"Ibu benar-benar kecewa dengan Abian. Ibu … hiks hiks hiks." Tangis ibu pecah. Sangat terluka.Aku pun ikut menangis melihat ibu begitu tersayat. Aku mengusap air mata yang menetes di pipi mertua. Beliau tidak hanya mertua tapi juga ibu keduaku. Deritanya adalah lukaku. Kami menangis bersama hingga sopir ibu terlihat panik saat mendekati mobil. Dikiranya kami kenapa-kenapa.Ibu pun mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sepertinya Pak Paimo paham, sehinga sopir itu pun kembali menjauh dari kami."Sejak kapan kamu mengetahui pernikahan mereka? Kenapa kamu menutup semua ini dari ibu?" tanya ibu setelah berhenti menangis. "Silvia baru tahu pernikahan mereka, ketika dalam perjalanan menuju rumah Anggriani, Bu. Silvia sengaja tidak mau memberitahu, karena takut membuat ibu bersedih seperti ini. Maafkan Silvia, Bu." Cukup lama aku dan ibu terdiam. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Ibu berulang kali mengurut dadanya seraya beristighfar. Mungkin untuk meredakan emosinya. "Selama i
"Ngapain kalian ke sini?" tanya ibu. Sepasang mata paruh baya itu menatap ke arah anaknya. Sorotnya melukiskan kesedihan, kekecewaan, amarah yang melebur menjadi satu.Mas Abian seolah membaca sorot mata itu. lekas, anak tunggal itu mendekat dan berlutut di hadapan ibu. Ibu bergeming bahkan membuang muka. "Bu. Maafkan Abian." Pria itu mengambil tangan ibu. "Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Bukankah aku ini bukan siapa-siapa kamu?" tanya ibu, pelan tapi cukup menikam bagiku. "Kok, Ibu ngomong seperti itu? Sampai kapan pun Abian adalah anak, Ibu.""Ibu yang tidak dihargai! Ibu yang telah melahirkan anak tak tahu diri seperti kamu! Ibu yang tak dianggap! Sehingga tak perlu berpamitan padaku ketika menikahi perempuan itu!" Ibu meninggikan suaranya beberapa oktaf. Wanita peruh baya yang terlihat masih cantik itu benar-benar meluapkan emosinya. Suaranya bergetar hebat. Napas ibu terlihat memburu. Saat ini kedua mata indah itu mulai berkaca-kaca. Ibu terlihat sangat terluka. Merasa
Istri hanya Status Bab 8Silvia Ternodai? Apa tujuan dia ke sini?Dia maju ke arahku. Aku sangat takut. Dari gesturnya dia sedang marah. Aku mencoba menghindari, tapi sudah terlambat. Parahnya lagi pintu kamar ini dikunci. Anak kuncinya tidak menggantung. Artinya Mas Abian telah mengambilnya.Aku tidak bisa maju. Dia berusaha keras menghadangku. Aku ke kiri dia pun mengikuti. Sengaja. Aku semakin ketakutan. Mau apa dia?Mas Abian berhasil membuat aku terdiam di pojokan kamar. Pria itu tersenyum menyeringai.Jarak kami hanya sejengkal. Tangannya menempel pada tembok. Tubuhnya mengunci aku agar tak pergi. "Tolong bujuk ibu untuk memaafkan aku dan menerima Anggraini sebagai menantunya. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan menyentuhmu sekarang juga. Asal lakukan apa yang aku mau. Jangan ragu aku akan memberikan imbalan yang selama ini kamu inginkan." Dia tersenyum sinis. Tangannya mulai kurang ajar. Mengelus pipiku, segera aku tangkis. Namun, tak menghentikan ulahnya. "Jang
Plak! Kini tangan ibu menampar pipi Abian yang sebelah lagi. Setelah satunya aku tampar. "Kamu apakan Silvia, Abian? Aku tidak pernah mendidikmu untuk kasar dengan perempuan. Terlebih ia istrimu. Bapakmu pasti akan merasa sedih kalau melihat anak kebanggaannya tidak bisa menghargai wanita." Abian tertunduk sambil memegangi pipinya yang kenapa tampar ibu. Pasti sangat panas dan sakit. Belum lagi rasa malu karena ibu melakukannya di depanku. Ingin rasanya aku tertawa di atas deritanya. Ibu mendaratkan tangan ke pipi Abian dengan sekuat tenaga. Suaranya terdengar nyaring."Mas, kamu ngga papa?" Tiba-tiba Anggraini sudah muncul di depan kamar. Tangannya mengelus pipi suami sirinya."Ibu kenapa tega menampar anaknya sendiri, demi menantu kampungan seperti dia?" Kini Anggraini menatap ibu dengan nyalang. Dia seberani itu pada mertuanya? Apa dia lupa siapa lawannya? Dasar manusia tak punya akhlak!"Aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku karena telah menampar anak yang tidak tahu di
Mungkinkah dia dokter keluarga ibu? Apa aku tidak salah lihat? Ah, benar dia orang yang selama ini aku coba lupakan. Ternyata dunia sesempit ini. Kami dipertemukan lagi dengan kondisi seperti ini. "Assalamualaikum, Silvia." Suaranya memutuskan lamunanku.Astaghfirullah. Mengapa aku tak berkedip saat menatap manusia di depanku."Waalaikummussallam," jawabku gugup. "Kamu benar-benar Silvia, kan?" Pria berseragam putih itu ragu. Aku hanya mengangguk, pelan."Mari, sudah ditunggu ibu di dalam kamarnya," ucapku santun. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Tanpa banyak bicara, orang itu berjalan di depanku. Ini salah satu kebiasaannya sedari dulu. Tidak mau berjalan di belakang perempuan. Salah satu adab di dalam Islam. Sebab, saat laki-laki berjalan dibelakang wanita, maka tidak bisa dipungkiri, ia akan melihat lekuk tubuh wanita, dan akan memperhatikan bagaimana cara jalannya. Jika sudah seperti itu, maka kemungkinan untuk terjadi kemaksiatan selanjutnya. "Bu Anis, Abian ke mana?
Kini kami harus kembali bertemu dengan situasi seperti ini. "Silvia. Dia itu anaknya teman ibu. Orang tuanya sangat baik. Sayangnya, ibu hanya memiliki anak satu, lelaki," ucap ibu, lesu.Aku masih terdiam. Mencerna maksud dari ucapan mertuaku. "Bu. Apa mas Abian perlu diberitahu keadaan ibu yang seperti ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku pikir anak harus tahu kondisi orang tuanya. "Jangan pernah menghubungi dia. Ibu tidak akan pernah mengemis perhatian dari anak pembangkang macam itu," ungkap ibu, lirih.Tatapan ibu menerawang ke depan. "Bu, maafkan Silvia yang telah lancang." "Kamu tidak salah. Saat ini ibu cukup butuh kamu, Nak." Aku mengulum senyum, mengangguk pelan, saat ibu menggenggam tanganku."Ibu ingin tidur. Tolong jangan pernah tinggalkan ibu, Silvia." Ibu sangat mengiba. Ibu memang berlimpah harta, tetapi saat ini yang beliau butuhkan adalah perhatian anaknya. Sayangnya, pria itu memilih pergi dengan pilihannya. Meninggalkan orang tua dengan segala lukanya.
POV Abian. Aku datang ke sini sebenarnya ingin meminta maaf pada ibu dan juga Silvia. Ibu pasti sangat terluka karena aku. Begitu pun dengan Silvia, selain kecewa dia juga pasti trauma dengan kejadian kemarin. Terbukti dia sangat takut saat melihatku pertama kali. Aku sendiri sangat menyesali mengapa bisa melakukan hal tak pantas padanya. Memang, aku berhak atas semua anggota badan Silvia, tetapi aku tak sepantasnya meminta dengan paksa. Aku benar-benar hilang kendali. Bahkan seperti tak mengenali diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menjadi sosok yang sangat mengerikan begitu? Awalnya aku menolak ide gila yang Anggraini tawarkan. Namun, semenit kemudian aku mengiyakan saran istri keduaku setelah minum air putih pemberiannya.Kadang aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sebentar menyadari kesalahan sebentar lagi aku menjadi manusia yang tak punya hati, ketika setelah bertukar pikiran dan dikasih makan oleh Anggraini. Kadang aku begitu cinta dengan Anggraini. Cinta yang menggeb
Niat hati ingin bertemu dengan ibu harus pupus. Wanita yang telah melahirkan aku belum ingin bertatap muka denganku. Itu karena aku telah menorehkan luka yang terlalu dalam. Pernikahanku yang secara tiba-tiba membuat hubungan antara aku dengan ibu menjadi seperti ini. Tidak pernah terjadi sebelumnya. Dulu aku menjadi anak baik-baik yang selalu patuh pada ibu.Entah mengapa aku bisa berubah seperti ini. Menjadi pembangkang setelah menikah dengan Anggraini. Memang, ingin menikah dengan wanita yang aku pacari selama dua puluh lima purnama itu. Namun, nanti setelah urusanku dengan Silvia selesai. Semua itu tidak sesuai rencana. Tiba-tiba Anggraini menyuruhku datang ke rumahnya. Aku yang sudah biasa bertandang tak merasa ada yang aneh.Sesampainya di sana Anggraini sudah mengumpulkan anggota keluarganya. Ada orang tuanya beserta beberapa orang yang aku sendiri belum mengenalnya.Tidak tahu mengapa, aku mengiyakan permintaan bapaknya Anggraini untuk menikahi putrinya hari itu juga. Ked