Share

DOKTER BARU

Melihat ekspresi serius sang dokter membuat Nayla semakin bertanya-tanya. Tadi bersikap senang sekarang malah terlihat sebaliknya.

“Ada apa , Dok. Apakah ada masalah serius?” terka Nayla.

Dokter Samuel menghela napas berat, ia seperti enggan untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang terjadi. Nayla mendengarkan dengan seksama perkataan Dokter Samuel hingga Nayla kaget mendengar perkataannya.

“Lalu Kalau dokter pensiun, siapa yang akan mengobati penyakit saya? Sedangkan hanya dokter lah dokter yang saya percayai.” Nayla protes saat mendengar jika dokter Samuel akan pensiun.

“Nyonya tenang saja, anak saya juga seorang dokter ahli kanker dia juga hari ini mulai kerja di sini. Jadi saat nanti saya pensiun kemungkinan satu atau dua bulan lagi atau mungkin ini pertemuan kita terakhir akan ada anak saya yang menggantikan. Nyonya jangan risau, dia juga keahliannya tidak perlu diragukan lagi.”

“Apakah saya akan cocok sama anak dokter? Dokter tahu sendiri kan, saya selalu tidak cocok kalau ditangani dokter lain?”

“Insya Allah pasti cocok percayalah. Sebenarnya oleh dokter siapa pun jika di hati Nyonya ada keyakinan untuk sembuh maka Nyonya pasti akan sembuh.”

“Dokter memang benar. Mungkin saya yang terlalu pesimis.”

Kadang rasa optimis untuk sembuh hadir di diri Nayla, namun terkadang pula optimisme nya down terlebih saat ia mendengar berita orang yang meninggalkan karena kanker rahim. Itu menumbuhkan rasa takut dirinya.

Bukan kematian yang ia takutkan melainkan, ia belum siap jika harus berpisah untuk selamanya dengan suaminya. Ia merasa belum mampu membahagiakan suaminya.

Melihat perubahan raut wajah Nayla membuat dokter Samuel memilih mengganti topik pembicaraan. Ia juga tidak tega jika harus terus membahas masalah penyakit yang diderita oleh Nayla.

“Kebetulan anak saya ada di sini. Mungkin lebih baik jika saya perkenalkan hari ini. Supaya nantinya sudah mulai terbiasa. Ada kemungkinan juga saat melakukan pemeriksaan akan melibatkan putra sulung saya.”

“Saya rasa itu lebih baik. Saya termasuk orang yang lama akrab, mungkin dengan terbiasa berinteraksi jadi tidak canggung lagi.”

“Tunggu sebentar, ya, saya telepon anak saya.”

Nayla mengaguk, lalu Dokter Samuel pun terlihat tengah menelepon. Sembari menunggu dokter Samuel telepon Nayla memilih memainkan smartphone miliknya. Ia membuka aplikasi WA hingga tanpa di duga ia harus melihat postingan Santi.

Sebuah foto mesra saat mereka di dalam pesawat. Mendadak hatinya terasa ngilu, sesak rasanya. Andai dia sedang tidak di rumah sakit. Mungkin saja pertama kali melihat postingan tersebut ia langsung menangis.

Harusnya ia senang melihat suaminya dekat dengan Santi. Bukankah jika mereka dekat maka keinginannya akan terkabul? Jika cinta harus tumbuh di antara mereka. Namun harus ditegaskan mulutnya memang bilang ikhlas tapi hatinya mungkin saja belum merasa ikhlas.

Dalam hatinya ia terus saja bermonolog. Seraya matanya terus memperhatikan satu demi satu foto yang di posting oleh Santi.

‘Ya Allah kenapa harus sesakit ini? Ini baru awal, akankah hati ini sanggup kedepannya? Menyaksikan kemesraan Suamiku dan Santi?’

‘Duhai hati... tolong berdamailah dengan takdir. Ikhlaskan sepenuhnya.’

Nayla tersentak kaget saat Dokter Samuel tiba-tiba saja menepuk bahunya. Mungkin karena ia malah melamun.

“Astaghfirullah, ada apa, Dok?” tanya Nayla saat kesadarannya kembali.

“Nyonya kenapa? Kok matanya merah?”

Dokter Samuel sepertinya melihat kedua mata Nayla merah karena menahan tangis.

“Enggak kenapa-kenapa, Dok. Ah iya kenapa, tadi mau bicara apa?”

Sepertinya Nayla memang paling pintar mengalihkan topik, pintar berkamuflase dan pintar membolak-balikkan keadaan.

“Saya hanya ingin mengatakan jika sebentar lagi anak saya ke sini.”

Selang beberapa menit, terdengar suara ucapan salam dan ketukan pintu. Dokter Samuel pun mempersilakan orang yang tadi mengetuk pintu untuk masuk.

Berjalan seorang pria tampan tinggi, lengkap dengan setelan baju kerjanya. Ia berjalan menghampiri dokter Samuel dan Nayla.

Dokter Samuel tersenyum menyambutnya lalu dengan bangga memperkenalkannya pada Nayla.

“Nyonya Nayla perkenalkan ini adalah anak saya yang akan membantu pengobatan Anda selepas saya pensiun.”

Nayla dengan senang hati membalikkan indra penglihatannya ke arah orang yang baru saja diperkenalkan oleh dokter Samuel.

“Halo, senang berkenalan dengan Anda Nama saya Nayla” Ujar Nayla.

Jika respons Nayla biasa saja. Lain halnya dengan anak dokter Samuel yang terlihat terkejut melihat Nayla.

Nayla lalu mengulurkan tangannya seraya menyebutkan namanya. Namun orang yang ada di hadapannya ini malah diam. Ini malah sukses membuat Nayla bertanya-tanya dan langsung menoleh pada dokter Samuel.

Mungkin ia ingin memberitahu kenapa dengan anaknya diajak kenalan malah diam bak patung. Hingga diamnya orang itu terpangkas tatkala dokter Samuel. Memanggil nama sang anak.

“Raka, Raka,” panggil dokter Samuel.

“Eh, maaf, maaf,” sesal pria itu yang ternyata bernama Raka.

Melihat uluran tangan dari Nayla membuat Raka pun membalas uluran tangan itu. Lalu memperkenalkan dirinya.

“Saya Raka.”

“Nayla.” Nayla terpaksa mengulang memperkenalkan dirinya takut tadi tidak terdengar oleh Raka karena melamun.

Hal yang membuat Raka diam yaitu, terkejut karena pasien sang ayah adalah orang yang tadi ia tolong. Sungguh ia sama sekali tidak menyangka ternyata orang yang tadi ia tolong yang tak lain adalah Nayla menderita penyakit yang parah.

“Senang berkenalan dengan Anda dokter Raka.” Ucap Nayla dengan tulus. “Saya harap kita cocok hingga proses pengobatan saya berjalan dengan lancar.”

Raka kembali tersadar. “Semoga saja seperti itu. Yang terpenting Anda tetap harus memiliki jiwa semangatnya. Percuma jika kita melakukan pengobatan tapi dalam diri kita sama sekali tidak memiliki jiwa penyemangat. Yakinlah setiap penyakit ada obatnya, setiap penyakit pasti akan mudah diatasi. Karena apa? Karena Allah tidak mungkin menciptakan sesuatu tanpa ada obat penawarnya.”

Kesan pertama sangat memukau. Nayla tidak menyangka orang di hadapannya ini ternyata begitu penuh dengan aura pemimpi yang kuat. Ia kira dokter Raka tidak pantas menjadi seorang dokter melainkan lebih pantas jadi seorang pemimpin perusahaan.

“Saya tahu, namun terkadang mood seseorang ada kalanya terpuruk dan saat tahu kenyataannya dirinya menderita sakit parah. Hanya bisa pasrah meratapi nasibnya. Alhamdulillah, aku diberikan rezeki dan memiliki suami yang selalu support aku hingga aku masih Semangat sembuh sampai detik ini.”

Lagi dan lagi Raka terkejut. Dan kali ini ia terkejut karena ternyata Nayla wanita yang sudah bersuami. Sehingga rasa simpatiknya terpaksa harus ia tarik kembali sebab merasa tidak pantas memiliki rasa simpatik pada seorang wanita bersuami. Sungguh itu sebuah asumsi yang tidak masuk akal.

Tidak lama, Nayla melirik pada jam tangan ditangannya yang ternyata sudah menunjukkan pukul tiga sore. Itu artinya ia pergi sudah terlalu lama. Dalam hatinya ia sudah pasrah pasti mertuanya itu akan mengomel.

“Dok, ini sudah sore. Sepertinya saya harus pulang.”.

“Baik. Kalau gitu ini resep yang harus di tebus. Kalau bisa ketika jadwal pemeriksaan bisa tepat waktu. Agar kejadian seperti tadi tidak terulang lagi. Apalagi jika obatnya sudah habis.”

“Lain kali saya akan tetap waktu, Dok. Kalau begitu saya permisi. Assalamualaikum.”

“Waalaikum salam.” Jawab serempak Dokter Samuel dan Raka.

Selepas kepergian Nayla, Raka langsung saja membanjiri ayahnya dengan banyak pertanyaan sekitar Nayla.

“Ayah apakah itu pasien Ayah yang selalu ayah ceritakan ke Raka?”

Dokter Samuel yang memang sedari tadi terus melihat ke arah Nayla hingga hilang di balik pintu ruangannya.

“Iya, dia adalah orang yang sering ayah ceritakan. Ayah harap nanti kamu bisa mendampingi pengobatan Nyonya Nayla dengan baik. Ia adalah orang baik dan orang sebaiknya harus kita bantu sampai sembuh.”

“Perkara sembuh tidaknya itu ketentuan Allah. Yang terpenting kita sudah berusaha.”

“kau benar, Nak. Oh ya ayah kira Nyonya Nayla akan mengenali kamu karena kamu tadi sudah menolong dirinya.”

“Mana ingat ayah. Kesadarannya memang sudah tidak ada jadi mana mungkin ia tahu. Ayah kan sudah memeriksakannya. Kenapa bisa sampai pingsan seperti itu?’’

“Dia tidak mampu menahan rasa sakit, obatnya habis.”

Raka hanya mengangguk mengerti lalu pikirannya kembali terbang kejadian tadi saat dirinya menolong Nayla. Sebelum kesadaran Nayla benar-benar hilang, keluar kata-kata dari mulut Nayla yang mengganggu pikirannya sampai sekarang.

' Jangan tinggalin aku, Mas.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status