Dara membersihkan mulutnya yang masih menyisakan cairan asam yang tertolak oleh lambungnya. Terhitung sudah tiga kali ia memuntahkan cairan asam itu. Tubuhnya ambruk di lantai berlapis karpet tanpa bisa dicegah.
“Mbak? Mau ke rumah sakit lagi?” tanya perempuan yang tengah memberesi sarapan atasannya yang tinggal seperdua. Dara menggeleng pelan. “Tidak perlu, keadaan butik sekarang sangat sibuk. Saya harus turun tangan langsung mengingat peran saya sangat dibutuhkan,” tolak Dara sembari merapikan rambutnya yang entah sudah berapa hari tak tersentuh sisir. Sang asisten diam-diam menyetujui ucapan Dara. Mau bagaimana lagi? Butik yang tidak seberapa besar ini kekurangan sumber daya manusia, dan sayangnya hanya memiliki satu desainer yang tak lain dan tak bukan adalah sang pemiliknya sendiri. Apa lagi, pendapatan butik selama beberapa hari terakhir, khususnya saat Dara menjalani rawat inap, mengalami penurunan yang signifikan. “Tolong ambilkan desain-desain saya sekalian bawakan catatan penjualan bulan ini, saya mau bekerja di sini sekaligus evaluasi,” pintanya yang diangguki sang asisten sebelum hilang ditelan jarak. Dara mematut diri di cermin setelah selesai dengan rambut lepeknya. Ia menghela napas melihat penampilannya yang jauh dari kata baik. Wanita itu mengernyit saat tak mendapati asistennya yang sudah hirap lima menit silam. Mengambil desain dan buku catatan tak selama itu, kan? Pasalnya butik ini pun, juga tak sebesar stadion hingga memakan waktu untuk sekedar turun dan mengambil barang. Lama ia bersabar, akhirnya Dara memutuskan untuk menghubungi sang asisten. Belum sempat jarinya yang setengah gemetar itu melakukan aksi, asistennya sudah datang dengan raut panik. “Mbak! Ada suaminya Mbak di bawah, mereka datang bawa satu keluarga dan minta Mbak untuk bertemu,” pekik asistennya sembari menyerahkan beberapa lembaran pada atasannya. Dara tanpa sadar tersentak, kepalanya berdenyut nyeri membayangkan segala kemungkinan terburuk. “Tolong bantu saya turun,” mintanya dengan raut putus asa. Dengan sigap sang asisten memapahnya hingga terdengar ringisan ngilu dari mulut Dara ketika perih diperutnya kembali mendominasi. Perjalanan yang normalnya dilakukan beberapa detik itu menjadi beberapa menit diiringi dengan ringisan ngilu. “Hai! Mbak Dara?” sapa adik iparnya dengan senyum manis. Bukannya terkesan, Dara malah semakin merasakan firasat buruk. Dipandanginya satu persatu tamu tak diundangnya. Tampak seluruh anggota keluarga datang kemari, mereka bahkan membawa keponakan serta ketiga iparnya. Mata Dara berhenti pada satu wanita dengan perhiasan mencolok yang menurutnya tak memiliki hubungan kekerabatan dengan William. “Mau apa kalian kemari?” tanyanya dengan suara lirih, hampir-hampir tak terdengar. Ia menggigit bibirnya agar ringisan itu tak lolos dan berakhir membuat para penghianat ini meremehkannya. “Sudah datang jauh-jauh kemari, bukannya menyambut hangat, kamu malah bersikap kurang ajar?” sindir ibu mertuanya membuat Dara menggeram marah. “Jika dilihat-lihat, kalian tidak berniat membeli atau berkonsultasi di butik saya. Atau kalian datang kemari berniat meminta maaf?” tanya Dara membuat ibu mertuanya menutupi mulut sembari mencoba tertawa anggun. “Dari mana kamu mendapatkan kepercayaan diri yang memalukan ini? Kami datang kemari bukan untuk meminta maaf atas sesuatu yang bahkan tidak kami dilakukan,” ledek sang mertua membuat Dara semakin ingin menampar mereka dengan tangan bergetarnya ini. “Kalau begitu, kenapa kalian menyempatkan datang kemari jika tak memiliki urusan dengan saya, juga tidak berminat menjadi pembeli di butik saya?” ucap Dara mengandung pengusiran halus. “Butikmu? Yakin ini butikmu?” tanya sang mertua sembari tersenyum licik. Dara berusaha menepis jauh-jauh firasat buruknya atas senyum licik wanita itu. Entahlah, yang pasti hatinya semakin gusar melihat sikap santai paruh baya itu, seakan-akan ibu mertuanya memiliki rencana matang sebelum kemari. Sang mertua tampak mengangkat dagu. “Wanita ini adalah teman arisan saya,” beritahunya pada sang menantu. Dara memijit pelipis untuk meredakan nyeri pada kepalanya. “Saya tidak peduli siapa pun itu. Jika memang tak berniat jadi pembeli, jangan membuat pembeli tak nyaman dan keluar dari butik ini!” sentaknya membuat wajah satu keluarga itu merah menahan malu saat semua pengunjung menatap mereka. “Oh! kamu mau mengusir saya sebagaimana kamu mengusir anak saya?! Dasar wanita pelit dan tak beretika!” hina sang mertua membuat Dara semakin dilanda amarah. Dara yang dihina jelas tak terima dan menjawab, “Sudah kewajiban saya untuk mengusir peminta-minta–” “Dara! Kamu berani mengatai anak saya pengemis?! Hanya karena beberapa baju murahan ini yang saya pun mampu untuk membelinya?!” hardik ibu mertuanya sembari merusak beberapa baju di sekitarnya. “Berhenti! Atau saya akan laporkan pada polisi!” jerit Dara sembari memegangi perutnya yang perih setengah mati. “Silakan laporkan! Saya tidak takut karena butik ini adalah hak keluarga saya yang nantinya akan dijual!” tantang sang mertua sambil terus menimbulkan kerusakan di sekitarnya. “Jangan gila! Saya tidak pernah berniat menjual butik ini sampai kapan pun, siapa Ibu berani membuat keputusan sepihak atas sesuatu yang bahkan tidak Anda miliki?!” Seandainya ia adalah gunung, maka Dara tengah menyemburkan lahar panas setelah sekian lama mengendap. “Kamu yang gila, Dara! Butik ini dan seisinya adalah miliki anak saya, Wiliam!” tegas mertuanya membuat Dara melemparkan tatapan tak terima atas ucapan tersebut, bagaimana biasa butik yang ia bangun sampai bermandi peluh itu jadi milik William? “Kamu tidak percaya? Saya bisa berikan bukti valid yang menunjukkan bahwa Williamlah pemiliknya secara sah di mata hukum! Indri! Bawa kemari!” perintahnya pada sang menantu yang tengah hamil muda untuk menyerahkan berkas yang sedari tadi dibawanya. Plak! Kepada Dara menoleh ke samping karena lemparan berkas yang mengenai wajah cekungnya. Dara merunduk guna mengambilnya, mengabaikan pusing yang mendera serta pipinya yang terasa kebas luar biasa. Ia menatap nanar pada berkas di tangannya yang bergetar itu, mentalnya turut terguncang, seakan-akan baru mendapat risalah kematian. “Jangan bilang ini palsu! Kamu tahu, kan? Berkas itu semua juga dibuat atas persetujuanmu,” cetus ibu mertuanya semakin mendorong Dara menuju kegilaan. Dara menatap surat tanah sampai surat izin usaha yang tertulis nama William di sana, membuatnya seketika teringat akan kebodohannya. Mulanya dulu Dara akan mendaftarkan butik ini atas namanya. Hanya, seakan-akan ada yang menghalanginya, semua syarat permohonan itu tertolak. Dara cukup tahu ini merupakan ulah ibunya kandungnya atas pembangkangan yang ia lakukan. Sampai akhirnya, ia memilih cara alternatif dengan menggunakan nama suaminya. Sekarang ... hal tersebut tampak seperti peti mati yang ia siapkan sendiri untuknya. “Keluarkan semua barang–” “J-jangan! Tolong jangan jual butik ini, Saya akan lakukan apa pun mau kalian,” mohon Dara mengesampingkan egonya. Kali ini, ia benar-benar tak mau kehilangan satu-satunya penopang hidupnya. “Kamu tidak mau butik ini dijual, kan, Dara?” tanya paruh baya itu dengan nada lembut. Dara buru-buru mengangguk kuat sembari memegangi tangan mertuanya meminta belas kasih. “Kalau begitu ... cium kaki saya!”"K-kok pak Sagara ...,""Mereka sering bertemu?""A-ah, nyonya Sera memang sangat dekat dengan keluarga Adikara, apalagi dengan nyonya Rissa. Nyonya Sera adalah sahabat kecil pak Sagara,""Maksudmu ... sahabat yang akhirnya menjadi sepasang kekasih?""Mari, sepertinya pak Sagara sudah menunggu,""Hai, Dara,""Wow! Ternyata ini kegiatan akhir pekanmu, Sagara? Kamu mengajak kekasihmu untuk berkencan di rumah, di saat tak ada anggota keluarga di sini?""Sera ...,""Tak masalah, Pak. Saya paham akan maksud nyonya Sera, lagi pula semua orang pun pasti tahu hanya dengan sekali lihat, kita tak sedekat itu,""Tampaknya atmosfer di antara kalian terasa sangat buruk, kalau begitu saya pamit undur diri dulu,""Ada perlu apa kamu ke mari, Dara?""Saya ingin mengembalikan barang yang kapan hari pak Sagara pinjamkan kepada saya,""Silakan duduk," "Padahal sebenarnya kamu tak perlu mengembalikannya,""Tolong jangan berbicara demikian, Pak. Barang 'ini' bukan milik saya, mau saya menyimpannya di lema
"Apa yang sebenernya terjadi pada kamu, Sagara?""Kamu gila? Kamu mengharapkan seorang wanita yang sudah menikah?""Dan setelah itu berani-beraninya kamu mengatakan kalimat cinta menjijikkan itu kepadaku, kamu menganggapku sekedar pelarian?""Kamu benar-benar bajingan yang tak tahu diri, kamu brengsek!""Nona Dara?""Ya? Masuk saja, Mbak!""Taruh saja di sana, Mbak. Terima kasih sudah mencucikan baju saya,""Eh, tunggu!""Ya, Nona Dara? Ada yang bisa saya bantu?""Ini baju siapa?""Loh? Bukan baju Non Dara? Saya ingat ini di keranjang untuk baju kotor yang berasal dari kamar Non Dara,""I-iya itu baju saya," "Silakan teruskan pekerjaan kamu,""Sial, aku sudah berjanji akan mengembalikannya," "Kenapa Sagara jahat sekali? Dia memberikan baju belasan mantannya yang udah ditolak kepadaku? Hanya karena keadaanku saat itu benar-benar mengenaskan, bukan berarti dia bisa merendahkanku dengan cara seperti itu,""Ini hari libur, kamu mau keluar lagi?""Maaf, Ma,""Bukan begitu maksud mama, Dara
“Halo?” “Mama masih di kantor?”“Hm, sebentar lagi mama mau pulang, Dara. Kamu di mana?”“Aku juga masih di kantor,”“Terus? Ada perlu apa sama mama?”“Sepertinya ... nanti aku tidak bisa bergabung bersama kalian dalam acara memasak,”“Kenapa memangnya? Kamu tidak suka bereksperimen bersama kami?”“Ah! Bukan begitu, Ma. Masalahnya aku baru ingat kalau hari ini ada sebuah janji,”“Janji? Bersama klien?”“T-tidak, sebenarnya ini hanya janji makan siang saja, akan tetapi, temanku ini seorang publik figur yang jarang pulang ke tanah air. Jadi, aku merasa harus meluangkan waktuku untuk bertemu dan bertukar kabar dengannya,”“Teman kamu sekarang banyak sekali, ya? Mama saja tidak pernah berkumpul dengan teman-teman Mama gara-gara sibuk. Tapi tidak apa-apa. Asalkan kami baik-baik mama tentu akan mengizinkan. Nanti mama akan jelaskan pada tante Rissa,”“Terima kasih, Ma!”“Hm, mama sempat berpikir kamu akan bertemu Sagara, loh,”“Maksudnya?”“Tadi Sagara juga izin tidak ikut eks
"Delion! Jangan melihatnya! Apakah kamu tidak berdosa menikmati milik wanita lain di saat kamu sendiri punya istri?" "Cih! Kamu berharap aku tertarik dengan milik bidadari vintage itu? Istriku lebih baik dari segala aspek," "Aku bahkan tak berani menggunakannya untuk berfantasi." "Kupikir ... semua pria akan birahi salahkan disuguhi ketelanjangan," "Umumnya memang begitu, tapi bukan berarti tidak ada beberapa pria yang menolaknya. Lagi pula, jangan meragukan keprofesionalanku. Sebelum ini, aku bahkan pernah bersembunyi di bawah kolong ranjang pasangan yang sedang memadu kasih," "Dasar gila!" "Ya, memang segila itu dunia investgasi." "Ngomong-ngomong, Dara. Akan kamu gunakan untuk apa bukti ini?" "Bukan untuk apa-apa. Aku hanya ingin membuktikan sendiri bagaiman gilanya Sri Rahmi," "Lihat? Mereka semakin liar sja," "Pernahkah ... kakak berfantasi kepada pria lain, kecuali aku dan suami kakak? Ohh! Emhh!" "Pernah ... banyak sekali pria-pria muda yang menjadi objek fantasiku
“Delion?”“Hm,”“A-apa aku salah lihat?“Tidak, memang itulah kenyataannya, Dara.”“As-hmmph!”“Hmphmph! Lepas!”“Kamu gila! Apa yang kamu lakukan, Sialan!”“Mulutmu!” “ Bisakah kamu mengendalikan muncungmu itu? Bagaimana kalau kita ketahuan!”“Hei, cecunguk! Apa kamu lupa kalau mobil kita kedap suara dan tidak tembus pandang?”“O-oh, maaf,”“Sial! Kamu merusak moodku!”“Lah? Kenapa malah menyalahkanku? Dari awal, kan memang suasana hatimu sudah buruk. Ingat! Kamu sendiri yang sudah memaksa untuk ikut,”“Memangnya salah kalau aku mau ikut?”“Tidak salah! Yang slah adalah Sagara karena membuatmu patah hati—”“Jangan menyebut namanya!”“Nah, kan! Penyebab utama moodmu rusak karena hubungan kalian. Aih! Gara-gara kamu galau malah mengajak ribut satu dunia,”“Sudahlah! Kita fokus saja menyelidiki Sri Rahmi!”“Loh? Ke mana dia?”“Cih! Gara-gara bertengkar, kita malah kehilangan jejaknya!”“Mungkin—”Brak!“Astaga!”“Delion! Itu—”“Syutt! Kita tak perlu mencari-cari m
Dara terburu-buru menuruni tangga dengan wajah polosnya. Begitu membaca pesan dari Delion Sunarija, Dara mempercepat tempo langkahnya. Sebuah setelan serba hitam yang dipakainya berhasil membuat Sukma Wijayakusuma mengernyit melihat keanehan outfitnya.“Kamu mau ke mana, Dara?” tanya ibu satu anak itu sembari mengamati anaknya dengan alis berkerut. Ini sudah malam hari, kira-kira ke mana anaknya akan pergi?Dara terdiam sejenak sebelum berbalik menghadap ibunya. “Aku ada kepentingan dengan teman, Ma."Sukma menyangga wajahnya dengan tangan. Ia pandangi sang putri yang tengah meremas ujung pakaian itu dengan pandangan tertarik. “Teman? Apakah itu Sagara?” “Tidak mungkin!” Dara terlonjak ketika mendengar suara menyentak yang berasal dari belakangnya. Ketika menoleh ia mendapati wajah sang paman yang terpampang nyata.“Om kenapa, sih?! Datang-datang main menyelonong saja!" sewot Dara dengan wajah garangnya. Perempuan itu memilih duduk di dekat ibunya sembari mengecek ponselnya.Hendra