Pintu rumahku di ketuk, setelah pindahan satu minggu lalu aku mulai kenalan dengan para tetangga. Rumah yang kami tempat tak besar, tapi cukup untuk keluarga kecil kami.
"Waalaikumsalam, sebentar," kataku buru-buru memakai hijab instan yang selalu ada di gantungan khusus dekat pintu supaya mudah jika buru-buru harus aku gunakan.
"Mbak Anisa, ya," kata wanita berparas cantik, kulit putih, dan memakai hijab warna coklat.
"Iya, kataku."
Ia menyodorkan kotak putih besar ke hadapanku. "Dari Mama, katanya menyambut tetangga baru."
"Oh, iya, terima kasih. Rumahnya yang mana, ya?" Aku sebenarnya belum hapal betul. Apalagi repot pindahan dan atur ini itu, hanya baru bisa membagi makanan kotak selametan rumah baru.
"Cat hijau itu, Mbak, B1.nomor 3," jawabnya lagi.
"Oh, terima kasih sekali lagi, ya."
"Iya, Mbak, pulang dulu, ya, Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumsalam," balasku lagi kemudian menutup pintu. Karena rumahmu model tanpa pagar, jadilah siapa yang datang bisa mengetuk pintu ruang tamu. Kue aku bawa masuk, Farid bertanya dari siapa kue itu dan segera aku beri tau.
"Nis, aku besok dinas tiga malam, kamu nggak apa-Apa kan sama anak-anak aja. Apa perlu telepon Mama buat temani di sini?"
"Nggak usah, aku bisa sendiri. Kamu dinas ke mana lagi? Sabtu depan ulang tahun ke lima Nazwa, kita jadi bikin syukuran, kan?"
"Jadi. Aku ke Samarinda, timku harus cek laporan dan aktualnya di sana. Kalau mau Mama temani, aku bisa--"
"Assalamualaikum," suara mama mertuaku terdengar, segera aku berlari membuka pintu. Mama memelukku erat, aku senang beliau datang, mama itu baik dan selalu bisa membuatku tenang. Kadang kala kami saling cerita, apalagi papa mertuaku, dia mantan pelatih basket nasional, juga seorang guru di SMA favorit.
"Lagi pada ngapain, Mama ke sini mendadak, maaf ya," ucapnya.
"Nggak apa-apa, Ma. Mama sendiri? Naik apa?"
Aku segera ke dapur untuk membuat minuman.
"Taksi online, Mama tadi iseng aja, di rumah sendirian males. Yaudah ke sini, Papa kalian lagi ngajar di tempat biasa, hari sabtu malah padat dia."
Mama duduk di sofa, memangku Arinda yang sedang makan jelly. Setelah membuat minuman, segera aku suguhkan dan aku ke kamar karena menyiapkan baju untuk besok di bawa Farid dinas.
Tunggu, aku kok bingung, ya. Hari minggu kok berangkat dinas? Bukannya harusnya hari kerja, ya?
Ah, sudah, ngapain curiga. Aku mengeluarkan koper, membuka lemar, memilih baju mana yang akan dibawa selain satu seragam yang memang harus dipakai suamiku.
Setelah semua siap, kembali aku keluar kamar namun mndeapati mama mertuaku sedang menegur marah suamiku. Lho, ada apa ini?
Aku mendekat, raut wajah mama seketika mengendur lagi, mendadak ia memelukku erat seperti merasa bersalah akan sesuatu. Sedangkan suamiku menunduk lalu pamit keluar rumah dengan alasan ke minimarket.
"Ada apa, Ma?"
Mama hanya tersenyum. "Nisa, kapan-kapan, seringlah nginap di rumah Mama, ya."
"Iya ... Ma, tapi ada apa. Mama tadi habis marahin Farid? Kenapa, Ma?" Aku tak suka basa basi, apa suamiku menyimpan satu rahasia, atau kenapa?
Mama mertuaku menggenggam tanganku erat, terasa dingin. Ya Allah, ada apa ini .... Jantungku mulai terasa berdebar hebat, tak karuan bahkan seperti hampir mau copot.
"Nisa, maaf Mama selama ini tutupi dari kamu, maafkan Mama, ya." Lalu, setitik air mata keluar dari kedua sudut mata mama.
"Ma, katakan, nggak apa-apa, Ma, jujur cerita ke Nisa. Farid kenapa?" Suaraku mulai bergetar.
"Maafkan Mama Nisa, Mama nggak kuat tutupi ini lagi. Maafkan Farid," lirih mama lalu menangis. "Tolong bertahan, tolong ya ...," lanjut mama.
"I-ya, Ma, tapi ada apa, Ma?" Aku bisa merasakan jemari mama meremas erat jemariku.
"Farid, sebenarnya sudah punya istri dan tinggal di Samarinda. Mama terpaksa turuti mau dia menikahi kamu beberapa tahun lalu karena saat itu Farid dan istrinya di sana sedang diambang perpisahan, tapi ternyata tidak jadi dan ... Farid mau tetap menikah dengan istrinya di sana juga denganmu, Nisa. Mama minta maaf ... maaf ...." Air mata Mama pecah, isak tangis bahkan sampai meraung-raung pun terdengar.
Bak tersambar petir disiang bolong, tubuhku menegang kaku. Benarkah ini, atau hanya mimpi yang tidak bisa membiarkanku terbangun.
Ya ... benar, hal itu aku tau beberapa tahun lalu, kini pernikahanku dengan Farid sudah memasuki usia 12 tahun. Apa yang terjadi sesudahnya, semua bak kepura-puraan. Poligami, aku mengalami dan imbasnya kini ada pada anak-anakku. Nazwa begitu emosional, ia sudah sebelas tahun, tidak dekat dengan papanya, pun Arinda yang sudah delapan tahun.
Aku mati-matian memberi pengertian jika papanya memiliki istri dua, tapi rasanya percuma karena anak sekarang nalarnya melebihi anak jaman dulu. Bagi Nazwa, papanya tidak sayang kepadaku, juga adiknya. Karena lebih sering di perumahan lain tempat istri pertamanya tinggal yang diboyong ke Jakarta.
Status di kantor lebih membuatku merasa ngenes, karena semua kejanggalan saat menikah dulu yang sederhana tanpa pesta, ternyata menjadi penutup aib yang disengaja ditata Farid dan didukung keluarganya. Bahkan hingga pengkoveran kesehatan pun, suamiku memakai produk asuransi swasta, ternyata ini yang ditutupi.
Tetapi kenapa? Sampai sekarang aku belum mendapat jawaban. Sabar, mama mertuaku yang begitu sayang kepadaku bukan istri pertama Farid, selalu meminta itu.
Lama kelamaan aku menjadi seperti manusia yang hidup tanpa jiwa, melayani suamiku saat sedang di rumah kami, tapi hanya berperan, bukan dengan ketulusan.
bersambung,
Tidak bisakah jika semua ini hanya candaan? Sengaja mengerjaiku? Namun, nyatanya ini kenyataan. Semenjak aku tau jika suamiku menjadikanku istri kedua, rasanya duniaku kacau balau. Aku ... yang begitu menaruh harapan akan rumah tangga kami, sikap santun Farid, nyatanya ia lakukan sebagai pelarian yang kala itu sedang bermasalah dengan istri pertamanya. Aku dibohongi, jelas pasti. Pernah aku ajukan cerai, walau masih secara verbal, tapi Farid menolak dengan alasan anak-anak dan ia juga mencintaiku. Apakah bisa satu hati terbagi? Farid bisa melakukannya? "Nazwa, bekalnya, Nak," kataku saat Nazwa siap berangkat sekolah. "Iya, Ma." Ia sibuk menyiapkan buku sekolah, setelah kulihat ia keluar kamar, Nazwa juga membawakan tas sekolah Arinda. "Ma, Kakak minggu ini terakhir naik jemputan?" "Iya, nanti Mama aja yang antar, ya," sahutku lagi. Arinda menyusul keluar kamar. Ia sudah memakai seragam sekolah lengkap. Alhamdulillah, kedua anakku begitu patuh dan tidak neko-neko. Bisa dibilang F
Farid pulang, anak-anak sedang mengerjakan tugas sekolah dengan dibantuku di meja makan. Karena hal itu kebiasaan kami, kadang anak-anak tidak fokus kalau mengerjakan PR di kamar mereka, alasannya 'ngantuk'. Padahal dari yang aku lihat ya anak-anak hanya ingin aku membantunya. "Kak, kamu katanya diminta ikut lomba matematika perwakilan sekolah, beneran?" Sengaja aku bersuara agak keras, supaya Farid yang sedang melepaskan sepatu di teras terdengar. "Assalamualaikum," sapanya. "Waalaikumsalam," jawab kami kompak seraya menoleh ke arah pintu ruang tamu rumah kecil kami, hanya dengan ukuran luas tanah 100m². "Kak Nazwa ikut lomba? Keren anak Papa," pujinya sambil berjalan ke dapur untuk cuci tangan. Setelah mengeringkan tangan, Farid mencium pucuk kepala anak-anak bergantian. Lalu mencium pipi kiriku lama, sangattt ... lama hingga kedua mataku terpeja karena justru merasa nyeri di hati. "Kakak masih mikir, Pa," kata Nazwa. "Kenapa masih mikir?" Farid memeluk bahuku dari belakang sa
Punggung tanganku basah karena derai air mata yang sejak tadi berulang kali kuhapus tapi tetap saja tidak berhenti. Di depanku, Farid hanya tertunduk saat kuceritakan tentang Siska yang tadi datang ke rumah, memberikan syarat untukku jika masih ingin menjalin rumah tangga dengan Farid. "Di sini, kenapa aku yang seolah salah karena sudah merebutmu? Padahal aku yang jelas ditipu olehmu, bukan"? Suaraku bergetar, begitu pelan bicara karena takut anak-anak terbangun dan dengar percakapan kami. “Mereka memang tidak tau dan aku takut jika tau, Siska jadi sasaran kemarahan keluarganya.” Terkejut, aku bahkan sampai memegang dadaku. Sakit terasa. Benar berarti Farid lebih mencintai Siska dari pada aku. “Kamu bisa lepaskan aku,” kataku berani seolah itu keputusan akhir. Farid menggeleng cepat, ia memelukku erat, begitu erat sampi degup jantungnya terasa berdetak cepat. Aku menangis dalam pelukannya lagi. “Aku tidak mau jadi pihak yang disalahkan." “Kamu tidak salah, Nisa, sama sekali tidak
Guyuran hujan tak membuatku mengurungkan niat pergi ke toko bahan kue. Besok Arinda, putri keduaku berulang tahun ke sembilan. Sudah dari jauh hari kuniatkan membuat kue sendiri, ya ... walau bukan ahli baking kue, tapi gak ada salahnya mencoba. Kukibas air hujan yang sedikit membahasi jilbab dan bajuku dengan tangan sebelum masuk ke dalam toko. Mobil sudah terkunci, aku mendorong pintu toko bahan kue yang hampir sebesar minimarket 'maret-maret' itu. "Selamat sore," apa pelayan. "Sore, Mbak," balasku kemudian meraih keranjang belanja warna merah. Catatan bahan kue yang aku butuhkan sudah siap, sejak dari rumah aku catat dengan rinci jangan sampai ada yang terlewat. Satu persatu bahan kue aku masukan ke dalam keranjang, saat berdiri di depan rak aneka bahan pasta, aku mematung. Farid bersama Siska berdiri berjarak dariku dengan wajah berseri-seri. Astaghfirullahaladzim, batinku berucap. Ingin rasanya kaki ini mendekat, tapi tak sanggup melangkah. Farid tampak mesra merangkul Sisk
Tanganku berhenti menghias kue tart saat suara kedua mertuaku terdengar di teras depan rumah. Kuletakkan plastik berisi krim di atas piring, berjalan ke depan menemui mereka. “Waalaikumsalam, Ma, Pa,” balasku sambil membuka pintu ruang tamu. “Wangi kue. Kamu jadi bikin?” Mama mencium kedua pipiku bahkan kening, pun papa, ia bahkan memelukku erat. “Masuk, Ma, Pa,” ajakku. Mereka berjalan masuk, di kedua tangannya membawa tas belanja besar. “Arin mana?” bisik mama. “Lagi ke mini market sama Nazwa, Nisa suruh beli susu kotak. Mama Papa jadi nginep, ‘kan?” Aku membantu membawakan tas milik mama yang isinya baju, lalu aku letakkan di kamar anak-anak. “Ya, jadi, lah. Udah niat. Farid … pulang malam ini, ‘kan? Acara ulang tahun Arinda nanti sore jam empat, ‘kan?” Mama yang cerewet tapi baik, bertanya merepet. Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala sambil tersenyum. “Aki! Nini!” teriak anak-anak saat tiba ke rumah. Aku kembali ke dapur untuk melanjutkan menghias kue. Goodie bag seba
“Papa pulang, Nak,” bisik Farid saat tiba di rumah dan langsung masuk ke dalam kamar anak-anak. Kedua sorot mata orang tuanya menunjukkan amarah yang tidak bisa teralihkan. Aku sendiri hanya bisa terdiam sambil berjalan ke dapur untuk melihat bahan masakan untuk hari itu. “Mama sudah masak, Nis, kamu istirahat aja, ya.” Mama mengusap bahuku. “Nisa repotin Mama, jadi Mama yang masak,” kataku tak enak hati. “Nggak apa-apa, Mama masak rawon sama goreng ayam. Tadi Nazwa minta itu.” “Iya, Ma, terima kasih, Ma.” Aku tersenyum begitu penuh syukur mama mertuaku begitu baik bahkan menerima kondisiku sebagai istri kedua anaknya. Mama menarik tanganku, mengajak ke teras depan rumah, kami duduk bersisian. “Nisa, tadi kamu ketemu Siska? Gimana reaksi dia waktu ketemu kamu tadi?” Mama tampaknya sangat penasaran. “Kaget, Ma. Pembantunya yang bukakan pagar, nggak lama Siska dan Farid keluar temuin Nisa. Siska kesal, Nisa nggak tahan sama semua ini dan sepertinya Farid nggak datang kemarin karen
Kami semua pulang, Arinda kembali istirahat di kamarnya. Aku memberinya obat lalu tak lama ia pulas tidur. Nazwa menangis walau sikapnya tenang saat Farid duduk di sisinya, jika aku lihat suamiku sedang menjelaskan keadaan kami. Ya Allah, perih rasaya melihat Nazwa hanya mengangguk mencoba memahami walaupun pasti ingin teriak. “Rid, tolong tegas. Siska nggak bisa berlaku seperti ini ke kamu. Dia harusnya sadar kamu masih mau kasih kesempatan kedua walaupun harus Nisa yang dikorbankan.” Mama mertuaku menatap garang ke Farid. Ia hanya mengusap kasap wajahnya. “Ma, susah. Farid maunya semua akur dan damai, bukan malah seperti ini.” Apa? Akur? Damai? Sadar Farid, kamu bukan sultan yang kaya raya dan bisa menikmati dua wanita walau sah secara bersamaan. Aku kesal menatap suamiku, dengan tekad kuat dan yakin akhirnya aku berani berpendapat. “Kalau begitu, karena kamu tidak bisa bersikap adil. Mulai hari ini aku yang akan bilang ke Siska kalau kamu harus lebih banyak ada dengan kami. Den
Ponsel Farid tidak langsung aku letakkan di atas meja. Aku ingin tau apa yang Farid ceritakan benar adanya tau sekedar supaya aku percaya. Jemariku terus bergerak membaca history chat mereka. Jujur sekali, Farid memang tidak banyak mengetik balasan bahkan bertanya sebagai bentuk perhatian kecil juga sewajarnya. Sama sekali tidak membuat aku cemburu, yang ada aku jadi berpikir, kenapa mereka harus bertahan jika sudah tidak ada percikan rasa cinta. Tetapi memang terlihat Siska yang dominan dan bernafsu banyak bertanya ke Farid. Beralih ke galery foto, kucoba mencari apakah ada foto-foto mereka. Ternyata ada, tapi foto saat mereka pacaran dan awal menikah. Terlihat suamiku bahagia difoto itu, sedikit mulai kurasakan nyeri di hati tapi segera aku tepis karena fokusku bukan itu saja. Kembali aku mencari bukti lain, kini beralih ke laporan transaksi uang Farid. Aku penasaran, apakah suamiku juga menafkahi Siska walau jelas sekali terlihat wanita itu mampu menghidupi diri sendiri. Aku men