"Nadine, kamu harus pikirkan lagi. Anak itu adalah anak mantan madu kamu. Dan lagi, anak itu cacat. Apa kamu bisa urus bayi itu, yang nantinya akan menyusahkan kamu aja?" tanya Pamela mengusap punggung sang anak. "Ma, sudah dibuatkan perjanjian hitam di atas putih dan di atas materai. Mereka tidak berhak lagi atas bayi itu. Dan perjanjian itu sangat kuat sekali. Aku sudah pikirkan matang-matang, kalau aku akan mengasuhnya." Aldiano diam, ia bingung ingin bicara apa. Kemauan Nadine tidak dapat dielak. Sedangkan Aldiano sendiri, saat ini sedang mengasuh anaknya sendiri di tangan suster. Nadine mendengus. Aku akan ambil semuanya dari mereka! Ma, aku butuh seorang suster 2 Minggu lagi. Karena sekarang bayi itu masih di dalam inkubator." "Ya, kalau itu gak merepotkan kamu, oke oke aja. Di usia satu tahun, bayi itu baru bisa di operasi," kata Stev. "Dan kalian akan mempunya anak dua orang. Tapi Mama ingin dari rahim kamu sendiri Nad." Ucapan Pamela membuat Nadine terkejut. "Maksudnya M
Nesya menatapnya dengan senyum lembut. Senyuman yang seharusnya tidak ingin ia tunjukkan pada Erlan. Dibalik senyuman itu ada kepahitan. Erlan menekankan lagi. "Aku mencintai kamu Nes. Entah kenapa, sejak adanya kamu, hidupku seperti bangkit lagi dari keterpurukan akan kehilangan istri pertamaku. Kamu mau kan? Jadi pengisi hidupku?* "Hmm, kamu terpuruk?" tanya Nesya memastikan. "Apa kamu bisa terpuruk? Bukannya kamu gak pedulikan istri pertama kamu?" "Ya, aku sempat terpuruk dan aku merasa berdosa padanya. Nes, Apa kamu mau menjadi kekasih aku? Jawablah Nes. Biar hati aku tenang" "Apa kamu yakin? Kita baru beberapa Minggu kenal loh?" ujar Nesya dengan kepura-puraannya. "Tapi aku yakin, aku sepertinya sudah mengenal lama sama kamu. Cara Kamu berjalan, dan dari suara kamu, itu sama dengan istri pertama aku." "Kamu berbeda dengan yang lain, tapi kamu sama dengan istri pertama aku. Yaaah, Walaupun dia tidak secantik kamu." lanjut Erlan. Nesya tersenyum getir dan mengangguk p
"Iโiya, ya. Aku bilang, aku bilang sama kamu. Tapi jangan pecat aku."Eli menghela nafasnya dalam-dalam. Ia diam sesaat. Mata Delia penuh selidik menatap Eli."Apa?""Sepertinya ... Sepertinya Pak Erlan menyukai Nesya, pegawai baru itu.""Apa? Apa kamu bilang El? Kalau gitu, benar dugaan aku. Wanita cantik itu, kenapa dimasukkan ke kantor aku? Kenapa gak di tolak?""Karena pengalamannya sampai ke luar negri. Dia itu pintar. Jadi aku terima. Aku gak kepikiran sampai ke Pak Erlan." ujar Eli hati-hati.Eli menunduk, ia merasa bersalah telah menerima Nesya, wanita cantik yang menjadikan Erlan terpikat padanya."Kamuโkamu harus lakukan sesuatu untukku!" tukas Delia menatap kosong ke depan.Hatinya bergemuruh. Dadanya sesak oleh rasa sakit yang tak dapat diredam. Amarahnya menyala-nyala dan telah tumbuh menjadi bagian dari dirinya, bagian dari nafasnya.Maka, bisikan dari rencana busuk ke telinga Eli, membuatnya tersenyum. Senyuman itu adalah senyuman lamanya, senyum yang penuh dengan kekej
Di ruang tunggu bersalin, suasana masih setegang tadi. Masih terdengar tangisan Delia. Nadine duduk di samping Erlan. โPak, bagaimana saya harus meminta tanda tangan ibunya, kalau kondisi ibunya seperti itu?โ โKamu gak perlu takut. Saya yang akan bertanggung jawab masalah ini. Bawa kemari map itu. Saya akan paksa Delia, untuk menandatangani surat perjanjian itu." Erlan meraih map yang ada di genggaman tangan Nadine.Lalu ia membawa ke dalam ruangan bersalin, menghampiri Delia. โAnak kamu sudah ada Ibu asuhnya, dan sekarang kamu tinggal menandatangani surat perjanjianโujar Erlan memberikan map itu ke Delia. "Aku gak mau!โ jawab Deli merengut. โKalau kamu nggak mau tanda tangan ini, kamu harus mengurus bayi itu!โ Erlan melemparkan map itu ke atas tempat tidur, di samping Delia. Setelah berpikir beberapa saat Delia, bertanya. โSiapa yang kiranya sudi merawat bayi aku?" โKamu nggak perlu tahu!kamu tahunya hanya tanda tangan di sini. Karena kamu nggak mau merawat bayi itu!" "Oke,
"Kamu benar-benar gila Erlan! Aku seperti ini, malah kamu mau cerai! Gak punya hati kamu! Kalau kamu ceraikan aku, kembalikan aset yang udah aku kasih ke kamu!" pekik Delia semakin histeris "Stop Delia! Kamu kasih aku anak cacat, karena semua ulah kamu! Udah ya, aku gak mau ribut-ribut disini. Lebih baik aku pergi!" Erlan melangkah pergi meninggalkan Delia yang terus teriak. "Erlan! Erlan! Jangan pergi! Jahat kamu Er!" tangis Delia semakin keras. "Kamu udah ada pacar baru kan? Awas aja kamu Er!" Delia menahan malu dengan bayinya yang masih merah. Kelainan di wajahnya yang tidak simetris dan kasar, terlihat banyak tonjolan-tonjolan. Bibirnya pun terlihat sumbing. Menjadikan Delia sangat kecewa dengan bayinya. Erlan tidak peduli, ia terus melangkah berjalan keluar ruangan. Dilihatnya Nesya masih menggendong bayi itu. 'Hati kamu memang lembut Nes. Gak seperti nenek sihir itu. Anak sendiri, tapi dia gak mau sentuh sedikitpun.' gumam hati Erlan, sambil mendekati sosok Nesya, duduk d
Oweee! Oweeekh! Hoaaaakh! Tangis bayi tak berdosa, terdengar kembali suara tangisnya yang melengking mengisi udara. Diselingi jeritan penuh amarah Delia meledak-ledak. Wanita itu masih terbaring lemah, namun, bukan rasa sakit yang membuatnya histeris. Tapi kondisi bayi itulah yang membuatnya marah dan malu. Ia tidak mampu menerima kenyataan yang sedang dihadapinya. "Stop Dokter! Jangan bawa bayi itu kemari, ajak dia pergi dari sini. Aku gak mau menyentuhnya! Iiiist.. Memalukan! Menjijikkan!" "Ibu, Ibu gak boleh seperti itu. Bayi ini darah daging Ibu," ujar dokter sambil menggendong bayi itu yang masih menangis. Seolah ia tahu, kalau kehadirannya tidak diterima sang ibu. "Gak mau! Aku bilang gak mau! Buang! Buang aja bayi itu." Dokter dan suster saling bertatapan. Lalu dokter membawa bayi itu keluar menemui ayahnya. Erlan mengerutkan kening saat mendengar teriakan histeris Delia. Dan kini ia melihat bayi di dalam gendongan tangan dokter dalam kondisi cacat. "Ini bayi Bapa