Istri hanya Status
Bab 4. Bulan Madu.
Kapan ibu datang? Apa yang harus aku lakukan agar beliau tidak mengetahui kalau kami pisah kamar.
Ah, entahlah. Saat ini aku harus menemui ibu dulu. Selama ini ibu tinggal di Lampung Barat. Beliau sendiri yang mengelola rumah makan miliknya di sana.
Ting!
Tanda ada pesan masuk.
[Kamu jadi pulang hari ini kan? Barang-barangmu sudah aku pindahkan ke kamarku. Jangan geer! Ini karena ada ibu di rumah. Aku tidak mau beliau tahu apa yang sebenarnya terjadi. Ingat! Kamu harus bisa menjaga nama baikku di depan beliau. Jangan pernah menceritakan apa pun tentang kita!]
Segitu bodohnya kah aku di matanya? Sehingga perkara seperti ini pun harus diajarin? Aku tahu bagaimana cara menyelamatkan muka suamiku.
Minta nama baiknya dijaga? Sedangkan dia suka bertindak semaunya sendiri! Manusia egois yang hanya mementingkan diri sendiri!
Aku menarik napas dalam dan membuangnya pelan. Aku harus terlihat bahagia pulang ke rumah suami.
"Assalamualaikum, Ibu. Kapan datangnya?"
Aku menyapa perempuan yang sedang membaca buku. Beliau duduk di sofa ruang tamu. Lekas, mengambil punggung tangannya. Mertuaku membuka kaca mata yang bertengger di hidung mancungnya.
"Ibu baru datang semalam. Kamu apa kabar, Sayang?" Beliau menciumi kedua pipiku secara bergantian.
"Alhamdulillah baik, Bu. Ibu kenapa tidak ngabarin Silvia dulu kalau mau ke sini?"
"Kamu kan lagi berduka. Ibu tak mau merepotkan kamu, Nak."
Ah, ibu engkau begitu baik padaku. Aku pasti akan merasa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia apabila memiliki suami sebaik ibunya. Sayangnya, sikap mereka berbeda 360 derajat. Anak semata wayangnya sangat hobi menyiksa batinku.
"Kenapa kamu pulang sendiri? Bukankah Abian akan menjemputmu hari ini?"
Mas Abian bilang tidak bisa menjemput, sedangkan ibu ngomong kalau anaknya akan menjemput aku. Ah, mas Abian ngomong seperti itu pasti hanya ingin menyenangkan ibunya saja.
"Oh itu. Silvia tidak mau merepotkan mas Abian, Bu. Pasti beliau sangat sibuk."
Aku harus mencari jawaban yang tepat. Biar bagaimanapun ibu tidak boleh tahu urusan rumah tangga kami. Sebagai istri aku harus mampu menjaga nama baik suami.
Sepertinya aku akan mempunyai kebiasaan baru yaitu berbohong pada ibu.
"Beruntungnya Abian memiliki istri seperti kamu, Sayang." Aku hanya tersenyum tipis.
Boro-boro merasa beruntung, Bu. Justru Mas Abian sangat membenciku. Bahkan kami pun mempunyai perjanjian tertulis. Akan tetapi ibu tidak perlu tahu tentang hal itu. Biarlah kami sendiri yang menyimpan rahasia ini.
"Ibu sudah makan siang?"
"Sudah. tadi Abian membelikan sup sapi. Kamu sendiri sudah makan belum?"
"Belum, Bu."
"Sana makan dulu, kemudian istirahat. Kamu pasti capek."
***
"Kamu tidur di sofa bed. Aku yang di kasur. Jangan mimpi kita akan tidur di ranjang yang sama." Tatapannya menghujam, menujukkan kuasanya.
Aku hanya bisa mengangguk pasrah.
"Mulai hari ini kita harus membiasakan berdekatan. Bahkan harus bergandengan tangan. Namun, kamu harus ingat jangan pernah melibatkan perasaan! Ini semua hanya formalitas! Paham!" ucapnya, kemudian berlalu pergi.
Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh. Menggigit bibir bawah. Memejamkan mata. Menetralisir gemuruh di dada sebelum keluar untuk makan malam bersama ibu.
"Sayang, mau ini?" Mas Abian mengambilkan udang saus tiram yang dibeli dari luar.
Aku segera mengangguk, bukan karena aku senang, bukan. Hanya untuk mengimbangi sandiwaranya.
Dari ujung ekor mataku, ibu terlihat tersenyum melihat perlakuan anak semata wayangnya padaku yang begitu manis.
Aku segera menyuap makanan ke dalam mulut.
"Aaa." Mas Abian menyodorkan sendok di tangganya yang berisi nasi dan teman-temannya ke arah mulutku. Ingin menyuapi. Aku terpaksa membuka mulut.
"Nah, gitu dong, Bian. Kamu itu harus sering-sering menyuapi istri. Bapakmu dulu tidak akan makan kalau belum menyuapi ibu. Kecuali kalau kami makan di luar."
Uhuk!
Aku tersedak ketika mendengar ucapan ibu. Mas Abian dengan gesit mengambilkan air minum.
"Hati-hati, Sayang." Tangannya menepuk-nepuk punggungku dengan lembut.
Aku bahagia diperlukan seperti ini? Sungguh tidak, karena semua ini hanya sandiwara. Aku tidak boleh melibatkan perasaan.
"Ibu sudah menyewakan villa di Puncak untuk kalian."
Mas Abian tersenyum ke arahku. Apa maksud dari senyumannya?
Ibu mertua memang memiliki teman-teman yang tersebar di berbagai kota. Sangat mudah bagi beliau untuk menyewa villa dari sini.
"Terima kasih, Bu. Kami memang berencana untuk berbulan madu, tapi belum tahu mau ke mana. Iya, kan, Sayang?" Matanya berbinar.
"Iy — iya, Bu. Kami belum menemukan tempat yang pas. Alhamdulillah, Ibu, sudah menyiapkannya." Aku hanya ingin mengikuti lakon suami.
****
"Kamu hati-hati di sana, ya. Jangan sampai kecapean. Ibu ingin cepat punya cucu soalnya," pesan ibu ketika kami mau berangkat ke Puncak, Bogor.
"Tenang, Bu. Kami akan berusaha keras. Selebihnya itu urusan di atas," jawab Mas Abian sambil memasukkan barang-barang kami ke bagasi.
Yang di atas? Apa susahnya ngomong Allah. Bukankah yang di atas itu banyak? Ada langit, awan, atap rumah, pohon. Semuanya posisinya di atas.
"Iya, ibu lupa, semua Allah yang menentukan. Ya sudah yang terpenting kalian usaha saja dulu."
Aku bisa bernapas dengan lega mendengar jawaban ibu. Setidaknya mertuaku punya pemikiran yang bijak. Menyadari semua hanyalah titipan.
Bagaimana mungkin aku akan hamil bila suami saja tidak pernah menyentuh? Nelangsa. Miris.
Silvia kamu harus sadar diri. Posisimu adalah istri yang hanya di status saja. Jangan berharap lebih.
"Bu. Kami berangkat dulu, ya." Mas Abian mencium punggung ibunya dengan takdzim. Aku pun mengikuti apa yang ia lakukan.
****
"Mau ke mana ini, Mas?" tanyaku heran. Seharusnya bukan ini jalan yang akan kami tempuh.
"Menjemput Anggraini."
Deg!
"Mengapa harus menghadirkan wanita itu di saat kita liburan berdua, Mas?" tanyaku. Sayangnya, hanya mampu ku ucapkan dalam hati.
Pantas saja kemarin dia tersenyum bahagia saat diberitahu telah disewakan villa. Rupanya karena dia akan mengajak pacarnya.
Apa sebaiknya aku tidak usah ikut. Sebaiknya aku pulang saja ke rumah bibi.
Jangan! Keenakan mereka. Bisa-bisa mereka berbuat zina. Aku tidak mau itu terjadi.
"Kalau kamu keberatan dengan kehadiran Anggraini silakan keluar. Mau pulang juga boleh. Kamu jangan khawatir kami akan berzina, sebab kami telah sah menjadi suami istri. Aku lupa memberitahu kamu. Kami telah melangsungkan pernikahan satu Minggu yang lalu, secara siri, sih!"
Pengakuan mas Abian bagai petir di siang bolong. Membuatku kaget tak terperi, sayangnya hanya aku saja yang mendengarnya.
"Tolong jangan beritahu ibu akan hal ini. Setelah kamu mengetahui semua ini, terserah. Pilihan ada di tangan kamu, mau lanjut ikut ke puncak atau pulang ke rumahmu. Percuma kamu ikut juga, hanya akan jadi obat nyamuk. Toh, aku tidak akan pernah tidur denganmu."
Harga diri terasa diinjak-injak. Aku tak mau sakit hati terlalu dalam lagi.
"Cukup, Mas. Tidak perlu kamu jelaskan apa pun padaku. Toh, aku pun tidak bahagia sama sekali dengan acara bulan madu ini. Seandainya kamu tidak membawa maduku pun aku tidak akan pernah sekamar dengan kamu. Turunkan aku di sini!"
Gegas, aku mengambil barang dari bagasi.
"Nanti aku akan menjemputmu setelah pulang dari sana. Tolong matikan handphone selama aku tidak ada. Khawatir ibu akan menghubungi kamu!"
Aku segera melangkah meninggalkan dia. Tak ingin lagi mendengar ucapannya.
Luruh juga air mataku. Pertahananku jebol. Aku tak kuasa lagi menahan sesaknya dada. Sebelum mencari taxi online aku mampir ke masjid dahulu. Akan kuadukan segala masalah ini pada kehidupan ini
***
Selesai shalat aku masih duduk di masjid. Tidak tahu harus ke mana. Tidak mungkin aku pulang ke rumah bibi. Mereka pasti akan curiga. Aku tak mau menambah beban pikiran bagi mereka. Kepergian Mbak Ana masih menyisakan luka bagi kami semua.
"Dek, mau ke mana?" tanya seorang bapak paruh baya. Sepertinya beliau marbot di sini. Penampilannya sangat sederhana. Aku perhatikan dari tadi, beliau sibuk menyapu dan mengepel.
"Belum tahu, Pak. Masih mau mencari kontrakan."
"Kebetulan di tempat bapak ada yang kosong. Barangkali Adek berminat."
"Boleh, Pak. Akan tetapi mungkin saya hanya butuh beberapa hari. Apa boleh kalau saya membayarnya per Minggu?"
Aku harus mencari tahu dulu. Siapa tahu harus dibayar full satu bulan. Kan aku nggak ada uang saat ini.
"Boleh, Dek, daripada kosong."
Aku di bawa ke kontrakan yang dimaksud. Memang kita tidak boleh menilai seseorang dari penampilan. Beliau yang aku sangka marbot ternyata juragan kontrakan.
Ya Allah. Ampuni hamba yang mudah berprasangka buruk pada sesama.
Di tempat ini aku akan menata hati. Tetap menjalankan bisnis online yang dirintis sebelum menikah.
Toh, selama ini aku menjalankan dengan sistem dropship, sehinga tidak perlu repot mengemas barang. Memang, untungnya tidak banyak, tapi setidaknya cukup untuk memenuhi kebutuhanku sehari-hari yang selama ini ditanggung oleh suami.
***
Sudah satu Minggu aku ada di sini. Tapi belum ada tanda-tanda, Mas Abian mau menjemputku. Ponsel tidak pernah aku matikan seperti pesanannya waktu itu.
Ibu juga tidak pernah menelpon atau meminta video call. Selama ini kami hanya berbalas pesan lewat chat
Sadar diri Silvia. Tidak mungkin mas Abian akan ingat kamu. Dia tengah berbahagia dengan orang yang ia cintai.
Ya Allah mengapa orang sejahat Anggraini malah lebih beruntung hidupnya ketimbang hamba?
Astaghfirullah. Kenapa aku malah menyalahkan takdir Allah. Pasti ada rahasia di balik semua ini.
"Mbak Silvia mau ikut kajian di masjid?"
Pak Lukman memberi tahu saat aku sedang mengepel teras depan kamarku.
"Boleh, Pak. Kapan?"
"Hari ini. Jam setengah sepuluh hingga waktu Dzuhur."
***
Kini aku sudah berada di tengah-tengah wanita Sholehah.
Rasanya adem sekali berada di taman surga yang dikelilingi oleh orang-orang Sholehah.
Ya, pengajian atau ta'lim adalah taman surga di dunia.
"Silvia?" Aku menoleh seketika. Kaget ketika tahu siapa yang memangil. Ibu.
Aku harus mengatakan apa bila ditanya?
"Ibu." Aku mendekati dan mencium punggung tangannya.Beliau menatapku penuh selidik. Rasa gugup menyelimuti perasaan. "Nanti jelaskan pada ibu!" bisiknya di telingaku. Suaranya penuh penekanan. Aku hanya bisa mengangguk. Selama kajian berlangsung, kami tidak saling berbicara satu sama lain. Orang lain mungkin khusyuk mendengarkan ceramah. Aku? Jangan tanyakan, karena otakku tak mampu menyerap materi kajian. Sibuk menyusun kalimat apa yang tepat untuk menjelaskan semua ini pada ibu. Masalah ini begitu rumit untukku.Tanpa terasa telah berada di ujung acara. Kajian sudah ditutup dengan doa kafaratul majlis. Ibu menarikku ke mobilnya. Kami berbicara di dalam kendaraan roda empat ini. Sopirnya entah ke mana. Mungkin sedang cari makan. Sehingga kami leluasa berbicara.Degup jantungku tak berirama. Rasa takut dan bingung melebur menjadi satu. "Kenapa kamu ada di sini, Silvia? Di mana suamimu?" Suaranya meninggi, sorot Matanya menyimpan amarah. Mungkin dikiranya aku yang membangkang d
"Ibu benar-benar kecewa dengan Abian. Ibu … hiks hiks hiks." Tangis ibu pecah. Sangat terluka.Aku pun ikut menangis melihat ibu begitu tersayat. Aku mengusap air mata yang menetes di pipi mertua. Beliau tidak hanya mertua tapi juga ibu keduaku. Deritanya adalah lukaku. Kami menangis bersama hingga sopir ibu terlihat panik saat mendekati mobil. Dikiranya kami kenapa-kenapa.Ibu pun mengangkat tangannya sebagai isyarat. Sepertinya Pak Paimo paham, sehinga sopir itu pun kembali menjauh dari kami."Sejak kapan kamu mengetahui pernikahan mereka? Kenapa kamu menutup semua ini dari ibu?" tanya ibu setelah berhenti menangis. "Silvia baru tahu pernikahan mereka, ketika dalam perjalanan menuju rumah Anggriani, Bu. Silvia sengaja tidak mau memberitahu, karena takut membuat ibu bersedih seperti ini. Maafkan Silvia, Bu." Cukup lama aku dan ibu terdiam. Kami larut dengan pikiran masing-masing. Ibu berulang kali mengurut dadanya seraya beristighfar. Mungkin untuk meredakan emosinya. "Selama i
"Ngapain kalian ke sini?" tanya ibu. Sepasang mata paruh baya itu menatap ke arah anaknya. Sorotnya melukiskan kesedihan, kekecewaan, amarah yang melebur menjadi satu.Mas Abian seolah membaca sorot mata itu. lekas, anak tunggal itu mendekat dan berlutut di hadapan ibu. Ibu bergeming bahkan membuang muka. "Bu. Maafkan Abian." Pria itu mengambil tangan ibu. "Untuk apa kamu meminta maaf padaku? Bukankah aku ini bukan siapa-siapa kamu?" tanya ibu, pelan tapi cukup menikam bagiku. "Kok, Ibu ngomong seperti itu? Sampai kapan pun Abian adalah anak, Ibu.""Ibu yang tidak dihargai! Ibu yang telah melahirkan anak tak tahu diri seperti kamu! Ibu yang tak dianggap! Sehingga tak perlu berpamitan padaku ketika menikahi perempuan itu!" Ibu meninggikan suaranya beberapa oktaf. Wanita peruh baya yang terlihat masih cantik itu benar-benar meluapkan emosinya. Suaranya bergetar hebat. Napas ibu terlihat memburu. Saat ini kedua mata indah itu mulai berkaca-kaca. Ibu terlihat sangat terluka. Merasa
Istri hanya Status Bab 8Silvia Ternodai? Apa tujuan dia ke sini?Dia maju ke arahku. Aku sangat takut. Dari gesturnya dia sedang marah. Aku mencoba menghindari, tapi sudah terlambat. Parahnya lagi pintu kamar ini dikunci. Anak kuncinya tidak menggantung. Artinya Mas Abian telah mengambilnya.Aku tidak bisa maju. Dia berusaha keras menghadangku. Aku ke kiri dia pun mengikuti. Sengaja. Aku semakin ketakutan. Mau apa dia?Mas Abian berhasil membuat aku terdiam di pojokan kamar. Pria itu tersenyum menyeringai.Jarak kami hanya sejengkal. Tangannya menempel pada tembok. Tubuhnya mengunci aku agar tak pergi. "Tolong bujuk ibu untuk memaafkan aku dan menerima Anggraini sebagai menantunya. Aku akan melakukan apa saja untukmu. Aku akan menyentuhmu sekarang juga. Asal lakukan apa yang aku mau. Jangan ragu aku akan memberikan imbalan yang selama ini kamu inginkan." Dia tersenyum sinis. Tangannya mulai kurang ajar. Mengelus pipiku, segera aku tangkis. Namun, tak menghentikan ulahnya. "Jang
Plak! Kini tangan ibu menampar pipi Abian yang sebelah lagi. Setelah satunya aku tampar. "Kamu apakan Silvia, Abian? Aku tidak pernah mendidikmu untuk kasar dengan perempuan. Terlebih ia istrimu. Bapakmu pasti akan merasa sedih kalau melihat anak kebanggaannya tidak bisa menghargai wanita." Abian tertunduk sambil memegangi pipinya yang kenapa tampar ibu. Pasti sangat panas dan sakit. Belum lagi rasa malu karena ibu melakukannya di depanku. Ingin rasanya aku tertawa di atas deritanya. Ibu mendaratkan tangan ke pipi Abian dengan sekuat tenaga. Suaranya terdengar nyaring."Mas, kamu ngga papa?" Tiba-tiba Anggraini sudah muncul di depan kamar. Tangannya mengelus pipi suami sirinya."Ibu kenapa tega menampar anaknya sendiri, demi menantu kampungan seperti dia?" Kini Anggraini menatap ibu dengan nyalang. Dia seberani itu pada mertuanya? Apa dia lupa siapa lawannya? Dasar manusia tak punya akhlak!"Aku tidak akan pernah menyesali perbuatanku karena telah menampar anak yang tidak tahu di
Mungkinkah dia dokter keluarga ibu? Apa aku tidak salah lihat? Ah, benar dia orang yang selama ini aku coba lupakan. Ternyata dunia sesempit ini. Kami dipertemukan lagi dengan kondisi seperti ini. "Assalamualaikum, Silvia." Suaranya memutuskan lamunanku.Astaghfirullah. Mengapa aku tak berkedip saat menatap manusia di depanku."Waalaikummussallam," jawabku gugup. "Kamu benar-benar Silvia, kan?" Pria berseragam putih itu ragu. Aku hanya mengangguk, pelan."Mari, sudah ditunggu ibu di dalam kamarnya," ucapku santun. Aku berusaha mengalihkan perhatiannya. Tanpa banyak bicara, orang itu berjalan di depanku. Ini salah satu kebiasaannya sedari dulu. Tidak mau berjalan di belakang perempuan. Salah satu adab di dalam Islam. Sebab, saat laki-laki berjalan dibelakang wanita, maka tidak bisa dipungkiri, ia akan melihat lekuk tubuh wanita, dan akan memperhatikan bagaimana cara jalannya. Jika sudah seperti itu, maka kemungkinan untuk terjadi kemaksiatan selanjutnya. "Bu Anis, Abian ke mana?
Kini kami harus kembali bertemu dengan situasi seperti ini. "Silvia. Dia itu anaknya teman ibu. Orang tuanya sangat baik. Sayangnya, ibu hanya memiliki anak satu, lelaki," ucap ibu, lesu.Aku masih terdiam. Mencerna maksud dari ucapan mertuaku. "Bu. Apa mas Abian perlu diberitahu keadaan ibu yang seperti ini?" tanyaku mengalihkan pembicaraan. Aku pikir anak harus tahu kondisi orang tuanya. "Jangan pernah menghubungi dia. Ibu tidak akan pernah mengemis perhatian dari anak pembangkang macam itu," ungkap ibu, lirih.Tatapan ibu menerawang ke depan. "Bu, maafkan Silvia yang telah lancang." "Kamu tidak salah. Saat ini ibu cukup butuh kamu, Nak." Aku mengulum senyum, mengangguk pelan, saat ibu menggenggam tanganku."Ibu ingin tidur. Tolong jangan pernah tinggalkan ibu, Silvia." Ibu sangat mengiba. Ibu memang berlimpah harta, tetapi saat ini yang beliau butuhkan adalah perhatian anaknya. Sayangnya, pria itu memilih pergi dengan pilihannya. Meninggalkan orang tua dengan segala lukanya.
POV Abian. Aku datang ke sini sebenarnya ingin meminta maaf pada ibu dan juga Silvia. Ibu pasti sangat terluka karena aku. Begitu pun dengan Silvia, selain kecewa dia juga pasti trauma dengan kejadian kemarin. Terbukti dia sangat takut saat melihatku pertama kali. Aku sendiri sangat menyesali mengapa bisa melakukan hal tak pantas padanya. Memang, aku berhak atas semua anggota badan Silvia, tetapi aku tak sepantasnya meminta dengan paksa. Aku benar-benar hilang kendali. Bahkan seperti tak mengenali diriku sendiri. Bagaimana bisa aku menjadi sosok yang sangat mengerikan begitu? Awalnya aku menolak ide gila yang Anggraini tawarkan. Namun, semenit kemudian aku mengiyakan saran istri keduaku setelah minum air putih pemberiannya.Kadang aku tidak mengerti dengan diriku sendiri. Sebentar menyadari kesalahan sebentar lagi aku menjadi manusia yang tak punya hati, ketika setelah bertukar pikiran dan dikasih makan oleh Anggraini. Kadang aku begitu cinta dengan Anggraini. Cinta yang menggeb