Share

H.2

Pintu rumahku di ketuk, setelah pindahan satu minggu lalu aku mulai kenalan dengan para tetangga. Rumah yang kami tempat tak besar, tapi cukup untuk keluarga kecil kami. 

"Waalaikumsalam, sebentar," kataku buru-buru memakai hijab instan yang selalu ada di gantungan khusus dekat pintu supaya mudah jika buru-buru harus aku gunakan. 

"Mbak Anisa, ya," kata wanita berparas cantik, kulit putih, dan memakai hijab warna coklat. 

"Iya, kataku."

Ia menyodorkan kotak putih besar ke hadapanku. "Dari Mama, katanya menyambut tetangga baru."

"Oh, iya, terima kasih. Rumahnya yang mana, ya?" Aku sebenarnya belum hapal betul. Apalagi repot pindahan dan atur ini itu, hanya baru bisa membagi makanan kotak selametan rumah baru. 

"Cat hijau itu, Mbak, B1.nomor 3," jawabnya lagi. 

"Oh, terima kasih sekali lagi, ya."

"Iya, Mbak, pulang dulu, ya, Assalamualaikum," pamitnya. 

"Waalaikumsalam," balasku lagi kemudian menutup pintu. Karena rumahmu model tanpa pagar, jadilah siapa yang datang bisa mengetuk pintu ruang tamu. Kue aku bawa masuk, Farid bertanya dari siapa kue itu dan segera aku beri tau. 

"Nis, aku besok dinas tiga malam, kamu nggak apa-Apa kan sama anak-anak aja. Apa perlu telepon Mama buat temani di sini?" 

"Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu dinas ke mana lagi? Sabtu depan ulang tahun ke lima Nazwa, kita jadi bikin syukuran, kan?" 

"Jadi. Aku ke Samarinda, timku harus cek laporan dan aktualnya di sana. Kalau mau Mama temani, aku bisa--"

"Assalamualaikum," suara mama mertuaku terdengar, segera aku berlari membuka pintu. Mama memelukku erat, aku senang beliau datang, mama itu baik dan selalu bisa membuatku tenang. Kadang kala kami saling cerita, apalagi papa mertuaku, dia mantan pelatih basket nasional, juga seorang guru di SMA favorit. 

"Lagi pada ngapain, Mama ke sini mendadak, maaf ya," ucapnya. 

"Nggak apa-apa, Ma. Mama sendiri? Naik apa?" 

Aku segera ke dapur untuk membuat minuman. 

"Taksi online, Mama tadi iseng aja, di rumah sendirian males. Yaudah ke sini, Papa kalian lagi ngajar di tempat biasa, hari sabtu malah padat dia." 

Mama duduk di sofa, memangku Arinda yang sedang makan jelly. Setelah membuat minuman, segera aku suguhkan dan aku ke kamar karena menyiapkan baju untuk besok di bawa Farid dinas. 

Tunggu, aku kok bingung, ya. Hari minggu kok berangkat dinas? Bukannya harusnya hari kerja, ya? 

Ah, sudah, ngapain curiga. Aku mengeluarkan koper, membuka lemar, memilih baju mana yang akan dibawa selain satu seragam yang memang harus dipakai suamiku. 

Setelah semua siap, kembali aku keluar kamar namun mndeapati mama mertuaku sedang menegur marah suamiku. Lho, ada apa ini? 

Aku mendekat, raut wajah mama seketika mengendur lagi, mendadak ia memelukku erat seperti merasa bersalah akan sesuatu. Sedangkan suamiku menunduk lalu pamit keluar rumah dengan alasan ke minimarket. 

"Ada apa, Ma?" 

Mama hanya tersenyum. "Nisa, kapan-kapan, seringlah nginap di rumah Mama, ya."

"Iya ... Ma, tapi ada apa. Mama tadi habis marahin Farid? Kenapa, Ma?" Aku tak suka basa basi, apa suamiku menyimpan satu rahasia, atau kenapa? 

Mama mertuaku menggenggam tanganku erat, terasa dingin. Ya Allah, ada apa ini .... Jantungku mulai terasa berdebar hebat, tak karuan bahkan seperti hampir mau copot. 

"Nisa, maaf Mama selama ini tutupi dari kamu, maafkan Mama, ya." Lalu, setitik air mata keluar dari kedua sudut mata mama. 

"Ma, katakan, nggak apa-apa, Ma, jujur cerita ke Nisa. Farid kenapa?" Suaraku mulai bergetar. 

"Maafkan Mama Nisa, Mama nggak kuat tutupi ini lagi. Maafkan Farid," lirih mama lalu menangis. "Tolong bertahan, tolong ya ...," lanjut mama. 

"I-ya, Ma, tapi ada apa, Ma?" Aku bisa merasakan jemari mama meremas erat jemariku. 

"Farid, sebenarnya sudah punya istri dan tinggal di Samarinda. Mama terpaksa turuti mau dia menikahi kamu beberapa tahun lalu karena saat itu Farid dan istrinya di sana sedang diambang perpisahan, tapi ternyata tidak jadi dan ... Farid mau tetap menikah dengan istrinya di sana juga denganmu, Nisa. Mama minta maaf ... maaf ...." Air mata Mama pecah, isak tangis bahkan sampai meraung-raung pun terdengar. 

Bak tersambar petir disiang bolong, tubuhku menegang kaku. Benarkah ini, atau hanya mimpi yang tidak bisa membiarkanku terbangun. 

Ya ... benar, hal itu aku tau beberapa tahun lalu, kini pernikahanku dengan Farid sudah memasuki usia 12 tahun. Apa yang terjadi sesudahnya, semua bak kepura-puraan. Poligami, aku mengalami dan imbasnya kini ada pada anak-anakku. Nazwa begitu emosional, ia sudah sebelas tahun, tidak dekat dengan papanya, pun Arinda yang sudah delapan tahun. 

Aku mati-matian memberi pengertian jika papanya memiliki istri dua, tapi rasanya percuma karena anak sekarang nalarnya melebihi anak jaman dulu. Bagi Nazwa, papanya tidak sayang kepadaku, juga adiknya. Karena lebih sering di perumahan lain tempat istri pertamanya tinggal yang diboyong ke Jakarta. 

Status di kantor lebih membuatku merasa ngenes, karena semua kejanggalan saat menikah dulu yang sederhana tanpa pesta, ternyata menjadi penutup aib yang disengaja ditata Farid dan didukung keluarganya. Bahkan hingga pengkoveran kesehatan pun, suamiku memakai produk asuransi swasta, ternyata ini yang ditutupi. 

Tetapi kenapa? Sampai sekarang aku belum mendapat jawaban. Sabar, mama mertuaku yang begitu sayang kepadaku bukan istri pertama Farid, selalu meminta itu. 

Lama kelamaan aku menjadi seperti manusia yang hidup tanpa jiwa, melayani suamiku saat sedang di rumah kami, tapi hanya berperan, bukan dengan ketulusan. 

bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status