Share

Bab 2 Ibu Mertua Perhitungan

"Aku kan mau sarapan, Bu. Masa berdiri," balas Negan dengan ekspresi tanpa dosa.

Laras mendengus, lalu melayangkan sindiran pada Negan perihal Damaira yang baru saja diberi uang belanja, tapi Negan malah sarapan di rumahnya.

Dengan santai Negan menanggapi perkataan sang ibu, jika dia tidak berselera dengan menu yang dibuat oleh Damaira, lalu mengambil dua centong nasi ke piringnya dan menambah dengan sayur serta lauk yang menggugah selera–ayam goreng lengkuas.

Laras memandang kesal ke arah piring anaknya yang penuh makanan.

“Tumben, bukannya kamu selalu bilang kalau masakan istrimu yang sekolah jurusan tata boga itu selalu enak!” sindir Laras lagi.

“Memang istrimu itu masak apa?” lanjut Laras

“Cuma masak ongseng toge sama tempe goreng."

Laras melongo, tidak habis pikir dengan kelakuan menantunya. Anaknya baru saja menerima gaji dan pasti akan memberi uang belanja, tapi membuat menu masakan hanya ongseng toge.

Mendengarnya saja dia malas, apalagi harus memakannya. Laras bahkan sampai bergidik, saking tidak seleranya dengan menu yang dibuat Damaira.

Laras merasa kesal anaknya tidak dilayani dengan baik. Tanpa Laras tahu berapa uang yang diberikan Negan untuk menantunya, namun dia dengan mudahnya menghakimi Damaira.

“Katanya uang bulanan dariku tidak cukup kalau harus beli lauk yang enak. Aku memang kasih dia uang pas, takutnya dia boros, seperti yang ibu katakan.”

Laras tersenyum, hal itu yang selalu dia gaungkan pada Negan semasa masih tinggal bersama.

“Lagian istrimu itu kan kerja, perhitungan sekali jadi istri!”

Laras terus mengompori Negan, agar Damaira tampak lebih buruk lagi di mata anaknya. Sejak dulu Laras memang tidak menyukai Damaira yang hanya lulusan SMK tata boga, keluarganya biasa saja dan juga dari kampung.

“Bulan kemarin Damaira yang bayar cicilan rumah. Mungkin uangnya sudah habis, berapa sih gaji pelayan toko roti, pasti tidak seberapa. Makanya ibu jangan minta tambahan uang terus, aku juga pusing,” oceh Negan.

“Ah, begitu aja masih kamu bela. Ibu sudah bilang, tinggal di sini saja, biar lebih hemat, tidak perlu keluar uang untuk bayar cicilan rumah, uang bulanan juga ibu yang pegang, makanmu pasti terjamin, kamu saja yang ngeyel.”

Laras tak suka Negan sarapan di rumahnya, kerena otomatis pengeluarannya akan bertambah.

“Aku pusing bu, hampir setiap hari Damaira minta tinggal terpisah. Katanya dia tidak betah tinggal di sini. Toh DP rumah dia yang bayar, aku jadi iya-iya saja."

“Salahmu sendiri punya istri tidak berpendidikan, sudah begitu miskin lagi.”

Negan diam sejenak, kata-kata itu selalu terlontar dari mulut ibunya. Awalnya Negan selalu membela istrinya, tapi belakangan ini dia mulai berpikir jika yang diucapkan oleh Laras ada benarnya. Mungkin dulu dia terlalu dibutakan oleh kecantikan Damaira.

"Kamu ceraikan saja dia, ibu akan carikan istri yang kaya, agar kamu bisa mewarisi perusahaannya," oceh Laras.

Negan terperangah mendengar ucapan sang ibu. Meski dia sering cekcok dengan Damaira, dia tak pernah terpikir sedikitpun untuk bercerai dari istrinya. Di sudut hati kecilnya Negan masih sangat mencintai Damaira. Negan menghela nafas belum sempat dia mengucapkan kalimat bantahan, Laras kembali bersuara.

“Terserah kamu saja, yang penting jatah ibu dan Dina empat setengah juta tidak diusik-usik apalagi dikurangi,” imbuh Laras santai.

'Ibu, selalu saja uang yang ada dipikirannya,' batin Negan.

“Mulai bulan depan jatah ibu dan Dina tiga setengah juta saja! Aku harus menabung untuk biaya semesteran Dina,” Negan menjeda ucapannya.

“Lagi pula Naya sudah kerja. Aku tahu jika Naya juga selalu memberi uang pada ibu.”

Negan harus mulai tegas perihal keuangan pada ibunya, menurutnya sang ibu sangat boros.

“Enak saja, empat setengah juta ya empat setengah juta. Kenapa jadi dikurang-kurangi? Kamu pasti mau berikan pada istrimu itu, iya?” kesal Laras.

“Uang Naya beda lagi ceritanya, kalau Naya kasih ibu itu hadiah untuk ibu, sedangkan kamu itu wajib, harus kasih uang ke ibu,” imbuh Laras.

Belum sempat Naya mengutarakan isi hatinya, Negan sudah lebih dulu beranjak, dia memilih untuk segera berangkat kerja, meski makanan dalam piringnya masih tersisa.

“Mau kemana? Makanan kamu belum habis, mubadzir, kamu lupa kalau istrimu cuma masak ongseng toge?”

Tak menggubris perkataan sang ibu, Negan berpamitan dan mencium punggung tangan Laras, rasanya kepalanya mau pecah. Tidak istrinya, tidak ibunya, uang saja yang ada dalam pikiran mereka.

Lain halnya dengan Laras, dia ingin membuat perhitungan dengan menantunya.

“Ra, Ira,” seru Laras yang menyambangi rumah anaknya.

Tok! Tok! Tok!

Dengan tidak sabar Laras mengetuk pintu rumah tersebut. Dia yakin menantunya itu belum berangkat ke toko kue tempatnya bekerja.

“Ra, Ira,” teriak Laras. Damaira membuka pintu rumahnya.

“Ada apa, Bu?”

“Kenapa pakai kunci pintu segala sih?” sungut Laras.

Tanpa dipersilakan, Laras langsung masuk ke dalam rumah, menuju ruang tengah. Sudah menjadi kebiasaan, ibu tiga anak itu sering kali datang ke rumah Damaira tanpa permisi—langsung masuk ke dalam rumah.

‘Biar ibu tidak main selonong saja masuk ke rumah orang,’ tentu kata-kata itu hanya terucap dalam hati Damaira.

“Damaira sedikit sibuk, Bu, jadi pintu dikunci,” jawab Damaira seramah mungkin.

Yang diucapkan Damaira, tak sepenuhnya bohong, karena dia memang sedang sibuk mengecek laporan bulanan toko kuenya.

“Jangan sok sibuk," sarkas Laras.

Ingin rasanya Damaira mengatakan bahwa pekerjaan rumahnya juga sangat membuatnya sibuk, sebab anaknya benar-benar ingin diperlakukan seperti seorang raja, yang semuanya terlayani, tapi dia tak sampai hati.

“Ada apa, Bu?” ulang Damaira, dia tidak ingin ibu mertuanya itu terus meremehkannya.

Tanpa basa-basi, Laras memarahi Damaira yang tidak becus mengurus suami, yang hanya memberi sarapan ongseng toge dan tempe goreng.

Memaki Damaira yang perhitungan dan pelit pada suami, serta menghina pekerjaannya yang hanya pelayan toko kue. Damaira hanya diam dengan sesekali menghela nafas.

“Ira hanya belanja sesuai uang yang diberikan oleh mas Negan, Bu,” balas Damaira sambil membuatkan teh hangat untuk Laras.

“Alasan terus, lagian kamu kan kerja, kenapa perhitungan sekali sama suami sendiri!”

“Damaira bukan perhitungan, Bu, tapi memang uang Damaira sudah terpakai untuk yang lain,” Damaira membela diri.

“Halah, kebanyakan gaya kamu, Ra. Sini uang jatah yang dikasih sama Negan, tadi pagi dia makan di rumah ibu, lama-lama pemborosan kalau suamimu setiap pagi makan di rumahku.”

“Astaghfirullah, Bu, uang dari mas Negan tidak seberapa, masih ibu minta juga?” Damaira nyaris mengelus dada mendengar permintaan ibu mertuanya.

“Tidak usah banyak bicara, sini uangnya.” Tidak mau terjadi keributan, Damaira pun mengambil uang sisa belanja tadi pagi di laci meja dapur.

“Ini, Bu,” Damaira memberikan satu lembar uang lima puluh ribu.

“Hanya ini?”

“Iya, Bu, itu pun untuk seminggu,” jawab Damaira santai.

“Jangan ngelawak kamu, Ra, mana cukup seminggu uang segini. Kalau mau bohong pakai otak, Ra. Ya sudah sini, daripada ibu tombok gara-gara suamimu makan di rumahku.”

Laras mengambil uang tersebut kemudian memasukkan kedalam saku celana panjangnya. Kemudian berjalan keluar rumah setelah menghabiskan teh manis yang dibuatkan oleh menantunya.

‘Yang melawak itu ibu, sudah tahu uang hanya segitu masih diminta. Perhitungan sekali jadi orang, padahal sama anak sendiri.' Andai kata-kata itu bisa dengan mudah dia katakan pada mertuanya.

Laras menghentikan langkahnya, hendak mengatakan sesuatu.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Elvi Fitri
apa ad orang begitu didunia nyata ya
goodnovel comment avatar
Bulan Purnama
kali aku punya suami ky negan udah aku ceraikan dia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status