduk bersisihan dengan Aldi. Keduanya mengenakan baju dengan corak yang sama, Indah memakai gamis sedangkan Aldi menggunakan kemeja dan bawahan celana bahan.

"Apa aku simpan di sini aja, ya? Tapi yang di meja sana juga udah habis kayaknya." Kinan celingukan mencari orang yang dikenal, sekiranya bisa dimintai tolong. Namun, saat itu tak ada satu orang pun yang Kinan rasa bisa membantunya. Semua tetangga yang rewang sudah memegang pekerjaan masing-masing, tidak ada tenaga nganggur.

Akhirnya ia memutuskan untuk mengerjakan sendiri tugas menambah kue-kue di meja tamu. Pertama ia mengisi piring hidangan di meja hadapannya. Setelah itu ia membawa piring tersebut ke meja-meja tamu, menukar yang kosong dengan yang sudah di isi.

Kinan bergerak cepat dan cekatan melakukan tugas tersebut. Satu per satu meja tamu ia datangi dan lengkapi hidangan yang kurang. Semakin siang tamu yang datang semakin banyak, karena memang acara akan di mulai pukul 10.00. Masih tersisa waktu satu jam lagi.

"Loh, Bu." Seorang Ibu menjawil lengan teman yang duduk disebelahnya. "itu kan menantunya Bu Tini juga, ya? Kok, ngelayani tamu?" bisik Bu Nana, teman arisan Tini yang juga diundang dalam acara tersebut.

"Eh, iya, ya yang istrinya Aldo, kan? Tapi, kok beda, ya, Bu " timpal yang duduk di sebelah Bu Nana, Bu Nuning dengan berbisik pula.

Bu Nana mengangguk. "Iya, kucel banget, ya."

"Apa lain orang mungkin, Bu. Saudara istrinya Aldo mungkin." Bu Nuning memperhatikan Kinan yang sedang menukar piring brownis di meja seberang mereka.

"Ah, istrinya Aldo mana ada sodara perempuan, Bu. Dia anak perempuan semata wayang, kok. Kayaknya emang bener itu istrinya Aldo, deh." Bu Nana menyanggah.

"Iya, bener itu istrinya Aldo, saya ingat dia ada tahi lalat di dagu sebelah kanan." Bu Nana meyakinkan.

"Tapi, kok penampilannya .... " Bu Nuning menggantung ucapanya dan malah memperhatikan Kinan dari ujung kepala hingga ujung kaki.

Jilbab instan warna kunyit yang sedikit basah, setelan piyama kusut yang mulai pudar warnanya tidak mecing dengan jilbab Kinan, sandal jepit yang kebesaran di kaki wanita itu dan handuk mandi masih tersampir di pundak kanannya. Tentu itu semua bukanlah perpaduan busana yang cocok, apalagi untuk berada ditengah-tengah acara meriah seperti saat ini.

"Kok, kayak pembantu." Semakin pelan Bu Nana merbisik.

Di sebelah kanan meja yang ditempati Bu Nana dan Bu Nuning, Tini duduk bersama keluarga besan. Mama dan papanya Indah, budenya Indah dan keponakannya. Karena kursi yang Tini duduki saling membelakangi tempat duduk Bu Nuning, bisik-bisik keduanya pun sampai juga di telinga mertua Kinan tersebut.

Pandangan Tini tertuju pada Kinan yang bergerak cekatan mengisi tambahan hidangan. Seperti dilempari dengan kotoran di wajah, bukan main malu yang ia rasa. Bagaimana tidak, penampilan sang menantu sangat tidak pantas untuk hadir di tengah-tengah kemeriahan acara.

Bukan hanya Bu Nana dan Bu Nuning serta mertuanya yang memperhatikan, banyak lagi pasang mata yang melihat pada Kinan. Senyum tak pernah surut dari bibir Kinan, sesekali menyahuti sapaan tamu yang kebetulan mengenal dirinya. Wajah kusam karena belum dipoles make up itu tetap enak dipandang sebenarnya, sebab aslinya Kinan memang cantik.

"Besan, itu apa iparnya Indah?" Bu Retno, ibunya Indah menunjuk dengan gerakan dagu ke depan. Mengarah pada Kinan tentunya.

"Kok disuruh nambah-nambahin hidangan? Mana masih pakai baju tidur lagi, acaranya udah mau mulai lho, ini," lanjut Bu Retno mendekatkan wajah ke telinga besannya.

"Eh, mmm .... " Bingung harus menjawab apa Tini menoleh pada besannya dengan raut tak enak.

Dalam hati wanita itu tak henti mengumpat sang menantu yang telah membuatnya menanggung malu sebab perilaku kampungannya. Apalagi dalam acara ini, Bu Retno selaku besannya turut menyumbang untuk pengadaan seragam keluarga. Semua anggota keluarga mendapat bagiannya, termasuk Kinan sang menantu benalu.

"Apa Kinan nggak dapat seragam? Kenapa nggak bilang kalau kurang, kan bisa saya pesan lagi." Bu Retno bertanya sembari masih memperhatikan Kinan.

"Ada, kok, ada. Semua udah dapat seragamnya, Bu." Cepat Tini menyahut. "Lengkap, sampai cucu-cucu juga dapat," lanjut Tini.

Bu Retno mengangguk. "Lalu Kinan, kok .... "

"Mmm, itu. Duh, gimana ngomongnya, ya. Saya jadi nggak enak sama Besan." Tini membenarkan posisi duduknya.

"Kenapa, Bu?" tanya Bu Retno dengan kening mengerut.

"Permisi, Bu." Dengan senyum sopan Kinan beralih dari meja Bu Nuning ke meja sebelah kanan yang dilihatnya piring bolu gulung sudah habis isinya.

Tanpa ia sadari meja selanjutnya yang didatangi adalah meja keluarga besan dan ada mertuanya juga di sana.

"Nduk Kinan," tegur budenya Indah yang duduk di sebelah keponakan Indah.

Merasa namanya di panggil, Kinan mendongak setelah meletakkan piring bolu gulung yang baru. Pertama yang ia lihat adalah wajah budenya Kinan, wanita limapuluhan tahun itu tersenyum.

"Bude." Kinan membalas dengan senyum tak kalah ramah. Selanjutnya, anak mata Kinan mengedar pada siapa-siapa saja yang menempati kursi di meja tersebut.

Keponakan Indah, papanya Indah, mamanya Indah dan ibunya Aldo, mertuanya. Senyum Kinan menjadi hambar kala tatapannya bersirobok dengan Tini. Bukan hanya tak ia dapati senyum pada mertuanya, tetapi juga air muka Tini yang keruh.

"Bikin malu!" Bibir Tini bergerak tanpa mulutnya mengeluarkan suara. Sorot mata Kinan berubah sendu sarat rasa bersalah, berlawanan dengan tatapan tajam Tini yang seolah hendak melumat dirinya.

Kinan menunduk, tak kuasa lagi ia membalas tatapan mertuanya. Ia merutuki dirinya sendiri yang sembrono berada di tempat acara tanpa memperhatikan penampilan dan pakaian yang ia gunakan.

Dengan gerakan cepat, Tini bangkit dari tempat duduknya menyambar lengan Kinan dan menyeret wanita itu meninggalkan tempat acara.

Malang, karena tidak siap Kinan malah tersandung kakinya sendiri, tubuhnya oleng sebelum jatuh tersungkur di tanah.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Marimar
gua emosi ini tor, siapa yang bakal jadi pelampiasan gua buat di gebukin...
goodnovel comment avatar
Fernando Kanine
tertarik ceritanya bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status