"Jheny, kamu ngapain di sini?"
Wanita yang berada di ruang pribadi suaminya adalah Jheni, sang sekretarisa yang tadi ia temui. Vhena menatap wanita itu dengan tatapan curiga."Saya sedang ada urusan dengan Pak Yuda.” Wanita itu bahkan menyahut dengan berani. Pandangan matanya menatap sengit pada netra Vhena. “Anda sendiri untuk apa ada di sini? Ini kan ruang pribadi Pak Yuda?”"Saya istrinya Mas Yuda. Saya juga sering pergi ke kantor ini. Semua staf di sini mengenal saya. Apa kamu sekretaris baru di sini?" tanya Vhena sambil menjelaskan. Sedikit banyak, ia mulai kesal dengan kesemena-menaan wanita itu"Ada apa ini?"Terdengar suara bariton dari arah toilet, membuat dua wanita itu menoleh ke arah sumber suara.Melihat sang suami, segera Vhena menghampiri. "Mas, ini aku bawakan cemilan kesukaan kamu," ujar Vhena dengan mesra, tak lupa menggandeng lengannya."Kamu baik sekali, Sayang. Tapi tidak usah repot-repot. Bekal tadi juga belum sempat aku makan," balas Yuda seraya berjalan ke arah kursi kebanggaannya."Tidak apa, Mas," ucap Vhena tersenyum."Ekhem!" Jheny yang merasa terabaikan pun berdeham."Ah, Jheny. Kamu sebaiknya kembali bekerja. Sebentar lagi jam istirahat, cepat selesaikan tugasmu," ujar Yuda pada Jheny."Baik, Pak. Permisi," balas Jheny ketus sebelum meninggalkan ruangan."Dia sekretaris baru kamu, Mas?" tanya Vhena sambil membuka kotak makan yang tadi ia bawa untuk Yuda."Iya, Sayang. Dia baru dua minggu bekerja di sini," jawab Yuda."Oh pantes," ujar Vhena malas."Memangnya kenapa?" tanya Yuda."Tidak apa, Mas. Lain kali jangan biarkan satu orang pun masuk ke ruangan ini. Ini kan ruangan khusus kita berdua.""Iya, Sayang. Lagian kenapa kamu ke sini gak ngasih kabar aku dulu?""Tadi kan kamu bilang aku bebas mau ke sini kapan saja kan, Mas? Kamu lupa?" Vhena menatap sengit pada sang suami. "Kamu juga nggak lupa kan, Mas … kalau perusahaan ini kita bangun berdua sejak sebelum kita menikah. Modalnya dari orang tuaku, lalu kamu yang urus. Jadi, aku juga berhak dong untuk kesini kapan pun aku mau?” Tidak memberikan jeda, Vhena kembali melanjutkan kalimatnya, “Termasuk, aku juga berhak untuk melarang siapa pun masuk ke ruangan ini.”"Iya, Sayang. Aku tahu kok.”Vhena menghela napas panjang. Jawaban dan reaksi Yuda yang santai membuat amarahnya tidak lagi meninggi. "Ya sudah nih, aku suapin."**Pukul 21:00 WIB.Sementara Vhena sudah pulang sejak sore tadi, Yuda, dengan dalih ada lembur padahal kantor sudah tutup, kini tengah makan malam bersama Jheny di sebuah restoran mewah."Jadi, kamu sudah punya istri, Mas?" tanya Jheny sambil mengunyah makanan yang ia pesan."Ya. Maka dari itu kamu harus lebih berhati-hati untuk bersikap dengan dia. Jangan sampai Vhena tahu hubungan kita.”"Oh, namanya Vhena? Bagus juga.” Wanita itu mengangguk. Wajahnya tetap datar. “Dia cantik, Mas. Apa dia perawatan dari uangmu?"Yuda tersenyum jumawa. "Tentu saja. Aku suaminya. Jadi, aku yang membiayai hidupnya. Mulai dari makan hingga kebutuhan pribadinya.”Saat itu, mata wanita itu berbinar. Wajahnya yang semula datar, kini berubah menjadi seperti kucing kecil manja. "Aku juga mau dong, Mas!""Aku sudah memberimu gaji yang berbeda, Sayang. Gajimu lebih besar dari gaji sekretaris yang seharusnya. Pakailah untuk membeli apa yang kamu suka.”"Tapi, Mas. Aku takut kalah saing dengan istrimu, aku takut rasa cintamu itu luntur begitu saja," rengek Jheny dengan nada memelas.Pria itu tersenyum, luluh dengan bujukan Jheny yang di matanya terlihat begitu manja dan menggemaskan. "Ya sudah, sekarang sudah selesai makannya?""Kalau sudah memangnya kenapa, Mas?""Kita belanja sekarang. Beli apapun yang kamu mau."Tentu saja ucapannya membuat wanita yang ada di hadapannya itu merasa senang. Setelah membayar makanan, Yuda membawa Jheny ke sebuah mall dan pergi ke toko skincare dengan brand ternama.Setelah menggelontorkan uang untuk memanjakan Jheny, sekretaris sekaligus wanita keduanya, Yuda mengemudikan mobilnya pulang.Sesampainya di rumah, ia mengetuk pintu yang langsung terdengar sahutan sang istri dari dalam."Assalamu'alaikum," ucap salam dari Yuda ketika sang istri membukakan pintu."Waalaikumsalam, Mas," balas Vhena kemudian kembali mengunci pintu."Ini sudah hampir jam dua belas malam kenapa kamu belum tidur, hm?”"Aku nunggu kamu dong, Mas. Kita makan yuk, aku sudah masakin steak kesukaan kamu.”"Aku masih kenyang, Sayang. Tadi sebelum pulang aku sempat meeting dengan salah satu klien di restoran. Jadi, kita sekalian makan.”Raut wajah Vhena yang semula antusias, kini berubah kecewa. "Tapi aku sudah memasak untukmu, Mas.” Pundaknya mendadak lesu membayangkan masakannya tidak disentuh. “Kamu nggak bisa nolak untuk nggak makan, tadi?”Memasak steak tentu bukan hal yang mudah. Prosesnya sangat rumit, apa lagi dengan harapan daging yang lembut dan juicy jika dimakan."Ya gak enak dong, Vhena. Sama klien kok nolak, kamu ini bagaimana sih?!" balas Yuda yang juga kesal.Meski pria itu berlaku lembut, tetapi sebenarnya Yuda adalah tipikal laki-laki yang sulit mengontrol emosinya sendiri."Kamu tolong hargai aku dong, Mas. Aku capek loh masakin kamu," protes Vhena yang masih kekeuh untuk mengajak suaminya makan malam.Vhena juga sudah lapar sejak selesai sholat Isya. Tapi, ia tidak mau makan sendirian. Ia memikirkan suaminya yang pasti lapar dan lelah setelah pulang bekerja seharian. Untuk itulah Vhena berinisiatif membuatkan masakan yang enak dan spesial agar rasa lelah suaminya hilang.Namun ternyata, kenyataannya tidak sesuai dengan yang ia harapkan. Yuda justru sudah makan di luar."Aku gak pernah menyuruh kamu masak, apalagi buat nungguin aku pulang dan makan malam bersamaku. Kalau kamu lapar ya kamu makan duluan, kalau kamu gak sempat masak ya gak usah masak. Jangan memaksakan dirimu sendiri jika akhirnya mengeluhkan semua itu padaku!!" Emosi pria itu meledak-ledak. Ia menatap marah pada sang istri. "Kamu tahu kan aku baru saja pulang? Kamu tahu kan aku sangat lelah? Sekarang biarkan aku beristirahat. Kamu makan saja sendiri masakanmu itu jika kamu lapar!"Hancur rasanya hati Vhena mendengar perkataan suaminya barusan.Apa salahnya?Ia hanya berusaha untuk menjadi istri yang baik, istri yang diidamkan para laki-laki. Tapi kenapa semakin lama sikap suaminya itu semakin berubah, bahkan sudah berani berkata kasar.Dengan air mata yang sudah membasahi pipinya, Vhena berjalan gontai menuju dapur. Ia menatap miris meja dapur yang penuh dengan makanan enak tersaji di atas meja."Apa susahnya sih, tinggal makan saja," gumamnya kesal.Vhena pun mengeluarkan ponselnya dari dalam saku piyama dan memotret full meja makan yang penuh dengan banyaknya makanan.Wanita itu lantas mengupload foto tersebut ke aplikasi hijaunya dengan caption 'Emoticon tersenyum'.Vhena duduk di atas kursi sambil menyantap makanan yang harusnya enak justru malah menjadi hambar karena masih teringat dengan ucapan pedas suaminya barusan. Saat sedang makan, tiba-tiba notifikasi pesan masuk ke dalam ponselnya.Ting!"Banyak sekali makanannya, sepertinya enak. Ada acara, Bu?”Vhena memang menyimpan nomor kurir yang mengantar bekal sang suami tempo hari. Namun, ia tidak menyangka jika kurir tersebut melihat dan bahkan bereaksi ketika melihat statusnya."Ini hanya masakan biasa, Mas. Ini untuk menyambut kepulangan suamiku, sebab dia pasti sangat lelah sudah bekerja seharian," balas pesan Vhena."Beruntung sekali suami Ibu karena memiliki istri sepertimu.”Vhena hanya membalasnya dengan emoticon senyum. Ia pun tersenyum melihat makanan yang masih tersusun rapi di atas meja.Setelah makan Vhena menyusun masakan tersebut dengan menutupnya menggunakan tutup saji yang besar. Biarlah besok ia panaskan dengan microwave saja.Parkiran Malam dan Sisa KeheninganUdara malam lembap, langit masih menyisakan warna biru tua di antara lampu-lampu kota yang berpendar. Restoran mulai sepi, hanya tersisa beberapa mobil di area parkir.Vhena berjalan di belakang Yuda, langkahnya pelan. Tumit sepatunya terdengar beradu lembut dengan lantai semen yang dingin. Ia menggenggam tas erat-erat, sementara pikirannya masih tertinggal di meja makan yang terasa terlalu sunyi tadi.Yuda menekan tombol kunci mobil, bunyi “klik” kecil terdengar.Ia tidak menoleh.Tidak mengulurkan tangan, tidak menunggu. Seolah jarak mereka kini bukan hanya beberapa langkah, tapi sudah dunia yang berbeda.Namun ketika Vhena hendak membuka pintu sendiri, Yuda tiba-tiba menahannya. Tangannya menahan pintu mobil.“Biar aku,” katanya pelan, nyaris tanpa ekspresi.Vhena terdiam sejenak. Sekilas, ia menangkap tatapan yang dulu begitu ia kenal, hangat dan teduh tapi kali ini kosong. Ia hanya mengangguk, lalu masuk ke dalam.Beberapa menit mereka diam di d
Malam mulai turun di langit kota, perlahan mengganti sisa cahaya jingga di balik jendela besar ruang direktur. Lampu-lampu di Wiratama Corporation mulai dimatikan satu per satu, menyisakan sinar redup dari lantai delapan, ruangan Yuda.Sejak sore, Vhena masih di sana. Duduk di sofa panjang di sudut ruangan, memperhatikan Yuda yang sibuk menatap layar, menandatangani dokumen, mengangkat telepon, dan berbicara singkat dengan tim bawahannya. Dia nyaris tidak menyapanya sejak tadi. Hanya menatap, seperti orang asing yang sedang mengingat wajah seseorang yang dulu sangat dekat dengannya.Yuda berbeda.Caranya berbicara kini lebih datar, caranya duduk pun tak lagi rileks di dekatnya seperti dulu.Sementara Vhena, kehamilan muda membuat tubuhnya cepat lelah, tapi yang paling terasa adalah perubahan di hatinya, mudah tersentuh, mudah merasa sepi.“Sudah selesai, Mas?” suara lembutnya memecah keheningan.Yuda baru saja menutup map tebal dan menaruh pulpen di meja.“Sudah,” jawab Yuda tanpa ban
Udara siang di depan gedung kantor itu terasa berat. Panas matahari memantul dari dinding kaca tinggi, membuat helm yang masih menempel di kepala Fikri terasa seperti tungku kecil. Ia turun dari motor, menenteng tas kain kecil berisi bekal, seperti biasa. Nama yang tertulis di nota pengantaran. “Untuk: Bapak Yuda Pradipta, Direktur Utama, Lantai 8.” Sudah hampir dua bulan ia rutin menerima pesanan itu dari Vhena. Dan setiap kali, ia selalu merasa ada sesuatu yang berbeda dari cara perempuan itu menitipkan bekal, selalu dengan nada lembut, kadang disertai senyum kecil yang kelihatan dipaksakan. Fikri menatap tas kain itu sebentar sebelum masuk ke lobi. “Siang, Mas Fikri.” Satpam yang sudah akrab, Pak Hasan, menyapanya. “Siang, Pak. Ini buat Pak Yuda, seperti biasa.” “Wah, istri setia ya. Tiap hari nggak pernah lupa.” Fikri tersenyum kecil. “Iya, Pak. Orang baik, Mbak Vhena itu.” "Langsung ke ruangan saja, pak Yuda ada di dalam," ucap pak Hasan. Fikri masuk. Ia kemudi
Lampu kamar hotel itu temaram, hanya tembaga kekuningan yang memantul di dinding. Asap rokok yang baru setengah padam di asbak masih mengepul pelan, menyatu dengan aroma tubuh dan parfum mahal yang samar. Di balik selimut putih itu, Yuda diam menatap langit-langit. Dada telanjangnya naik turun pelan, bukan karena lelah, tapi karena pikirannya yang tidak berhenti berputar.Jheny, wanita dengan rambut hitam terurai dan bahu polos yang bersandar di dadanya, memandangi wajah Yuda dengan pandangan samar. Ada sesuatu di mata laki-laki itu malam ini, bukan hanya amarah, tapi juga luka.“Kamu tumben, Mas,” bisik Jheny, jemarinya menggambar-gambar garis di kulit Yuda. “Kenapa nggak mau pulang?”Yuda menarik napas panjang, matanya tetap kosong menatap ke langit-langit. “Istriku hamil.”Jheny terlonjak kecil, suaranya meninggi refleks. “Hamil?!”“Iya.” nada Yuda datar, seperti ucapan yang sudah kehilangan rasa. “Tapi aku yakin itu bukan anakku.”Suasana kamar tiba-tiba berubah hening. Hanya terd
"APA? HAMIL?!" pekik Yuda. Ia sedikit tak menyangka jika istrinya hamil. Berarti progam hamilnya berhasil. "Betul, Pak. Dari hasil USG usianya kini sudah memasuki 7 minggu," jelas dokter kandunga yang memeriksa kondisi Vhena. Yuda kemudian masuk ke ruang IGD tempat Vhena di rawat. "Ini tidak mungkin terjadi, Vhena," ujar Yuda langsung saat tahu Vhena sudah sadar. "Maksud Mas Yuda apa?" tanya Vhena bingung. Rupanya dokter itu belum memberitahu Vhena. "Kau hamil, dan usianya sudah 7 minggu. 2 bulan kurang 1 minggu." Yuda menjelaskan sambil memberikan foto hasil USG Vhena. Wanita itu pun menerima foto tersebut dan tersenyum memandangnya. Ada sebuah lingkaran kecil di dalam foto tersebut, dan di dalam lingkaran itu terdapat sebuah gambar yang lebih kecil lagi. Vhena rasa itu adalah calon janinnya. "Jelaskan padaku?!" ujar Yuda dengan nada marah. "Jelaskan apa, Mas? Ini kan yang kamu mau?" tanya Vhena dengan mata yang berkaca-kaca karena terharu. "Aku tidak lagi menyentuhmu. Bagaiman
Satu bulan berlalu. Vhena sudah sangat bosan dengan kegiatannya di rumah yang hanya menonton televisi dan short videos di ponsel pintarnya. Rasanya ingin sekali ia mencari hal baru agar tidak bosan di rumah. Semenjak kejadian lipstik dengan pemilik gaib itu, ia tak lagi menemui Yuda ke kantor. Ia tidak ingin berprasangka buruk pada suaminya dan sekretarisnya yang bernama Jheni itu. "Mas, kamu mau kemana lagi? Ini kan sudah malam," tanya Vhena, melihat suaminya yang berpakaian rapi hendak keluar rumah. "Aku ada perlu dengan Bimo," jawab Yuda singkat. "Kamu baru saja pulang loh, Mas," "Ya memangnya kenapa? Ini urusan penting, Vhena," ujar Yuda dengan nada tegas. "Bukan begitu. Jika penting kenapa tadi tidak diselesaikan sekalian sebelum pulang?" "Sudahlah, aku pergi dulu. Aku akan pulang besok." Vhena menganga mendengar perkataan suaminya. Satu bulan terkahir Yuda sangat sering meninggalkannya sendirian hingga larut, bahkan tidak pulang. Yuda sudah jarang kembali ke rumah. Peker