Share

tak ada pembelaan

"Astagfirullah ...!" seru keluarga besan dan beberapa tamu lain.

Tak banyak yang melihat Tini menarik lengan menantunya, tetapi jatuhnya wanita berpiyama itu cukup menarik perhatian mereka. Hal itu pun membuat Tini semakin kesal dengan Kinan.

Niat awal ia ingin segera membawa Kinan pergi agar kehadiran wanita berpenampilan tak pantas itu tidak merusak acara, justru sekarang Kinan malah menjadi pusat perhatian dari semua yang hadir.

Lengkap sudah kotoran yang Kinan lemparkan pada wajah Tini. Malu berlipat-lipat wanita itu rasakan.

"Ya ampun, Ki. Kenapa sampai jatuh?" Melihat istrinya terjatuh Aldo cepat menghampiri dan membantu Kinan berdiri.

Pakaian Kinan kotor sebab halaman rumah tempatnya tersungkur tadi memang masih tanah.

"Kinan nggak apa-apa?" tanya Bu Retno khawatir.

"Ngg--nggak, Bu." Kinan terbata walau lutut dirasanya nyeri.

"Maaf semuanya, menantu saya yang ini memang agak ceroboh." Tini yang melihat beberapa tamu kasak kusuk pun cepat mengambil alih keadaan.

"Udah saya bilangin supaya jangan ikutan siap-siapin segala macam, eh, dianya ngeyel. Diminta duduk di depan juga nggak mau, padahal udah dikasih seragam. Tapi anaknya nggak mau pakai, nggak tau kenapa. Malah ikut nimbrung di dapur, padahal dibelakang udah ada yang urus sendiri," papar Tini panjang lebar. Meyakinkan seolah semua yang ia katakan benar adanya.

"Bu Besan, maaf banget bukan nggak menghargai sampean tapi emang si Kinan ini susah dikasih tau. Saya nggak tau lagi gimana caranya biar Kinan paham namanya berterima kasih, padahal seragam jatah suaminya udah dipakai sama Aldo. Tapi Kinan tetap nggak mau pakai seragamnya. Sekali lagi maaf, ya, Bu," lanjut Tini lagi.

Macam-macam ekspresi terlihat di wajah tamu-tamu yang hadir. Terlebih saat Tini mengatakan keterangan palsu, beberapa tamu ada yang mencibir, melirik tak suka, juga iba pada Kinan.

Kinan yang merasa tidak seperti itu kenyataan yang terjadi hendak menyangkal, tetapi pelototan Tini ampuh membungkam mulutnya dan mematikan nyali wanita itu.

"Ki, kamu ngomong gitu? Aku dari tadi nunggu kamu di kamar, lho." Aldo bertanya pada sang istri dengan berbisik yang dibalas Kinan dengan gelengan.

"Kalo nggak mau pakai seragam harusnya kamu diam aja, nggak perlu ngomong apa-apa ke Ibu. Malah bikin malu kayak gini," lanjut Aldo lagi.

Kinan melihat pada suaminya sarat akan permohonan dan pengertian. Seolah lewat tatapan ia ingin mengatakan bahwa semua yang diucapkan Tini tidak benar. Namun, nyatanya Aldo bukanlah cenayang yang bisa membaca isi kepala dan hati Kinan.

"Mas--"

"Ikut Ibu!" Tini meraih lengan Kinan dan menariknya masuk ke dalam rumah. Aldo pun mengekori keduanya dengan wajah menahan malu.

Di dalam rumah, di kamar Kinan dan Aldo. Tini menolak tubuh menantunya hingga Kinan jatuh ke kasur. Entah Tini yang terlalu kuat atau Kinan yang memang terlalu lemah, hingga tubuh wanita itu melayang begitu saja bak kapas tertiup angin.

"Mantu kampungan! Dasar benalu bikin malu aja!" omel Tini dengan suara tertahan. "Sengaja kamu keluar dengan dandanan babu kayak gini! Mau bikin malu Ibu?! Kampungan!"

Dua kali jatuh tubuh Kinan memang sakit, tetapi tak ada yang lebih sakit daripada hatinya kini. Luka di kulit telak tangan yang tergores saat jatuh di depan tadi dan memar di lututnya Bisa sembuh. Namun, luka di hatinya sebab ucapan Tini entah bagaiman cara mengobatinya.

"Bu." Aldo yang menyusul mereka masuk ke kamar dan menutup pintu ruangan itu rapat. Ia khawatir keributan di dalam kamar akan didengar juga oleh tamu dan keluarga yang duduk di ruang tengah dan ruang tamu.

"Lihat istrimu, Al. Berani dia keluar dengan dandanan kayak gitu, apa kalo bukan memang mau bikin Ibu malu. Ini acara sangat penting, tasyakuran tujuh bulanan Indah. Rata-rata yang datang teman-teman Indah dan rekan kerja keluarga besan, orang-orang penting dan bergengsi. Bisa-bisanya istrimu dengan nggak tahu malu muncul di hadapan umum dengan muka gembel seperti ini! Apa otaknya nggak bisa mikir!?"

Tini dengan emosi berapi-api terus menghujani Kinan dengan kata-kata pedas nan menyakitkan. Luka berdarah di hati Kinan bagai ditaburi garam, perih.

Jauh dari dalam dirinya tak pernah terbersit ingin membuat malu keluarga Tini. Semua terjadi tanpa disengaja dan keadaan yang memang membuatnya tidak memperhatikan penampilan.

Seandainya tadi tidak diburu-buru oleh Rini, tentu dirinya tak akan muncul di depan orsng banyak dengan dandanan tak layak. Seandainya tadi ia membiarkan saja Indah membawa gelas tambahan pasti Kinan sudah berganti pakaian dengan seragam keluarga.

"Ibu tahu kenapa kamu begini, Ki. Pasti kamu iri kan pada Indah yang dibuat syukuran meriah seperti ini. Iri kamu kan karena Indah lebih dulu hamil dan kasih Ibu cucu. Jadi kamu sengaja mau ngerusak acaranya Indah. Keterlaluan kamu, Ki! Kampungan!"

Kinan menggeleng cepat. "Nggak, Bu. Aku--"

"Halah! Nggak usah banyak ngomong dan membela diri nyatanya memang kamu iri dengan Indah. Ibu tahu dan bisa lihat dengan jelas kalau kamu nggak suka pada Indah! Kalau kamu pengen dibuatkan acara meriah seperti ini makanya cepat hamil! Harusnya kamu usaha gimana caranya biar cepat isi bukan malah ngancurin acara ipar!"

Tanpa perduli dengan perasaan menantunya Tini terus saja memuntahkan caci maki pada Kinan. Membuat wanita yang dinikahi putranya tiga tahun lalu itu semakin tersudut dan mati langkah. Jangankan untuk membela diri, penjelasannya pun ditolak mentah-mentah oleh Tini.

Sementara itu, sebagai suami yang diharapkan Kinan dapat menolong dan menarik dirinya dari kubangan tuduhan yang sama sekali tidak benar Aldo hanya diam menyaksikan sang ibu melontarkan sangkaan tak beralasan. Kehadiran Aldo di ruangan itu tak ubahnya penonton yang sama sekali tak memberi pengaruh apa-apa pada keadaan.

"Kamu jangan pernah keluar kamar selama acara berlangsung. Tetap di sini dan jangan coba-coba lagi menghancurkan acara ini!"

Setelah berkata demikian Tini kemudian keluar dari kamar itu. Meninggalkan Kinan dan Aldo berdua.

Keheningan menyergap ruangan tiga kali tiga meter yang Aldo tempati berdua sejak menikahi Kinan. Laki-laki itu sebenarnya ragu kalau Kinan sengaja ingin menghancurkan acara adiknya. Namun, ia pun sulit untuk membela sang istri. Apalagi yang harus dihadapi adalah ibunya sendiri, yang tak mungkin ia lawan.

"Ki."

"Aku nggak begitu, Mas. Aku sama sekali nggak kayak yang Ibu bilang."

Air mata yang sedari tadi Kinan tahan kini tumpah, bendungan yang ia buat tak mampu lagi menahan luapan kesedihan. Bulir bening itu bercucuran melewati pipi Kinan.

"Aku nggak tau harus percaya sama siapa, Ki. Tapi keberadaan kamu di depan tadi dengan penampilan begini memang nggak pantas," ucap Aldo yang malah ikut menyalahkan sang istri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Marimar
gua pengen tampol tuh laki, gda guna ya diem di situ malah jadi penonton.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status