Share

Istri yang Diremehkan Ternyata Juragan
Istri yang Diremehkan Ternyata Juragan
Penulis: Lemongrass

Bab 1 Nafkah 0,1%

“Yang benar saja, Mas, kamu kasih aku uang tujuh puluh ribu untuk satu minggu? Zaman sekarang dapat apa uang tujuh puluh ribu?” protes Damaira pada suaminya.

Di setiap akhir bulan, Finegan—suami Damaira akan menerima gaji. Perkara uang adalah hal yang sering menimbulkan keributan di antara keduanya.

Damaira yang tak diberikan nafkah dengan layak oleh suaminya, hanya menuntut haknya sebagai seorang istri. Sedangkan, Negan menganggap tak perlu memberi banyak uang pada istrinya karena bekerja dan menghasilkan uang sendiri.

Belum lagi dia harus menanggung biaya hidup ibu dan kedua adiknya, membuatnya semakin mengesampingkan kewajibannya menafkahi sang istri.

Karir Negan cukup bagus, dia bekerja sebagai supervisor marketing di sebuah perusahaan farmasi yang lumayan besar, dengan gaji sebesar tujuh juta rupiah, belum lagi bonus jika mencapai target. Total Negan bisa memperoleh penghasilan sepuluh hingga dua puluh juta rupiah per bulannya.

“Harusnya kamu bersyukur, Ra, aku masih memberimu uang walau sedikit, kamu 'kan kerja, dapat gaji,” balas Negan dengan bersungut-sungut.

Negan selalu berdalih uang gajinya sudah dikirim untuk memenuhi kebutuhan hidup ibu dan adiknya, juga untuk biaya kuliah Dina—adik bungsunya.

Berapa gaji Negan dan nominal yang diberikan pada ibu mertua, Damaira tak pernah tahu. Damaira tak pernah mencoba untuk menanyakannya, dia masih sangat menjunjung tinggi privasi sang suami.

“Mas, ini bukan masalah bersyukur atau tidak bersyukur, tapi ini masalah nafkah yang menjadi kewajibanmu sebagai suami. Dua tahun lebih kita menikah, tapi bukan aku prioritasmu, kamu selalu mengutamakan ibu dan adik-adikmu.”

“Bahkan untuk cicilan rumah saja kita patungan dan lebih sering aku yang bayar, belum lagi listrik, air, iuran RT, dan kebutuhan sehari-hari selalu pakai uangku!” Damaira masih melanjutkan protesnya.

“Jadi kamu mulai perhitungan, Ra? Kamu tidak ikhlas, hah? Kamu kan punya gaji sendiri walau gajimu tak seberapa, wajar jika membantu perekonomian keluarga.” Ucapan Negan sarat akan penghinaan.

“Aku bukan perhitungan mas, aku hanya menuntut hakku sebagai seorang istri, yaitu nafkah. Kurang bagaimana lagi aku membantu perekonomian keluarga, Mas? Kamu sudah tahu gajiku kecil, tapi masih kamu suruh menopang hidup kita, ngelawak kamu, Mas!”

Tentang gaji milik Damaira, Negan pernah menemukan slip gaji milik istrinya itu di awal pernikahan mereka. Gaji itu nominalnya memang tak seberapa, hanya setengah dari gaji Negan.

Damaira adalah pemilik toko kue yang cukup terkenal di daerah Jakarta Barat, bernama The Moonlight Bakery. Toko kue yang dia rintis dari nol, yang awalnya hanya ruko kecil dengan ukuran 3x5 m sekarang sudah menjadi empat kali lipat lebih besar.

Damaira memang memberikan sistem gaji untuk dirinya sendiri, agar uang masuk dan keluar bisa tercatat dengan jelas.

Tentu saja suami dan keluarga tidak paham jika Damaira adalah pemilik toko kue tersebut. Mereka hanya tahu, dirinya bekerja di toko kue sebagai pelayan toko, sebab kesehariannya memang terjun langsung untuk melayani pembeli.

Keluarga Negan menutup mata dan menulikan pendengaran saat Damaira mengatakan dia adalah pemilik toko kue itu. Mereka justru menghina Damaira dan mengatakan terlalu banyak menghayal.

“Kamu bilang aku ngelawak? Dasar istri tak tahu diri, miskin, tak berpendidikan. Menyesal aku hanya tergoda karena kecantikanmu,” balas Negan sengit.

Tak terasa air mata Damaira keluar begitu saja tanpa bisa dibendung. Hatinya terasa sangat sakit mendengar penghinaan dari suaminya yang dulu mati-matian memperjuangkannya walau ayah Damaira tidak setuju.

“Iya, Mas, aku memang miskin dan tidak berpendidikan. Tapi lihatlah rumah ini, sebagian besar rumah ini ada karena hasil jerih payahku!” ucap Damaira dengan suara yang mulai sumbang.

Negan mengepalkan tangannya, dia sungguh merasa terhina, meski itu memang benar adanya.

Negan hanya diam, meski wajahnya sangat murka.

'Diam kan kamu sekarang!' batin Damaira.

"Aku hanya meminta hakku sebagai seorang istri, tapi kamu yang memaksaku untuk mengungkit hal itu." Damaira bermonolog yang entah didengar oleh Negan atau tidak.

“Aku tak pernah menuntut apapun mas, kecuali satu hal itu—nafkah. Aku tahu anak laki-laki adalah milik ibunya, tapi kamu harus tetap memprioritaskan aku sebagai istrimu karena aku adalah tanggung-jawabmu.”

Ibu Negan–Laras–memang selalu memberi penekanan pada Negan bahwa anak laki-laki adalah milik ibunya, jadi harus selalu berbakti, yang paling utama adalah memberi uang setiap bulan.

“Sudahlah, Ra, aku lelah. Kamu ini, suami pulang, sudah ku kasih uang, bukannya berterima kasih atau dilayani malah diajak ribut,” hardik Negan yang sudah merasa terpojok.

“Dasar tidak tahu diri!” Negan mengumpati Damaira sembari berjalan menuju kamarnya.

“Apa, Mas? Kamu ngomong apa? Tidak tahu diri? Kamu seharusnya bercermin, Mas, sebelum berkata seperti itu,” sahut Damaira.

“Heh, tutup mulutmu, keterlaluan kamu, Ra, sama suami sukanya melawan dan membantah. Benar kata ibu, kamu memang selalu melawan kalau dinasihati,” sarkas Negan dengan mengacungkan jari telunjuknya serta mata yang menatap penuh amarah.

Beruntung Negan masih bisa mengontrol emosinya, dengan terus mengumpati istrinya, dia masuk ke dalam kamar kemudian membanting pintu.

Bbrrraaakkk!

“Astaghfirullah, aku bisa gila lama-lama menghadapi manusia seperti dia,” monolog Damaira, dia menarik nafas lalu memukul-mukul dadanya yang terasa sesak.

Damaira kembali harus menelan pil pahit dalam kehidupan rumah tangganya, masalah nafkah tak pernah ada ujungnya. Lagi dan lagi, Damaira harus merasa kecewa dengan perlakuan tidak adil suaminya.

Mulai sekarang Damaira akan mulai melakukan perlawan-perlawanan kecil untuk memberi pelajaran dan menyadarkan suaminya.

Pagi menjelang, seperti biasa Damaira sudah berkutat di dapur membuat sarapan. Saat Negan sudah selesai berbenah diri, makanan itu harus sudah tersedia di meja.

“Apa-apaan ini, Ra?” beo Negan, saat dia melihat meja makan.

“Kenapa, Mas? Bukannya makanan sudah siap semua!” balas Damaira santai.

“Yang benar saja, mana lauknya? Tempe?” tanya Negan.

“Iya,” jawab Damaira singkat.

“Terus ini sayurnya? Apa-apan ini? Ongseng toge campur telur? Kamu sehat kan, Ra?” protes Negan.

“Ya aku sehat lah, Mas, kalau tidak mana bisa aku masak, toge bagus untuk kesuburan, Mas, siapa tahu kita segera punya anak,” jawab Damaira sembari mengambil nasi dan menaruh di piringnya.

“Sudah makan saja, Mas, namanya juga uang tujuh puluh ribu untuk seminggu, ya harus irit-irit,” lanjut Damaira sembari menyuap makanan ke dalam mulutnya.

'Rasain!' maki Damaira dalam hati.

Damaira paham betul, suaminya tidak akan mau makan makanan seperti itu, apalagi lauknya hanya tempe.

“Ah, perhitungan sekali kamu!” hardik Negan, kemudian beranjak dari tempat duduknya.

“Lhoh, Mas, sarapan dulu!” seru Damaira.

“Tidak nafsu, aku mau sarapan di tempat ibu saja.” Negan mengambil tas kerja kemudian berlalu dari rumah dengan menggunakan motor maticnya. Damaira tak ambil pusing dengan kelakuan Negan.

Jarak rumah Damaira dengan mertuanya memang tak jauh hanya sekitar lima menit perjalanan menggunakan motor.

“Uang tujuh puluh ribu seminggu kok mau makan mewah, mimpi,” monolog Damaira setelah suaminya beranjak pergi.

“Bu, ibu,” panggil Negan sembari memasuki rumah sang ibu.

“Kenapa, Mas? Tumben pagi-pagi ke sini?” tanya Dina.

“Iya, Mas, tumben!” seru Laras, ibu Negan.

“Mau numpang sarapan,” ucap Negan yang langsung ikut duduk di meja makan.

Terlihat Laras melongo tidak percaya dengan apa yang anaknya katakan.

"Siapa suruh kamu duduk di situ?"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Dio Ananda
Lumayan bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status