Share

Salah Paham

Dua hari sudah Nayla ditinggalkan Fery berbulan madu. Hari-harinya hanya ia habiskan di taman belakang. Terasa sepi, ada sesuatu yang hilang di jiwanya.

Ia menghela napas berat. Kenapa ia merasa beban hidupnya terasa bertambah dua kali lipat. Apakah keputusan dirinya untuk menikahkan suaminya dengan Santi adalah sebuah kekeliruan? Sebab ia malah merasa terbebani. Belum lagi mertuanya yang semakin hari semakin merasakan saja. Tidak pernah sekalipun memperlakukan dirinya dengan baik.

Selama dua hari itu juga sama sekali tidak ada kabar dari Fery. Handphone miliknya sepi, meskipun berulang kali mengecek takut Fery menghubunginya dan hasilnya sama tidak ada satu pesan atau pun misscall.

Ingin menghubungi terlebih dahulu ia tidak mau. Karena takut menggagu acaranya mereka. Nayla kira dengan dirinya tidak menghubungi suaminya, suaminya yang akan menghubungi dirinya terlebih dahulu. Kenyataan tidak ada sama sekali.

“Mas, apakah kamu benar-benar menikmati acara bulan madumu? Sampai-sampai aku kau lupakan. Minimal kasih Nayla kabar,” monolog Nayla dengan tidak terus menatap layar handphone.

Nayla ingat di hari pertama mereka berangkat. Santi memposting kemesraan mereka. Hingga Nayla berspekulasi mungkin saja Santi memposting kebersamaan mereka di akun media sosialnya dan di status WA-nya.

Dugaan Nayla benar. Santi memposting kebersamaan mereka. Sungguh terlihat indah kebersamaan mereka. Santi yang terlihat tersenyum lebar belum lagi suaminya pun ikut tersenyum. Sikap keduanya berbanding terbalik. Jika awal-awal mereka saling menolak dan sekarang justru terlihat saling menerima.

Mungkin ia tidak akan terlalu terluka jika kedekatan hubungan mereka memiliki waktu. Ini? Hanya itungan hari kedua seperti sudah saling menerima lama satu sama lain.

Di tengah perasaan sakit hatinya karena melihat keakraban suami dan sahabatnya. Tiba-tiba suara ibu mertuanya terdengar sontak membuat Nayla terperanjat. Bahkan handphone yang ada di tangannya hampir terjatuh ke kolam.

“Astagfirulah,” pekik Nayla seraya memegangi dadanya. Jantungnya berdetak kencang karena terkejut.

“Nayla! Nayla!” suara teriakan itu kembali terdengar. Membuat Nayla buru-buru beranjak.

“Iya, Bu. Tunggu!” balas Nayla.

Nayla sedikit berlari untuk sampai ke Siska. Ia tidak ingin terlalu lama hingga sang mertua kembali memarahi.

“Ada apa, Bu. Ibu memanggil Nayla?”

Siska sudah memasang wajah tidak ramah dan Nayla tahu ia pasti akan kena Omelan.

“Kebiasaan kamu itu tiap kali dipanggil lama, ibu heran telinga kamu itu sebenarnya berfungsi dengan baik atau tidak.”

“Maaf, Bu. Tadi Nayla di belakang.”

“Maaf, maaf. Bosan telinga ibu. Terus saja dengar kata mau dari kamu. Nayla kamu dengar, ya. Fery sama Santi sedang dalam perjalanan pulang....”

Nayla terkejut mendengar perkataan ibu mertuanya itu. Hingga ia pun tanpa sengaja menyela perkataan Siska.

“Benarkah, Bu? Kenapa Nayla tidak tahu. Mas Fery gak bilang apa-apa.”

“Ibu paling gak suka kalau lagi ngomong tapi disela seperti tadi. Tidak sopan! Lagian buat apa Fery harus kabarin kamu kalau dia mau pulang. Sepenting itu kah kamu? Atau kamu merasa sebagai istri pertama harus diperlakukan istimewa? Mimpi!”

Dalam masalah dimaki dan dihina mungkin hati Nayla sudah kebal. Sudah jadi makanan sehari-hari untuk Nayla. Tidak ada angin tidak ada hujan mertuanya itu kadang selalu mencari masalah dengan dirinya. Sekarang setelah ada Santi mungkin saja akan berkali-kali lipat.

“Ibu, sebenarnya Nayla punya salah apa sama ibu? Kenapa ibu begitu bencinya dengan Nayla. Padahal Nayla selalu mengikuti apa pun yang ibu mau. Pernahkah Nayla menolak setiap titah dari ibu?”

Kali ini Nayla berusaha untuk mengungkap apa yang selama ini ia pendam. Sudah cukup selama ini dia diam. Sekarang dia tidak akan mau ditindas. Dia yakin setelah kepulangan Santi posisinya semakin terpojokkan. Terlebih Santi sudah memberikan kode, kode untuk melakukan permusuhan.

Dia berhak hidup bahagia, disisa hidupnya yang mungkin saja tidak akan lama lagi. Hanya ingin ia lalui dengan kebahagiaan, ya, kebahagiaan.

“Kamu nanya? Harusnya kamu mikir sendiri apa alasan ibu membenci dirimu!”

“Nayla sama sekali tidak tahu, Bu. Izinkan aku tahu biar Nayla mengubahnya, agar ibu tidak membenci Nayla lagi.”

Siska tertawa mengejek, ia lalu melipatkan kedua tangannya di atas dada. “Semua, semuanya yang ada di dirimu ibu benci. Lagian ibu heran kenapa Fery begitu mencintai kamu. Apa istimewanya sih wanita penyakitan kaya kamu. Kenapa juga Tuhan belum cabut nyawamu.”

“Astaghfirullah, ibu!”

“Kenapa? Gak terima? Bukannya kenyataan memang seperti itu? Jika kamu wanita yang sekarat tinggal menunggu waktu tiba.”

Kedua mata Nayla mulai mengembun, ia tidak terima. Mertuanya sudah sangat keterlaluan. Mungkin hinaan dan cacian ia bisa menerima. Tapi ini? Mertuanya tega mendoakan dirinya meninggal dan ini sudah kali kedua.

“Cukup, Bu! Tidakkah ada sedikit rasa kasihan padaku? Aku butuh suport bukan malah dilemahkan seperti ini. Asal ibu tahu umur seseorang itu tidak ada yang tahu. Mungkin iya aku sakit, tapi belum tentu aku berumur pendek. Bagaimana jika umur ibu yang justru tidak akan lama lagi?”

Siska mengeraskan rahangnya, ia tidak terima didoakan seperti itu oleh Nayla. Nayla yang melihat mertuanya seperti marah kini berbalik bertanya.

“Bagaimana? Ibu terima tidak jika aku mendoakan ibu seperti tadi? Enggak kan? Begitu juga Nayla Bu. Nayla butuh suport sistem dari ibu, Mas Fery...”

“Cukup Nayla!” Siska menyela perkataan Nayla. “Kau sudah bertindak kurang ajar dan di luar batas. Aku akan melaporkan kelakuan kamu pada suamimu.”

“Silakan, Bu. Jika memang ibu mau melaporkan aku ke Mas Fery. Karena aku yakin Mas Fery tidak akan percaya. Karena Mas Fery tahu bagaimana bencinya ibu ke aku. Paling Mas Fery hanya akan meminta ibu untuk tidak mengganggu aku lagi.”

“Kau sudah mulai berani?!”

Siska menjambak kerudung Nayla hingga ia mengaduh kesakitan. Bahkan kepala Nayla sampai terdongak ke atas.

“Astaghfirullah, Bu sakit!”

“Harusnya kamu sadar diri, Nayla. Kalau bukan anak ibu menikahi kamu, sudah dipastikan kamu akan tetap jadi penghuni panti asuhan. Berkat anak ibu juga status kamu bisa naik drajat. Sudah sepantasnya bukan kamu ibu hina?”

Nayla berusaha untuk tidak menangis, ia tidak mau terlihat lemah di hadapan sang mertua. Ia juga berusaha menahan rasa sakit di kelapanya. Jambakan dari mertuanya begitu sangat keras. Siska tidak tahu saja jika rambut Nayla sekarang ini mulai rontok akibat pengobatan yang sedang ia jalani.

“Apakah hanya karena itu ibu tidak menyukaiku? Apakah hanya karena sebuah status sosial semata? Ini tidak adil, Bu. Allah saja tidak pernah melihat makhluknya dari status sosial, lalu kenapa kita sebagai ummat-Nya malah mempermasalahkan status sosial hingga ibu membenciku.”

Bukannya dilepas, justru jambakan Siska semakin begitu menyiksa. Nayla berusaha untuk melepaskan diri dari jambakan Siska. Nayla tidak ingin kalah sudah cukup ia terus mengalah.

Hingga akhirnya terjadi aksi tarik-menarik. Semampunya Nayla berusaha untuk melepaskan diri. Ia mengumpulkan tenaga. Lalu tanpa sengaja Nayla malah mendorong tubuh Siska. Jatuhnya Siksa berbarengan dengan kedatangan Fery dan Santi hingga mereka melihat seperti Nayla mendorong Siska hingga terjatuh dan kepalanya terbentur.

“Nayla!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status