Hati Pak Rico berbunga-bunga, menjawab telpon dari seorang Presdir. "Halo Pak Bos! Selamat pagi menjelang siang! Wah, tumben Bapak telepon saya. Sepertinya ada kabar baik yah Pak? Sepertinya ada aroma gajih gitu Pak?" "Diam kamu! Jangan berani banyak bicara dengan saya!" hardik Aldiano memekakkan telinga Pak Rico. Sampai-sampai Pak Rico terlonjak kaget sambil melompat. "I—iya, Pak—Pak" Bapak Rico dan Bapak Deny, kalian berdua, silahkan ambil Surat Peringan satu, di ruang HRD!" "Apa? Tapi Pak? Salah saya apa Pak?" Tut! Tut! Tut! Suara sambungan telepon terputus. Tentu saja Pak Rico tersentak kaget. Ia berharap adanya kenaikan gajih, karena pekerjaannya selama bertahun-tahun di perusahaan ini tidak pernah membuat kesalahan. Tapi hari ini, tidak ada angin mau pun badai, Tiba-tiba harus mendapatkan surat peringatan. Ia masih terkesima diam membeku. Pak Darman, asisten Aldiano menghampiri Rico. "Dimana wanita itu?" Tidak ada jawaban dari Pak Riko. Membuat Pak Darman me
"Ibu jangan main-main dengan kami. Di perusahaan ini tidak menerima orang sembarangan! Dan jangan sesekali menipu kami untuk membuat kekacauan di tempat ini!?" kata Pak Rico tegas. "Lebih baik Ibu pergi dari sini sekarang! Dari pada Ibu kami tahan!" timpal Pak Deny. Nadine mendongakkan kepalanya memandang Bapak-bapak yang berwajah sinis bergantian. Tak mengerti kenapa dirinya di tolak seperti ini. Padahal menurutnya, ia sudah berpakaian rapih dan yang paling bagus diantara pakaian lainnya. "Kenapa saya di tahan Pak? Salah saya apa? Saya serius mau ketemu Pak Aldiano! Saya kesini bukan bermaksud jahat. Apa saya ada wajah seperti orang jahat?" "Maaf, Ibu dari mana? Silahkan perlihatkan KTP Ibu.?" ujar Pak Rico, salah satu dari security menatap Nadine curiga. Nadine merogoh tas kecilnya, mengambil dompet. Lalu menarik KTP yang terselip di dalamnya. Ia menyodorkan KTP nya ke Pak Rico. Matanya tajam menatap Nadine. Ia membaca dengan teliti data yang tertulis di KTP Nadine. "
Duaaarrr! Serasa suara petir mencetus di udara. Jantung Nadine seolah berhenti sesaat. Wajahnya pucat. Ia memandang Alena tidak percaya. "Ma—Mama ngomong apa? Ma—Mama jangan ngaco Ma!" ucap Nadine memandang sang ibu tanpa kedip. Tangis Alena mulai terhenti, nafasnya mulai teratur. "Kamu memang bukan anak Mama, sayang." "Saat itu kamu masih belajar merangkak. Ditengah jalan itu kamu sendirian. Lama Mama perhatikan kamu, karena Mama gemas lihat kamu yang lucu. Entah siapa yang buang kamu." Alena mengatur nafasnya. Lalu melanjutkan. "Setengah jam kamu disana, gak ada orang tua yang menghampiri kamu. Karena semakin lama, kamu semakin merangkak ke tengah jalan, jadinya Mama khawatir kamu tertabrak kendaraan. Lalu Mama bawa kamu pulang." Alena melihat Nadine masih terkesima diam tak bergerak. Nadine merasakan dadanya sesak, seolah sulit untuk bernafas.Matanya masih berkaca-kaca. Alena menggenggam tangannya. "Itulah sebabnya, Mama mengurus kamu sendirian, tanpa seorang ayah. Ma
Sepanjang perjalanan bersama Calista, Nadine tidak banyak kata yang terucap. Ia masih terkesima oleh tawaran kerja Stev. Hatinya selalu bertanya. "Apakah dia mampu" Tidak terasa, mobil sudah sampai di depan rumah. Baru saja Nadine ingin membuka pintu mobil, namun Calista sudah lebih dulu membukakan pintu itu untuknya. "Silahkan, Nona," kata Calista menyilakan Nadine turun dari mobil. "Terima kasih Calista, lain kali gak usah seperti ini. Aku jadi merasa tidak nyaman dan gugup, diperlakukan seperti putri." ucap Nadine sambil mengumbarkan senyumnya. "Maaf, Nona, ini memang tugas saya. Oh iya, tunggu sebentar," Calista melangkah ke bagasi, mengambil bungkusan berisi gaun yang diberikan Pamela di pesta pernikahan tadi. Nadine membelalak kaget. "ini baju mahal yang tidak main-main harganya. Baju ini ratusan juta. Aku gak bisa menerimanya." "Maaf, Nona, ini sudah perintah Ibu Pamela, karena waktu itu, Ibu Pamela sudah merancang khusus untuk Nona." jawab Calista. "Nggak, saya nggak bi
"Nadine, Ibu tahu, apa yang kamu alami selama ini. Pernikahan suamimu bersama wanita lain, itu sangat menyakitkan." Ucapan Pamela seperti tamparan lembut yang mengena di hatinya. Rumah tangga yang tidak pernah ia harapkan. Kalau saja ia tahu Erlan akan bersikap dingin, dan hanya melihat perawan atau tidaknya, tak mungkin ia mau menikah bersama pria bernama Erlan. . "I—ibu tahu dari mana?" tanya Nadine terbata. "Ibu selalu memperhatikanmu dari jauh Nadine." Sebuah restauran mewah berhiaskan lampu-lampu kristal saling bergantungan. Restauran milik Pamela ini biasa dikunjungi oleh orang-orang tertentu,termasuk artis mau pun pejabat-pejabat tinggi. Saat ini Pamela dan Stev menemani Nadine makan malam selesai acara pernikahan sang suami bersama wanita lain. "Nadine," panggil Stev. "saya juga sudah tahu apa yang kamu alami selama ini. Suami kamu yang dingin, menuding kamu gak perawan. Apa semua itu benar?" "Dokter—dokter tau darimana?" "Jangan panggil saya dokter. Itu akan m
"Liat aja itu! Dia datang seperti ingin merusak acara kita!" ujar Delia penuh kebencian. Matanya melirik tajam ke Nadine. Erlan menggeleng sambil mengangkat satu tangannya. "Stop. Nadine datang hanya memberi selamat, bahkan tidak melakukan apa-apa. Bukankah memang seharusnya dia datang kan?" "Tapi ... tapi kamu menatapnya seperti itu Erlan! Sepertinya kamu mengaguminya!" sanggah Delia sambil hatinya bergumam sendiri. 'Sial! Dapat gaun mahal dari mana dia?' Erlan tertawa terkekeh. "Pastinya aku mengagumi istri-istriku nantinya." Nadine berdiri di samping Erlan. Kini sosok lelaki itu bagaikan seorang raja di apit kedua ratu. Tidak ada rasa sesal di hati Nadine. Kini ia sudah serahkan suaminya ke wanita lain. Delia menggamit tangan Erlan semakin erat. Seolah tidak mau ada kekalahan pada dirinya. Tekatnya tidak akan merubah apa pun. Ia akan tetap pergi dari kehidupan Erlan, bila sudah waktunya. Maka di wajah Nadine terlihat cerah, tidak menyimpan beban apa pun.Kata-kata Pamela mem