Sukma menatap Yudi yang terbaring lemah di kursi, wajah suaminya tampak pucat, keringat dingin mengalir di pelipis. Termometer menunjukkan angka 39 derajat. Sukma menahan diri untuk tidak menangis. Bukan hanya karena kondisi fisik Yudi yang membuatnya khawatir, tetapi juga beban yang terus menumpuk di pundak pria itu. Dengan tangan cekatan, dia menggosokkan minyak kayu putih ke hidung dan leher Yudi. Tak lama, lelaki itu mulai siuman. Matanya membuka perlahan, dia meng3rang.
"Mas, ayo kita ke dokter," pinta Sukma lembut. Dia mengambil kain kompres di dahi Yudi. Yudi menggeleng pelan. "Nggak usah. Aku cuma butuh istirahat, tolong ambilkan paracetamol." "Mas, kamu demam tinggi. Ini bukan main-main," desak Sukma. Dia kesal, setiap sakit Yudi tidak pernah mau diajak berobat. Bagaimana kalau ada penyakit lain di tubuhnya? "Aku demam biasa. Sudah, percaya sama aku," ujar Yudi sambil mencoba duduk, meski tubuhnya masih terasa lemas. Sukma berdecak kesal, tapi akhirnya menuruti permintaan Yudi. Dia bangkit ke dapur untuk mengambilkan obat sekaligus makan malam untuk pria itu. Saat hendak menuangkan air ke gelas, terdengar ponsel Yudi berdering dari ruang tamu. Sukma mengintip sekilas dan melihat Yudi menjawab sambil menyalakan speaker. "Halo, Mas Yudi. Ini aku, Rani," suara dari ponsel membuat Sukma langsung siaga. Rani saudara ketiga Yudi, perempuan satu-satunya. Untuk sifat, sebelas dua belas dengan Romi. "Rani? Ada apa?" Yudi bertanya lemah. "Mas, aku minta tolong. Aku butuh uang satu juta buat bayar studi tour anakku." "Kamu minta suamimu, Mas lagi nggak ada u4ng." "Nggak ada, Mas. Suamiku baru beli motor, jadi uang kami habis. Bisa bantu, kan? Ini ponakanmu lho." Sukma yang mendengar percakapan itu langsung menghentikan gerakannya. Tangannya terkepal menahan emosi. Dia meletakkan teko ke meja makan lalu melangkah cepat ke ruang tamu. Tanpa pikir panjang, Sukma merebut ponsel dari tangan Yudi. "Rani, dengar ya! Sampai kapan kamu terus-terusan minta uang sama suamiku? Kamu punya suami, kan? Suruh dia yang bayar! Jangan seenaknya minta ini itu ke Mas Yudi!" "Apa maksudmu, Mbak?" suara Rani terdengar meninggi. "Aku ini adiknya Mas Yudi. Wajar kalau aku minta bantuan. Lagian, kamu juga cuma parasit. Makan dari hasil keringat Mas Yudi, kan?" Kata-kata Rani merem4s jantung Sukma. Dia mengepalkan tangan, menahan diri untuk tidak membalas dengan hinaan yang lebih tajam. Namun, am4rahnya sudah tidak bisa dibendung lagi. Belum selesai masalah Romi sekarang adik yang lain menggerogoti. "Dengar baik-baik, Rani," Suara Sukma terdengar dingin. "Sejak aku menikah dengan Yudi tiga tahun lalu, aku yang lebih banyak menutupi kebutuhan rumah tangga kami. Aku punya penghasilan sendiri dari jualan online, jadi jangan pernah bilang aku numpang makan. Kamu tidak tahu apa-apa tentang perjuanganku!" Rani tertawa sinis. "Hallah, jualan kecil-kecilan. Mana cukup buat hidup kalian? Jangan sok merasa berjasa, Sukma. Kakakku itu baik hati, beda jauh sama kamu yang cuma bisa marah-marah. Bilang saja kamu iri karena belum punya an4k, jadi Mas Yudi lebih sayang ke keponakannya. Dasar mandul!" "Baik hati?" Sukma hampir berteriak. "Kamu bilang baik hati. Bukan baik hati, tapi terpaksa! Mas Yudi sudah habis-habisan membantu kamu dan Romi. Semua utang kalian dia yang lunasi. Apa itu nggak cukup? Kamu yang nggak tahu diri!" Yudi tidak tahan mendengar perdebatan itu berusaha bangkit untuk merebut ponselnya. Dengan susah payah, dia berhasil mengambilnya dari tangan Sukma. "Rani, nanti aku telepon lagi. Sudah dulu, ya," katanya sebelum memutuskan panggilan. Sukma memandang Yudi dengan tatapan tajam, rasa kesalnya semakin menggunung, seperti b0m at0m yang siapa meledak. "Mas, kenapa kamu nggak pernah bisa tegas sama mereka? Lihat apa yang mereka lakukan padamu. Mereka terus memanfaatkanmu! Dia bahkan menghinaku m4ndul!" Yudi terduduk kembali, dia menatap sayu ke arah Sukma, terpancar lelah di sinar matanya. "Sukma, aku tahu kamu kesal, tapi mereka adik-adikku. Aku nggak bisa biarkan mereka kesusahan." "Tapi mereka sampai hati bikin kamu susah! Mereka itu bukan anak kecil lagi, Mas! Rani punya suami, Romi sudah dewasa, dan Ibu pun bukan orang yang nggak punya akal. Mereka bisanya minta aja. Mereka tahunya kamu nggak pernah bisa bilang 'tidak,' makanya terus memanfaatkanmu!" "Aku cuma ingin membantu keluarga, Sukma," suara Yudi melemah. "Aku nggak mau dibilang anak durhaka." "Membantu ada batasannya, Mas. Dulu kamu sakit apa peduli sama kamu? Jangankan nengok, nanya kondisi kamu enggak! Keluarga macam apa yang nggak pernah peduli sama kondisimu, Mas? Mereka cuma tahu minta, minta, dan minta!" Sukma meradang, dia memuntahkan bara yang mengungun dad4nya. Yudi menghela napas panjang, mencoba tidak terpancing kemarahan Sukma. "Aku cuma minta kamu sabar. Semua ini akan selesai. Aku cuma butuh waktu untuk membereskan semuanya." Sukma memandang Yudi dengan tatapan putus asa. "Mas, apa aku kurang sabar selama ini? Aku diam saat kamu jarang kasih nafkah. Aku tutup mulut waktu kamu lebih memprioritaskan adik-adikmu. Sekarang aku sudah nggak bisa lagi. Mereka sudah keterlaluan!" Yudi menunduk, tidak bisa membalas. Dia tahu Sukma benar, tapi dia juga terjebak dalam situasi yang sulit. Sukma melangkah mundur, menahan air matanya yang hampir jatuh. "Mas, kalau kamu nggak bisa memilih, aku yang akan memilih. Kalau memang keluargamu lebih penting daripada aku, lebih baik kita bercerai saja. Biar kamu bisa mengabdi ke mereka sampai mati." "Sayang, jangan bicara seperti itu, nggak baik." Yudi mencoba memadamkan amarah Sukma, tetapi wanita itu sudah habis kesabaran. "Aku capek, Mas! Aku lelah selalu dinomor sekiankan. Padahal setelah menikah harusnya kau tahu mana yang jadi prioritas. Kalau kamu apa-apa berat ke Ibu lebih baik jangan pernah menikah!" Kata-kata itu menggema di ruangan, membuat Yudi terdiam. Sukma berbalik dan masuk ke kamar, meninggalkan Yudi yang masih duduk terpaku di kursi.Setelah dua hari menghilang, Yudi akhirnya pulang ke rumah dengan langkah gontai. Pikirannya masih dipenuhi oleh peristiwa yang mengguncang hatinya. Dia meletakkan sembarang sepeda motornya. Dahinya berkerut ketika melihat mobil yang biasa dipakai Sella terparkir di pekarangan rumah. Saat membuka pintu, ia disambut oleh ibunya yang berdiri dengan wajah marah. "Ke mana saja kamu dua hari ini, Yudi? Menghilang tanpa kabar, membuat kami semua khawatir!" Ibunya bertolak pinggang menatap Yudi tajam. Yudi hanya terdiam, tak ingin menjawab pertanyaan ibunya. Lagipula dia bukan an4k kecil yang harus berkabar. Harusnya ibunya mengerti perasaannya, tapi wanita itu seolah-olah menutup mata. Yudi merasa miris, inilah keluarga yang dia agung-agungkan dulu. Saat melewati kamar Juno, matanya tertuju pada Sella dan Juno yang tiba-tiba muncul dari kamar. "Setelah kamu pergi begitu saja, kami terpaksa menikahkan Sella dengan Juno untuk menghindari malu." Ibunya menjelaskan tanpa diminta. Yudi menat
Pagi itu, rumah Sella telah disulap menjadi tempat yang megah. Dekorasi elegan menghiasi setiap sudut, bunga-bunga segar menebarkan aroma wangi, dan para tamu mulai berdatangan, menantikan momen sakral akad nikah antara Yudi dan Sella. Di sebuah kamar yang disediakan khusus untuknya, Yudi duduk termenung. Pikirannya berkecamuk, bayangan tentang Sukma, mantan istrinya, terus menghantui benaknya. Penyesalan perlahan merayapi hatinya, terutama mengingat anak mereka yang akan segera lahir. Namun, Yudi mencoba menepis perasaan itu, meyakinkan dirinya bahwa keputusan untuk menikahi Sella adalah yang terbaik, terutama setelah banyaknya bantuan yang diberikan Sella kepada keluarganya. Lambat-laun dia yakin perasaan pada Sukma akan hilang dengan sendirinya. Merasa bosan karena terlalu lama menunggu, Yudi memutuskan keluar kamar untuk mencari minuman dan menghisap sebatang rokok, berharap dapat meredakan kegelisahannya. Saat melintasi koridor, telinganya menangkap suara des4han dari salah satu
Empat bulan akhirnya berlalu. Sukma menatap surat cerai di tangannya. Satu bulan yang lalu Yudi mengantarkan surat itu bersama undangan pernikahannya dengan Sella. Senyum kemenangan tampak di wajah wanita itu, dia masih saja berusaha memprovokasi Sukma, seolah-olah tak puas berhasil menghancurkan rumah tangganya. Namun, Sukma memilih tidak menanggapi, karena Sella memang tak penting untuknya. "Aku harap kamu datang ke pernikahan aku dan Mas Yudi. Resepsinya sangat mewah dan meriah." Sella sengaja menggandeng lengan Yudi untuk menunjukkan posisinya. "Aku usahakan, karena akhir-akhir ini aku sibuk sekali." Suara Sukma terdengar tenang. Sella salah kalau berpikir dia akan terpancing trik murahan itu. Hatinya telah mati rasa, jadi mau keduanya bermesra4n pun di depannya tidak berpengaruh apa pun. Sella mencibir. "Ck, gayamu sok sibuk. Paling juga sibuk nyari kerja. Lagian siapa yang mau pekerjakan wanita h4mil sepertimu. Sebentar lagi perutmu bunc1t, kamu pikir nggak ngerepotin?!" L
Sukma duduk tenang di ruang sidang, tangannya terlipat di pangkuan. Perutnya yang mulai membesar sedikit mengganggu posisi duduknya, tapi ia berusaha untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanan itu. Hari ini, ia ingin semuanya selesai. Di seberangnya, Yudi duduk dengan wajah tegang. Sella dan ibu Yudi duduk di belakang tampak tersenyum penuh kemenangan. Sukma tidak peduli. Ia hanya ingin berpisah secepat mungkin. Hakim mengetukkan palunya. "Saudara Yudi, saudari Sukma, kita lanjutkan sidang perceraian ini. Saudara Yudi, sebelumnya Anda menyampaikan beberapa tuduhan terhadap saudari Sukma, di antaranya bahwa beliau terlalu mandiri dan tidak mendukung rumah tangga sesuai harapan Anda, serta ada keraguan mengenai kehamilannya. Benarkah?" Yudi mengangguk tegas. "Benar, Yang Mulia." Hakim mengalihkan pandangannya ke Sukma. "Saudari Sukma, apakah Anda membantah tuduhan tersebut?" Sukma mengangkat wajahnya, menatap hakim dengan tenang. "Tidak, Yang Mulia." Ruangan mendadak sunyi. Yudi mena
Sukma berdiri di depan toko pakaian yang siap beroperasi. Matanya berembun menatap papan nama yang baru saja dipasang. Usaha ini adalah impian yang akhirnya menjadi nyata. Meski hidupnya sedang kacau karena perceraiannya dengan Yudi, setidaknya dia masih punya sesuatu yang bisa dibanggakan. Di sampingnya, Arman berdiri dengan tangan di saku, memperhatikan dalam diam. Dia tahu Sukma berusaha tegar, tapi sorot matanya menjelaskan apa yang sedang dirasakannya. “Kalau kamu butuh bantuan untuk mengurus toko ini, aku siap,” kata Arman akhirnya. Sukma tersenyum kecil. “Terima kasih, Man. Aku harus berterima kasih karna kamu udah bantu aku mewujudkan impianku. Walau buka pemilik, tapi dipercaya olehmu sudah sangat luar biasa. Aku nggak mau merepotkan kamu lagi." “Kamu nggak merepotkan aku. Malah aku senang direpotkan kamu terus.” Sukma menoleh, dan saat itu dia melihat binar di mata Arman sangat tulus, tatapannya begitu dalam membuat hatinya bergetar. Ketulusan yang tak pernah dia temukan
"Jangan-jangan an4k yang kau kandung bukan berasal dari benihku." Sukma geram mendengar perkataan Yudi. Apakah aku serendah itu di matanya? Jangankan berzin4, berdekatan dengan lelaki lain saja tidak pernah. Sementara dia, sidang cerai belum dimulai dia sudah membawa wanita mur4han itu bersamanya. Lihatlah, dengan tidak tahu malu Sella bergelayut di lengannya. "Terserah kamu mau bicara apa. Lagipula nggak akan merubah apa pun." Sukma melangkah perlahan menuju Pengadilan Agama sambil mengusap perutnya. Meski terlihat tegar, tidak ada yang tahu hatinya ngilu mendengar tudingan Yudi. Tiga tahun pernikahan tak membuat lelaki itu benar-benar mengenalnya. Sangat miris, selama pernikahan hari-hari dia dan Yudi lewati dengan harapan Tuhan mempercayai mereka dengan memiliki an4k, tetapi saat dikabulkan lelaki itu justru menggugat cerai, memilih wanita lain. Di sampingnya, Arman berjalan dalam diam. Sesekali dia melirik Sukma. Mendengar tudingan Suami Sukma membuatnya emosi. Andai tadi Suk