MasukKlien baru?
Seksi?
Disaat kepalaku masih tak bisa menebak mengapa aku harus berpenampilan terbuka, ibu kembali melanjutkan pembicaraan tanpa tau apa yang tengah aku pikirkan.
‘’Ibu harap kamu bahagia di sana. Walau bapakmu masih belum merestui, tapi ibu yakin, lambat laun, beliau pasti akan mengerti.’’
Bapak memang tidak setuju aku menikah dengan Mas Ega. Menurutnya, aku belum terlalu mengenal suamiku. Dan lagi, bapak berpikir pernikahanku itu karena dituntut ibu perkara usiaku yang mana gadis-gadis di daerahku sudah banyak yang menikah. Padahal aku telah meyakinkan bapak, jika aku memang menaruh rasa pada Mas Ega dari dulu. Tapi bapak tidak menerima alasan itu.
Beliau terpaksa menyetujui pernikahan karena desakan dan bujukan ibu.
‘’Selin kangen rumah, Bu. Nanti tolong sampaikan salam buat bapak dan Handi, ya, Bu,’’ lirihku pelan.
‘’Kamu baru dua hari ninggalin rumah. Jangan kangen dulu. Cari uang yang banyak, setelah itu, baru kamu boleh pulang. Ingat, Sel, adik kamu harus kuliah. Bapak kamu juga sakit-sakitan. Ibu kalau bukan ngarepin kamu dan Ega, kemana lagi ibu harus meminta?’’
Terenyuh batinku mendengar ungkapan hati seorang ibu. Gempuran ekonomi selalu saja membuat air mata ini keluar.
Sejak memutuskan keluar dari desa dan ikut suami merantau ke kota, aku membajakan tekad untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Tapi, salahkah aku mengatakan rindu? Sekalipun ibu tiri, seharusnya ibu tau rumah yang ku maksudkan itu apa. Aku begitu dekat dengan bapak. Aku juga merindukan Handi walau kami tidak seibu. Kami bertiga sangat dekat satu sama lain.
‘’Iya. Ibu jangan khawatir. Selin akan memastikan kebutuhan keluarga kita terpenuhi,’’ ucapku yang kini dijadikan sebagai tulang punggung.
Setelah mematikan telepon, aku mendengar pintu ruangan diketuk. Lekas aku membukanya di mana Rosdiana sudah berdiri sambil membawa gaun merah cantik berpotongan rendah.
‘’Itu untukku, Mbak?’’
‘’Iya. Ini yang paling elegan. Ega sendiri yang memilihkan.’’
Ku tutup pintu dengan tidak memalingkan objek itu dari pandangan.
‘’Mbak, apa tidak ada yang lebih sopan?’’ Bila bapak tau pakaian seperti inilah yang aku pakai, bapak pasti melarang.
Mbak Ros tampak menarik nafas panjang. Sepertinya dia juga tidak bisa membantah keinginan Mas Ega.
‘’Sel, sebelum ke Jakarta bukannya kamu sudah tau tugas seorang model Ega itu apa?’’
Sepertinya ada yang tidak aku ketahui. ‘’Bukankah hanya berpose saja, Mbak?’’
‘’Model-model Ega tidak pernah sesederhana itu, Sel. Kamu harus menurut, apapun yang diperintah Ega. Kamu harus patuh. Kalau tidak, kamu bisa berakhir didepak dari studio. Karirmu akan mati.’’
‘’Hanya karena itu, Mbak?’’ Bagiku terdengar sangat sepele.
Rosdiana menggantungkan gaun di antara baju-baju menggantung. Kemudian melangkah cepat, mengintip keluar untuk memastikan tidak ada yang mengintip. Lalu berbalik menatap ke arahku bersama raut waspada tingkat tinggi.
‘’Sel, saat di hotel semalam, kamu pulang atau enggak?’’
Aku menggeleng.
‘’Kamu sama Ega di sana? Atau ada orang lain di situ?’’
‘’Iya. Hanya ada aku berdua dan Mas Ega, Mbak. Memangnya kenapa?’’
‘’Kamu yakin hanya berdua?’’
Kini ku anggukan kepala. Cecaran kalimat Mbak Ros membuat perasaanku sangat tak enak.
‘’Kamu tau, gak? Model-model Ega sebelumnya, juga seperti itu. Sering sekali menghabiskan berdua sama Ega di hotel setelah pemotretan. Mereka menjalin asmara. Memang sih tidak sampai menikah seperti kamu gini.’’
Sebagai istri yang baru dinikahi dua hari dan tidak tau menau tentang masa lalu suami, hatiku jadi tak karuan sekarang ini.
‘’Kamu jangan marah, ya, Sel. Mbak cuma kasih tau aja. Setelah itu…’’
‘’Setelah itu apa, Mbak?’’
‘’Mereka putus dan gak jadi model lagi. Mereka lebih memilih jadi…’’ Mbak Ros membisikkan satu kata di telingaku.
Saat itu, aku seperti tidak percaya dengan penuturan wanita yang telah bekerja dengan Mas Ega selama sepuluh tahun tersebut.
‘’Mbak serius? Bukankah jadi model bayarannya besar?’’
‘’Mungkin bagi mereka kurang kali. Jadi ya, kalau ada cara mendapatkan duit jalur cepat, kenapa harus ditolak? Yang aku dengar, mereka mengambil jalan pintas seperti itu karena tidak ada satupun agency yang mau menerima mereka. Sekalinya kamu masuk ke Ega studio, karirmu meroket uangmu banyak. Tapi kalau kamu pergi dari sini, ya siap-siap saja seperti Ana, Ziva dan Kanaya.’’
Aku memandang foto-foto wanita yang Rosdiana sebutkan. Potret mereka terpajang di dalam ruangan.
Mereka sangat cantik. Tapi kenapa memilih menjadi wanita kupu-kupu malam?
Tapi aku istri sah Mas Ega. Aku tidak gelap mata akan harta, juga tidak cinta pada dunia. Aku mencintai suamiku, tulus.
‘’Lalu kenapa mbak menanyakan tentang aku di hotel kemarin?’’
‘’Astaga, hampir saja aku lupa ngasih tau!’’ Rosdiana menepuk jidatnya. Tapi aku tidak bisa tertawa padahal wajahnya begitu lucu saat itu.
‘’Pokoknya, kalau ada orang lain di kamar selain kamu dan Ega, kamu harus hati-hati, Sel. Kalau perlu, kamu lari dari sana,’’ ucapnya dengan wajah serius.
Spontan aku mengingat laki-laki berkemeja hitam yang keluar dari kamar. ‘’Memangnya kenapa, Mbak? Apa yang akan terjadi jika ada orang lain di sana?’’
‘’Umurmu sudah tua, tapi kamu benar-benar polos, ya, Sel. Nggak heran kalau Ega sampai nikahin kamu.’’
Aku semakin tidak mengerti dengan ucapan Mbak Ros. Karena yang ada di pikiranku saat ini, kemarin ada Rosdiana di dalam kamar hotel dan tidak terjadi apapun padaku.
‘’Intinya aku udah ngasih tau kamu. Sekarang, kamu harus hati-hati!’’ kata Rosdiana. Lalu mengambil gaun yang akan aku pakai. ‘’Eh, kamu mau kemana?’’
Tidak aku pedulikan teriakan Rosdiana di belakang sana. Aku lebih memilih memakai bajuku sendiri saat datang ke studio lalu keluar mencari Mas Ega.
Aku ingin tau maksud dari perkataan Rosdiana, langsung dari mulut Mas Ega sendiri.
Ketika aku sampai di depan ruangan Mas Ega, aku urung memutar gagang karena riuh ramai terdengar dari dalam. Seperti masa yang tengah merayakan sebuah kemenangan.
‘’Sudah saya masukkan di aplikasi, Bos. Banyak yang menawar dengan harga tinggi.’’
‘’Kalau ditambah video pasti akan lebih bagus lagi. Dengan foto saja banyak yang tergoda, apalagi jika kita menambah dengan unggahan video?’’
Aku pun memilih mendengar percakapan karena mendengar suara Fatir.
Tidak mengingat apapun ketika berada di hotel dan tau-tau sudah tidak memakai apapun, serta penjelasan Mbak Ros mengenai bila ada orang lain di kamar, pikiranku jadi kacau balau.
‘’Baik. Nanti kita akan ambil video. Kamu siap-siap saja dapat telepon dari saya untuk eksekusi.’’
Tiba-tiba bulu romaku berdiri mendengar perintah dari suamiku.
Entah video apa maksudnya. Tapi yang membuatku terlonjak saat itu adalah, seseorang menepuk pundakku dari belakang.
“Lin, sampai kapan, ya, saya begini? Saya capek menunggu tuan sembuh.” Linda memberiku segelas air putih, hal sederhana yang tidak bisa Abi lakukan.Rasa sejuknya bisa dirasakan mengalir di tenggorokan. Seketika membuatku jadi menangis. Linda memahami wanita hamil memang sangat sensitif. Terutama bila diterpa masalah dan tanpa pendampingan suami, sensitifnya jadi berlipat-lipat.“Sabar, ya, Nyonya. Semua akan berlalu.” Linda menatapku kasihan.Sabar? Entah masih banyak atau tidak stok sabarku ini, karena, rasanya sudah mulai habis. Perut sudah mulai membesar, mengurus segalanya sendirian, bukanlah hal mudah menjalaninya. Ditemani mama dibantu Linda sebenarnya bisa, tapi membeli perlengkapan dan persiapan lahiran nanti, aku memutuskannya sendiri. Abi pernah bilang ingin anaknya memakai baju putih saat lahir ke dunia karena bayi masih suci seperti warna bajunya. Bersih dan tidak berdosa.Aku pun memilih baju tersebut tanpa ada corak sama sekali.“Saya mau yang ini,” ucapku kepada pel
“Baru diajak ngobrol seperti itu saja sudah berani mengaku-ngaku. Aku tahu kau ditinggal suamimu, kan? Tapi bukan berarti kau bisa menjadikan orang lain sebagai ayah dari bayimu.”“Kamu pikir aku gila, Mas? Orang macam apa aku yang mengaku-ngaku suami orang jadi suamiku, dan suami orang jadi ayah dari bayiku? Aku bicara fakta. Kamu mau aku pukul berapa kali biar kamu sadar?”Jika dia tidak berekspresi ngeri, aku benar-benar ingin memukulnya lagi. Lelah batin menunggunya pulih. Aku butuh perannya sebagai suami, tapi dia malah berperan menjadi suami orang. Ditambah hormon kehamilan ini. Sebelumnya tidak pernah begitu emosi, namun sekarang seakan pagar pembatas kesabaran itu telah runtuh.“Jangan pukul lagi. Karena itu sakit!” Abi
Mungkin sudah tabiatnya jika Abi merajuk, maka butuh waktu lama untuk reda. Sekarang saja, Abi tidak ikut makan malam. Rosdiana sudah membujuk, tetapi gagal.Mama pun juga, bahkan sampai Linda.Tidak ada yang berhasil. Semua keluar dari kamar Abi dengan tangan kosong.“Sel, coba kamu deh yang bujuk.” Mama sudah putus asa sehingga datang ke meja makan dengan sangat lesu.“Dari siang nggak makan. Mana lagi masa penyembuhan. Sembuh nggak, mati iya yang ada.”Linda menahan tawanya mendengar penuturan Rosdiana. Namun cepat-cepat tutup mulut kembali menyadari siapa yang bicara.
Sel, beri mas kesempatan.Abi dan Rosdiana memang ditakdirkan bersama. Buktinya, yang diingat hanya Rosdiana, bukan kamu. Dalam ingatannya yang lupa, tertanam jelas wajah seorang Rosdiana. Ini adalah tanda kalau Abi bukan jodoh kamu. Dan ini juga pertanda, kalau kamu dan mas masihlah bisa bersama.Pesan-pesan memuakkan, memohon, meratap meminta rujuk.Sangat disayangkan, Rosdiana mencintai orang yang tak menginginkannya, namun menginginkanku.“Kamu tidak boleh bersamanya lagi, Ros. Dia masih berusaha mendekati aku.”“Aku tahu.” Rosdiana berubah sendu.Meman
“Uhuk… uhuk.”“Wulan?”“Uhuk…”Rosdiana menaikkan tangannya ke udara agar Abi tidak mendekat. Namun tentu saja tidak digubris Abi.Apalagi saat Rosdiana tidak berhenti batuk.“Kamu sakit? Kamu luka? Kamu kenapa?”Yang Abi tahu istrinya adalah wanita kuat dan tidak ada sakit apapun, namun batuk lebih dari semenit membuatnya khawatir.“Aku nggak apa-apa.” Rosdiana menerima bantuan Abi yang membantunya duduk. Juga meneguk air minum yang diberikan.
Terluka karena sikap dan kata-kata mama, Ratih menangis dalam diamnya.Sebagai sesama wanita, aku pun tergerak ingin menenangkan. ‘’Rat…’’‘’Nawang Wulan, kamu kenapa?’’ Abi menoleh, curiga akulah penyebabnya.“Tidak apa-apa. Mata saya kelilipan.” Ratih pura-pura mengucek matanya.“Betul hanya kelilipan?”“Iya, Jaka.”Ratih tersenyum palsu. Tetapi tidak menghilangkan kecurigaannya.“Dia berbuat jahat sama kamu?”







