Beranda / Rumah Tangga / Istri hanya Status / Istri hanya Status

Share

Istri hanya Status

last update Terakhir Diperbarui: 2022-06-23 14:03:12

Istri hanya Status

Bab 4. Bulan Madu. 

Kapan ibu datang? Apa yang harus aku lakukan agar beliau tidak mengetahui kalau kami pisah kamar. 

Ah, entahlah. Saat ini aku harus menemui ibu dulu. Selama ini ibu tinggal di Lampung Barat. Beliau sendiri yang mengelola rumah makan miliknya di sana. 

Ting!

Tanda ada pesan masuk. 

[Kamu jadi pulang hari ini kan? Barang-barangmu sudah aku pindahkan ke kamarku. Jangan geer! Ini karena ada ibu di rumah. Aku tidak mau beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingat! Kamu harus bisa menjaga nama baikku di depan beliau. Jangan pernah menceritakan apa pun tentang kita!]

Segitu bodohnya kah aku di matanya? Sehingga perkara seperti ini pun harus diajarin? Aku tahu bagaimana cara menyelamatkan muka suamiku. 

Minta nama baiknya dijaga? Sedangkan dia suka bertindak semaunya sendiri! Manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri! 

Aku menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Aku harus terlihat bahagia pulang ke rumah suami.

"Assalamualaikum, Ibu. Kapan datangnya?" 

Aku menyapa perempuan yang sedang membaca buku. Beliau duduk di sofa ruang tamu. Lekas, mengambil punggung tangannya. Mertuaku membuka kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya. 

"Ibu baru datang semalam. Kamu apa kabar, Sayang?" Beliau menciumi kedua pipiku secara bergantian.

"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu kenapa tidak ngabarin Silvia dulu kalau mau ke sini?" 

"Kamu kan lagi berduka. Ibu tak mau merepotkan kamu, Nak." 

Ah, ibu engkau begitu baik padaku. Aku pasti akan merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia apabila memiliki suami sebaik ibunya. Sayangnya, sikap mereka berbeda 360 derajat. Anak semata wayangnya sangat hobi menyiksa batinku.

 "Kenapa kamu pulang sendiri? Bukankah Abian akan menjemputmu hari ini?" 

Mas Abian bilang tidak bisa menjemput, sedangkan ibu ngomong kalau anaknya akan menjemput aku. Ah, mas Abian ngomong seperti itu pasti hanya ingin menyenangkan ibunya saja.

"Oh itu. Silvia tidak mau merepotkan mas Abian, Bu. Pasti beliau sangat sibuk." 

Aku harus mencari jawaban yang tepat. Biar bagaimanapun ibu tidak boleh tahu urusan rumah tangga kami. Sebagai istri aku harus mampu menjaga nama baik suami.

Sepertinya aku akan mempunyai kebiasaan baru yaitu berbohong pada ibu.

"Beruntungnya Abian memiliki istri seperti kamu, Sayang." Aku hanya tersenyum tipis. 

Boro-boro merasa beruntung, Bu. Justru Mas Abian sangat membenciku. Bahkan kami pun mempunyai perjanjian tertulis. Akan tetapi ibu tidak perlu tahu tentang hal itu. Biarlah kami sendiri yang menyimpan rahasia ini. 

"Ibu sudah makan siang?" 

"Sudah. tadi Abian membelikan sup sapi. Kamu sendiri sudah makan belum?" 

"Belum, Bu." 

"Sana makan dulu, kemudian istirahat. Kamu pasti capek." 

***

"Kamu tidur di sofa bed. Aku yang di kasur. Jangan mimpi kita akan tidur di ranjang yang sama." Tatapannya menghujam, menujukkan kuasanya. 

Aku hanya bisa mengangguk pasrah. 

"Mulai hari ini kita harus membiasakan berdekatan. Bahkan harus bergandengan tangan. Namun, kamu harus ingat jangan pernah melibatkan perasaan! Ini semua hanya formalitas! Paham!" ucapnya, kemudian berlalu pergi.

Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Menggigit bibir bawah. Memejamkan mata. Menetralisir gemuruh di dada sebelum keluar untuk makan malam bersama ibu.

"Sayang, mau ini?" Mas Abian mengambilkan udang saus tiram yang dibeli dari luar.

Aku segera mengangguk, bukan karena aku senang, bukan. Hanya untuk mengimbangi sandiwaranya.

Dari ujung ekor mataku, ibu terlihat tersenyum melihat perlakuan anak semata wayangnya padaku yang begitu manis.  

Aku segera menyuap makanan ke dalam mulut. 

"Aaa." Mas Abian menyodorkan sendok di tangganya yang berisi nasi dan teman-temannya ke arah mulutku. Ingin menyuapi. Aku terpaksa membuka mulut. 

"Nah, gitu dong, Bian. Kamu itu harus sering-sering menyuapi istri. Bapakmu dulu tidak akan makan kalau belum menyuapi ibu. Kecuali kalau kami makan di luar." 

Uhuk! 

Aku tersedak ketika mendengar ucapan ibu. Mas Abian dengan gesit mengambilkan air minum. 

"Hati-hati, Sayang." Tangannya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.

Aku bahagia diperlukan seperti ini? Sungguh tidak, karena semua ini hanya sandiwara. Aku tidak boleh melibatkan perasaan. 

"Ibu sudah menyewakan villa di Puncak untuk kalian." 

Mas Abian tersenyum ke arahku. Apa maksud dari senyumannya?  

Ibu mertua memang memiliki teman-teman yang tersebar di berbagai kota. Sangat mudah bagi beliau untuk menyewa villa dari sini. 

"Terima kasih, Bu. Kami memang berencana untuk berbulan madu, tapi belum tahu mau ke mana. Iya, kan, Sayang?" Matanya berbinar. 

"Iy — iya, Bu. Kami belum menemukan tempat yang pas. Alhamdulillah, Ibu, sudah menyiapkannya." Aku hanya ingin mengikuti lakon suami.

****

"Kamu hati-hati di sana, ya. Jangan sampai kecapean. Ibu ingin cepat punya cucu soalnya," pesan ibu ketika kami mau berangkat ke Puncak, Bogor. 

"Tenang, Bu. Kami akan berusaha keras. Selebihnya itu urusan di atas," jawab Mas Abian sambil memasukkan barang-barang kami ke bagasi.

Yang di atas? Apa susahnya ngomong Allah. Bukankah yang di atas itu banyak? Ada langit, awan, atap rumah, pohon. Semuanya posisinya di atas. 

"Iya, ibu lupa, semua Allah yang menentukan. Ya sudah yang terpenting kalian usaha saja dulu." 

Aku bisa bernapas dengan lega mendengar jawaban ibu. Setidaknya mertuaku punya pemikiran yang bijak. Menyadari semua hanyalah titipan. 

Bagaimana mungkin aku akan hamil bila suami saja tidak pernah menyentuh? Nelangsa. Miris. 

Silvia kamu harus sadar diri. Posisimu adalah istri yang hanya di status saja. Jangan berharap lebih. 

"Bu. Kami berangkat dulu, ya." Mas Abian mencium punggung ibunya dengan takdzim. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan. 

****

"Mau ke mana ini, Mas?" tanyaku heran. Seharusnya bukan ini jalan yang akan kami tempuh.

"Menjemput Anggraini." 

Deg! 

"Mengapa harus menghadirkan wanita itu di saat kita liburan berdua, Mas?" tanyaku. Sayangnya, hanya mampu ku ucapkan dalam hati. 

Pantas saja kemarin dia tersenyum bahagia saat diberitahu telah disewakan villa. Rupanya karena dia akan mengajak pacarnya. 

Apa sebaiknya aku tidak usah ikut. Sebaiknya aku pulang saja ke rumah bibi. 

Jangan! Keenakan mereka. Bisa-bisa mereka berbuat zina. Aku tidak mau itu terjadi. 

"Kalau kamu keberatan dengan kehadiran Anggraini silakan keluar. Mau pulang juga boleh. Kamu jangan khawatir kami akan berzina, sebab kami telah sah menjadi suami istri. Aku lupa memberitahu kamu. Kami telah melangsungkan pernikahan satu Minggu yang lalu, secara siri, sih!" 

Pengakuan mas Abian bagai petir di siang bolong. Membuatku kaget tak terperi, sayangnya hanya aku saja yang mendengarnya.

"Tolong jangan beritahu ibu akan hal ini. Setelah kamu mengetahui semua ini, terserah. Pilihan ada di tangan kamu, mau lanjut ikut ke puncak atau pulang ke rumahmu. Percuma kamu ikut juga, hanya akan jadi obat nyamuk. Toh, aku tidak akan pernah tidur denganmu." 

Harga diri terasa diinjak-injak. Aku tak mau sakit hati terlalu dalam lagi.

"Cukup, Mas. Tidak perlu kamu jelaskan apa pun padaku. Toh, aku pun tidak bahagia sama sekali dengan acara bulan madu ini. Seandainya kamu tidak membawa maduku pun aku tidak akan pernah sekamar dengan kamu. Turunkan aku di sini!" 

Gegas, aku mengambil barang dari bagasi. 

"Nanti aku akan menjemputmu setelah pulang dari sana. Tolong matikan handphone selama aku tidak ada. Khawatir ibu akan menghubungi kamu!" 

Aku segera melangkah meninggalkan dia. Tak ingin lagi mendengar ucapannya. 

Luruh juga air mataku. Pertahananku jebol. Aku tak kuasa lagi menahan sesaknya dada. Sebelum mencari taxi online aku mampir ke masjid dahulu. Akan kuadukan segala masalah ini pada kehidupan ini 

***

Selesai shalat aku masih duduk di masjid. Tidak tahu harus ke mana. Tidak mungkin aku pulang ke rumah bibi. Mereka pasti akan curiga. Aku tak mau menambah beban pikiran bagi mereka. Kepergian Mbak Ana masih menyisakan luka bagi kami semua. 

"Dek, mau ke mana?" tanya seorang bapak paruh baya. Sepertinya beliau marbot di sini. Penampilannya sangat sederhana. Aku perhatikan dari tadi, beliau sibuk menyapu dan mengepel.

"Belum tahu, Pak. Masih mau mencari kontrakan."

"Kebetulan di tempat bapak ada yang kosong. Barangkali Adek berminat." 

"Boleh, Pak. Akan tetapi mungkin saya hanya butuh beberapa hari. Apa boleh kalau saya membayarnya per Minggu?" 

Aku harus mencari tahu dulu. Siapa tahu harus dibayar full satu bulan. Kan aku nggak ada uang saat ini. 

"Boleh, Dek, daripada kosong." 

Aku di bawa ke kontrakan yang dimaksud. Memang kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilan. Beliau yang aku sangka marbot ternyata juragan kontrakan. 

Ya Allah. Ampuni hamba yang mudah berprasangka buruk pada sesama.

Di tempat ini aku akan menata hati. Tetap menjalankan bisnis online yang dirintis sebelum menikah.

Toh, selama ini aku menjalankan dengan sistem dropship, sehinga tidak perlu repot mengemas barang. Memang, untungnya tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari yang selama ini ditanggung oleh suami.

*** 

Sudah satu Minggu aku ada di sini. Tapi belum ada tanda-tanda, Mas Abian mau menjemputku. Ponsel tidak pernah aku matikan seperti pesanannya waktu itu. 

Ibu juga tidak pernah menelpon atau meminta video call. Selama ini kami hanya berbalas pesan lewat chat 

Sadar diri Silvia. Tidak mungkin mas Abian akan ingat kamu. Dia tengah berbahagia dengan orang yang ia cintai. 

Ya Allah mengapa orang sejahat Anggraini malah lebih beruntung hidupnya ketimbang hamba? 

Astaghfirullah. Kenapa aku malah menyalahkan takdir Allah. Pasti ada rahasia di balik semua ini. 

"Mbak Silvia mau ikut kajian di masjid?" 

Pak Lukman memberi tahu saat aku sedang mengepel teras depan kamarku.

"Boleh, Pak. Kapan?" 

"Hari ini. Jam setengah sepuluh hingga waktu Dzuhur." 

***

Kini aku sudah berada di tengah-tengah wanita Sholehah. 

Rasanya adem sekali berada di taman surga yang dikelilingi oleh orang-orang Sholehah. 

Ya, pengajian atau ta'lim adalah taman surga di dunia. 

"Silvia?" Aku menoleh seketika. Kaget ketika tahu siapa yang memangil. Ibu. 

Aku harus mengatakan apa bila ditanya? 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Heran dh lu ngapain nurutin laki ndablek gitu
goodnovel comment avatar
Diko Vanhoten
baru ta baca novel Uda suru isi ulang koin Noven apa ch ini
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istri hanya Status    Akhirnya.

    Istri hanya Status Bab 51"Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun," ucap Abian dengan suara lemah setelah memeriksa denyut nadi kakeknya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana. Eyang Kakung telah tiada, tidak ada yang tahu kapan beliau menghembuskan napas terakhirnya. Menjelang tidur beliau pun masih terlihat segar bugar. Abian menemukan Eyang dalam keadaan yang sempurna. Matanya telah tertutup rapat. Bibirnya terkatup dengan benar. Bahkan ada senyum yang menghiasi bibirnya. Tangan Eyang pun sudah sedap bagai orang sedang salat, seolah sudah tahu kapan waktu ajalnya dijemput. Entah amalan apa yang Eyang lakukan selama ini sehingga meninggal dunia dalam keadaan baik. "Eyang kenapa, Kak?" Silvia muncul dari balik pintu dengan tergopoh-gopoh. "Eyang sudah nggak ada, Sayang." Tangan Abian menyeka sudut matanya yang basah. Lelaki itu segera merangkul istrinya yang mematung di tempatnya berdiri. "Innalillahi wa Inna Ilaihi Rojiun." Silvia membalas pelukan suaminya. Mereka berdua seol

  • Istri hanya Status    132. Kembali Harmonis

    Istri hanya StatusPOV Author "Sayang. Kakak minta maaf, ya!" Abian mendekati wanita cantik yang sedang tidur di ranjangnya. Lelaki yang kini bergelar ayah itu menciumi punggung istrinya secara diam-diam. Pergerakan tangan Abian yang masif membuat Silvia terbangun. Ia membuka matanya sebentar tak lama kemudian dipejamkan kembali. Ia ingin tahu apa yang akan dilakukan suaminya.Silvia berbaring dalam posisi miring membelakangi Abian. Sehingga wanita itu bebas pura-pura tidur. "Sayang. Maafkan kakak yang masih egois. Maafkan suamimu yang kadang seperti anak kecil pola pikirnya." Abian terus menciumi punggung istrinya tanpa peduli ibunya Adiba mendengar atau tidak. Silvia merasa heran kenapa tiba-tiba Abian meminta maaf padanya? Apa karena ia diamkan atau sebab lainnya? Tentu, perubahan sikap Abian tidak terjadi begitu saja. Lelaki yang bergelar eyang Kakung yang telah berhasil menyadarkannya. Eyang Kakung sempat memarahi Abian secara habis-habisan. Sebab lelaki di penghujung usia it

  • Istri hanya Status    131. Kekecewaan Abian.

    Ah, mana mungkin aku hamil, kan diam-diam aku KB suntik tanpa sepengetahuan kak Abian. Iya, tanpa sepengetahuan lelakiku. Sebab ia ingin segera memiliki anak lagi. Sementara, aku ingin memberikan ASI secara full pada Adiba. "Sayang, kita periksa ke dokter, ya!" Kak Abian menuntun aku menuju ranjang. Kemudian menyodorkan segelas air hangat."Tidak perlu, Kak. Aku hanya masuk angin biasa. Nanti juga sembuh setelah dikerok." Kuteguk air hangat tersebut dengan pelan-pelan. Lumayan melegakan. "Kamu yakin, Sayang?" Lekaki yang telah membersamaiku itu menatap wajah ini dengan lekat. "Sangat yakin. Aku hanya butuh dikerok, Kak. Mau kan mengerok tubuhku?" Aku mengerlingkan mata ke arahnya. "Sangat mau. Kerok plus juga mau." Senyuman jahil terukir jelas dari bibirnya. "Ih maunya. Aku hanya mau dikerok biasa tidak pake plus." Aku menepis tangannya yang mulai jahil.*****"Sayang, dites ya?" Lakiku menyodorkan alat pengetes kehamilan. Aku yang baru selesai memberikan ASI pada Adiba terpaku b

  • Istri hanya Status    130. Garis Dua.

    Lihatlah, Sayang!" Kakak Abian heboh. Suara terdengar sangat bahagia. Dengan takut-takut aku membuka mata."Ini bener, Kak?" Aku menatap tak percaya pada alat tersebut. Garis dua terpampang jelas di sana. Bukan ucapan yang aku dapatkan, namun, pelukan serta kecupan di kening dan pipi bertubi-tubi."Kita sudah berhasil, Sayang." Pelukannya semakin erat. Air mata ini pun lolos begitu saja tanpa bisa dicegah. "Kita akan segera memberitahu eyang, Sayang. Tidak akan lagi ada drama dari eyang." "Baguslah kalau akhirnya kamu mau memberikan cicit untukku. Memang sudah seharusnya!" Ucapan pedas itu masih terus keluar dari bibir eyang, meski kami telah membawa berita bahagia. Kak Abian merangkul pundakku. Aku tahu maksudnya, membesarkan hatiku. Memintaku untuk bersabar oleh sikap eyangnya tersebut. ****Kandunganku sudah berusia 30 Minggu. "Cantik dan seksi bumilku." Kak Abian memeluk diriku dari belakang."Bohong!" bantahku dengan cepat sambil menggoreng sambal teri. Aku tahu dia itu han

  • Istri hanya Status    129. Kehadiran Eyang.

    "Assalamualaikum, Eyang, Apa kabar?" Lekas, Kuraih tangan yang sudah berkeriput itu. Kucium punggungnya dengan penuh takzim. "Dari mana kalian?" Pertanyaan pertama yang beliau berikan untukku. Lelaki itu masih saja sama. Tidak bisa ramah denganku. Entahlah. "Dari liburan, Eyang. Masa kerja terus takut kaya," seloroh Kak Abian seraya mencium punggung tangan kakeknya."Liburan terus. Kapan memberikan cicit padaku?" Tatapan tajamnya mengarah ke perutku. Aku merasa tidak nyaman."Sudahlah, Eyang. Kami itu baru saja sampai mau istirahat dulu." Kak Abian membawa koper kami ke dalam rumah.Aku pun mengikuti langkah suami. Entah mengapa aku merasa kehadiran eyang kaki ini akan membawa masalah. ****"Sudah berapa lama kalian menikah? Dan kalian belum juga memberikan keturunan padaku!" ucap Eyang saat kami selesai makan malam."Kami sudah berusaha, Eyang. Doakan saja semoga cepat diberikan momongan lagi." "Mau sampai kapan, Bian? Kamu itu satu-satunya pewaris Lukman. Kamu itu satu-satunya

  • Istri hanya Status    128. Nina.

    Assalamualaikum." Seorang perempuan muda dengan bayi dalam gendongannya berada di depan pintu rumahku. "Waalaikummussallam…." Aku menulis penampilannya yang kacau. Sembab di matanya membuatku iba. "Monggo masuk, Mbak." Aku yang tidak tahu asal usul wanita itu merasa tersentuh ketika menatap bayi mungil yang tampak kedinginan itu. Hanya ditutupi dengan selimut bayi yang tipis. Malam ini terasa sangat dingin karena tadi sore langit menumpahkan air dengan sangat derasnya. Bahkan saat ini masih gerimis kecil-kecil. Kenapa ia harus keluar dengan membawa bayi? Dengan langkah pelan dan malu-malu wanita yang usianya dibawahku mengikuti masuk ke dalam rumah. "Mbak ini siapa? Dan kenapa jam segini ke luar rumah?" Aku membuka obrolan setelah memberikan baju ganti untuk anaknya. Bayi yang aku taksir berusia delapan bulan itu sedang diberi ASI oleh ibunya. Aku tidak hanya memberikan baju ganti tapi juga kebutuhan bayi. Seperti minyak telon dan lain sebagainya. Aku menatap lekat wajah sendu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status