LOGIN‘’Bagaimana pelayanannya, Pak?’’
Aku mendengar Mas Ega sedang bicara dengan seseorang. Entah dengan siapa. Rasa penasaran menghidupkan naluri keingintahuanku hingga aku menempelkan telinga di pintu.
‘’Baik. Sudah saya terima. Terimakasih.’’
Sudah saya terima? Terima apa maksudnya?
Di tengah-tengah kebingungan, tiba-tiba aku mendapati gagang pintu bergerak bersamaan daun pintu yang terdorong ke dalam, hingga aku jatuh terjerembab.
‘’Astaga, Sel!’’
Jangankan Mas Ega, aku pun kaget bukan kepalang. Tidak hanya itu, aku pun merasa malu karena selimut di tubuhku terlepas.
‘’Kamu nguping?’’
Bukannya membantu, Mas Ega malah menanyakan hal yang menurutku tidak perlu diutarakan. Bagaimanapun, untuk apa suami istri main rahasia-rahasiaan?
‘’Sel, jawab! Kamu dengar apa tadi?’’
Baru kali ini nada bicara Mas Ega terdengar tidak enak. Salahkah aku mendengar percakapan suamiku sendiri?
‘’Nggak, Mas. Tadi aku mau lihat siapa yang keluar barusan. Tapi pas aku mau buka pintu, eh kamu yang muncul,’’ ucapku dengan wajah cemberut. Sambil mencoba berdiri dan menutupi tubuh ini.
‘’Benar tidak dengar apa-apa?’’ Kali ini nadanya sudah mulai melunak.
‘’Iya!’’ Aku terpaksa berbohong. Sebab, ada hal yang harus aku pastikan karena Mas Ega mengenakan baju seperti semalam. ‘’Mas, tadi ada yang masuk ke sini. Pakai baju hitam,’’ ucapku was-was.
‘’Hanya perasaanmu saja mungkin. Yang keluar itu mas!’’ Mas Ega tertawa. Menganggap, nyawaku belum terkumpul semua ketika tadi mendapati sosok itu.
‘’Yakin gak ada orang lain yang masuk?’’
‘’Kalau ada yang masuk, itu tandanya ada yang melihat tubuh istriku. Wah, sudah pasti akan aku bunuh orang itu.’’
Kali ini aku yang tertawa. Membiarkan Mas Ega kembali membawaku ke tempat tidur. Tapi benarkah begitu? Padahal aku yakin sekali kalau tadi itu bukan dia. Karena meski berasal dari desa, aku tidak buta warna.
***
‘’Gak salah si bos pilih model. Bodynya benar-benar bagus.’’
‘’Katanya sih kembang desa. Kalau begini terus, usaha kita bisa maju pesat.’’
Dua orang karyawan studio langsung mengatupkan mulut dengan mata memberi kode pada lawan bicaranya begitu melihatku dan Mas Ega masuk ke studio.
Walau mereka berpura-pura sedang mengerjakan sesuatu di laptop, tapi aku yakin, omongan yang baru saja aku dengar itu pastilah merujuk padaku.
‘’Mas, mereka itu siapa?’’
‘’Oh, mereka itu bagian marketing. Namanya Rido dan Fatir. Tugasnya mencari klien.’’
‘’Apa aku harus berinteraksi dengan mereka, Mas?’’
‘’Tidak perlu. Untuk apa? Mereka itu hanya anak buah. Kamu cukup berinteraksi denganku sebagai fotographer dan Rosdiana sebagai tukang make up dan pengurus busanamu.’’
Aku sedikit lega mendengarnya. Karena hanya dari cara mereka menatapku dari ujung kaki hingga ujung kepala saja, aku bisa tau kalau mereka laki-laki tidak betul.
‘’Kamu pakai baju warna putih. Lalu jangan pakai underwear. Kita akan pemotretan dengan tema air.’’
Langkahku berhenti tepat di depan ruang ganti yang akan aku masuki. ‘’Bukankah itu sama saja area terlarangku akan terlihat kemana-mana?’’
‘’Mas cuma ambil di atas dada. Ini kan pemotretan iklan sabun, Sel. Kamu mungkin tidak tahu, tapi ya, di balik layar, bahkan ada model yang sampai tidak pakai apa-apa.’’
Aku meneguk air liur susah payah. Leher ini memutar tujuh puluh lima derajat ke kanan juga ke kiri. Di studio, hanya Mbak Ros lah yang berjenis kelamin wanita. Sisanya adalah pria.
Baru membayangkannya saja aku sudah malu. Mempertontonkan bagian yang seharusnya hanya dilihat oleh Mas Ega, aku menggeleng tanda menolak dengan mata saling menatap.
Mengapa orang yang berstatus sebagai suamiku malah terlihat biasa saja seakan memaklumi?
Bukankah saat di hotel, Mas Ega bilang akan membunuh siapapun yang melihat tubuhku?
‘’Aku tidak mau, Mas. Aku tidak bisa,’’ tolakku halus.
‘’Sel, kita sudah dibayar penuh oleh Pak Abi. Masa kamu mau mengecewakan klien? Nama baikku bisa tercoreng hanya karena hal sepele,’’ decaknya menahan murka.
‘’Begini saja, kita lakukan pemotretan seperti di hotel. Hanya ada aku dan Rosdiana. Bagaimana?’’
Mas Ega berusaha mencari solusi terbaik. Dan aku seperti terhipnotis untuk menyetujui.
Dengan pose kikuk karena dingin sekaligus malu, aku terpaksa mengikuti setiap arahan. Hati sebenarnya berat. Juga bercampur perasaan tak enak.
Apakah memang begini pekerjaan seorang model itu?
Di sudut lain, Mbak Ros mengajariku untuk berpose yang benar. Dari caraku memegang sabun, berendam di dalam bathub sebagai properti, hingga bagaimana caranya tersenyum. Semuanya ditunjukkan oleh Mbak Ros.
‘’Mbak, kenapa bukan kamu saja yang jadi modelnya? Kamu lebih ahli dari pada aku,’’ kataku seusai pemotretan.
‘’Aku gak cantik, Sel. Klien itu kan maunya yang muda. Body bagus dan wajahnya fresh. Ya kayak kamu gini.’’
‘’Tapi aku gak pinter gaya, Mbak.’’
‘’Tenang saja. Itulah gunanya aku mendampingi kamu.’’
Huft. Mbak Ros bagai malaikat penolong. Kalau tidak ada dia, mungkin aku akan sangat kesusahan beradaptasi.
Segera saja aku masuk ke kamar mandi, lalu ke ruang ganti untuk berpakaian lagi. Syukurnya Mas Ega sangat konsisten saat melarang siapapun masuk ke studio selama pemotretan. Jadi aku bisa leluasa mondar-mandir meski hanya dengan handuk saja.
‘’Astaga, kamu! Ngapain masuk ke sini?’’
Jantungku terasa sakit, refleks mengambil apapun untuk menutupi tubuh dari tatapan Fatir. Entah kenapa aku bisa lupa mengunci pintu.
‘’M-maaf, Bu. Saya mau cari Pak Ega. Kirain di sini,’’ kilahnya. Namun bukannya langsung pergi, Fatir sempat-sempatnya memandang area yang aku tutupi mati-matian, bagai singa kelaparan seperti aku adalah rusa yang siap dijadikan mangsa.
‘’Keluar! Suamiku tidak ada di sini!’’ bentakku dengan nada bergetar.
Aku langsung terduduk lemas ketika bocah ingusan itu sudah hilang dari pandangan dan memastikan pintu benar-benar terkunci.
Ya Tuhan…
Dia pasti telah melihat tubuhku tadi.
Bergegas aku mencari-cari ponsel untuk melaporkan kejadian barusan. Ingin menghubungi Mas Ega karena aku begitu ketakutan sekarang. Rasanya sekelilingku sangat-sangat tidak aman.
Namun ponselku lebih dulu berbunyi sebelum sempat melakukan panggilan.
Ibu memanggil…
‘’Nduk, kamu baik-baik saja?’’
Tidak, Bu. Aku seperti orang lumpuh sekarang.
‘’Nduk…’’ ulangnya. Karena aku masih diam mengontrol emosi.
‘’I-iya, Bu. Aku baik sekali. Kenapa ibu bertanya seperti itu?’’ Terpaksa berbohong sebab ibu menderita penyakit jantung.
‘’Gak tau, Nduk. Ibu tiba-tiba khawatir sekali sama kamu.’’
Firasat seorang ibu memang tidak pernah salah. Tapi aku tidak bisa berkata jujur bahwa anak buah Mas Ega sempat melihatku telanjang.
Bisa-bisa ibu jatuh pingsan dan aku yang baru dua hari di ibukota ini harus pulang.
‘’Syukurlah kalau kamu baik-baik saja. Ibu sudah terima uang dari Ega. Jumlahnya banyak sekali. Ibu jadi penasaran. Kata orang-orang di sini, Ega kerjanya jadi bos di kota. Apa itu benar, Nduk?’’
‘’Iya, Bu.’’
Saat tengah asik bercakap-cakap, sebuah pesan muncul dari Mas Ega.
Ros, tolong siapkan Selin secantik mungkin. Klien baru ingin melihatnya hari ini. Tolong dandani Selin seseksi mungkin.
“Lin, sampai kapan, ya, saya begini? Saya capek menunggu tuan sembuh.” Linda memberiku segelas air putih, hal sederhana yang tidak bisa Abi lakukan.Rasa sejuknya bisa dirasakan mengalir di tenggorokan. Seketika membuatku jadi menangis. Linda memahami wanita hamil memang sangat sensitif. Terutama bila diterpa masalah dan tanpa pendampingan suami, sensitifnya jadi berlipat-lipat.“Sabar, ya, Nyonya. Semua akan berlalu.” Linda menatapku kasihan.Sabar? Entah masih banyak atau tidak stok sabarku ini, karena, rasanya sudah mulai habis. Perut sudah mulai membesar, mengurus segalanya sendirian, bukanlah hal mudah menjalaninya. Ditemani mama dibantu Linda sebenarnya bisa, tapi membeli perlengkapan dan persiapan lahiran nanti, aku memutuskannya sendiri. Abi pernah bilang ingin anaknya memakai baju putih saat lahir ke dunia karena bayi masih suci seperti warna bajunya. Bersih dan tidak berdosa.Aku pun memilih baju tersebut tanpa ada corak sama sekali.“Saya mau yang ini,” ucapku kepada pel
“Baru diajak ngobrol seperti itu saja sudah berani mengaku-ngaku. Aku tahu kau ditinggal suamimu, kan? Tapi bukan berarti kau bisa menjadikan orang lain sebagai ayah dari bayimu.”“Kamu pikir aku gila, Mas? Orang macam apa aku yang mengaku-ngaku suami orang jadi suamiku, dan suami orang jadi ayah dari bayiku? Aku bicara fakta. Kamu mau aku pukul berapa kali biar kamu sadar?”Jika dia tidak berekspresi ngeri, aku benar-benar ingin memukulnya lagi. Lelah batin menunggunya pulih. Aku butuh perannya sebagai suami, tapi dia malah berperan menjadi suami orang. Ditambah hormon kehamilan ini. Sebelumnya tidak pernah begitu emosi, namun sekarang seakan pagar pembatas kesabaran itu telah runtuh.“Jangan pukul lagi. Karena itu sakit!” Abi
Mungkin sudah tabiatnya jika Abi merajuk, maka butuh waktu lama untuk reda. Sekarang saja, Abi tidak ikut makan malam. Rosdiana sudah membujuk, tetapi gagal.Mama pun juga, bahkan sampai Linda.Tidak ada yang berhasil. Semua keluar dari kamar Abi dengan tangan kosong.“Sel, coba kamu deh yang bujuk.” Mama sudah putus asa sehingga datang ke meja makan dengan sangat lesu.“Dari siang nggak makan. Mana lagi masa penyembuhan. Sembuh nggak, mati iya yang ada.”Linda menahan tawanya mendengar penuturan Rosdiana. Namun cepat-cepat tutup mulut kembali menyadari siapa yang bicara.
Sel, beri mas kesempatan.Abi dan Rosdiana memang ditakdirkan bersama. Buktinya, yang diingat hanya Rosdiana, bukan kamu. Dalam ingatannya yang lupa, tertanam jelas wajah seorang Rosdiana. Ini adalah tanda kalau Abi bukan jodoh kamu. Dan ini juga pertanda, kalau kamu dan mas masihlah bisa bersama.Pesan-pesan memuakkan, memohon, meratap meminta rujuk.Sangat disayangkan, Rosdiana mencintai orang yang tak menginginkannya, namun menginginkanku.“Kamu tidak boleh bersamanya lagi, Ros. Dia masih berusaha mendekati aku.”“Aku tahu.” Rosdiana berubah sendu.Meman
“Uhuk… uhuk.”“Wulan?”“Uhuk…”Rosdiana menaikkan tangannya ke udara agar Abi tidak mendekat. Namun tentu saja tidak digubris Abi.Apalagi saat Rosdiana tidak berhenti batuk.“Kamu sakit? Kamu luka? Kamu kenapa?”Yang Abi tahu istrinya adalah wanita kuat dan tidak ada sakit apapun, namun batuk lebih dari semenit membuatnya khawatir.“Aku nggak apa-apa.” Rosdiana menerima bantuan Abi yang membantunya duduk. Juga meneguk air minum yang diberikan.
Terluka karena sikap dan kata-kata mama, Ratih menangis dalam diamnya.Sebagai sesama wanita, aku pun tergerak ingin menenangkan. ‘’Rat…’’‘’Nawang Wulan, kamu kenapa?’’ Abi menoleh, curiga akulah penyebabnya.“Tidak apa-apa. Mata saya kelilipan.” Ratih pura-pura mengucek matanya.“Betul hanya kelilipan?”“Iya, Jaka.”Ratih tersenyum palsu. Tetapi tidak menghilangkan kecurigaannya.“Dia berbuat jahat sama kamu?”







