“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.
Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.
“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.
Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”
Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk seorang bocah asing yang terus menangis memanggilku Mommy… padahal aku sendiri baru saja dibuang dari keluarga yang menolak kehadiranku.
“Jangan pergi lagi, Mommy… jangan tinggalin aku…,” tanganku mulai bergerak, mengusap lembut punggung bocah itu, dan membiarkan perasaan ini larut bersama dengan tatapan sekitar yang mulai melirik ke arahku, sama sepertinya, entah kenapa, di pelukan anak ini, rasanya seperti menemukan kembali rumah yang selama ini kurindukan? Apa yang harus kulakukan? Aku baru saja diterima kerja hari ini, dan sekarang malah dipeluk bocah yang bahkan tak kukenali asal usulnya.
Tangisannya seperti gema dari ruang kosong yang sudah lama ada di dalam hatiku. Ruang kosong yang seharusnya dipenuhi suara tawa anakku sendiri, seandainya saja aku bisa mengandung … aku pasti ... aku segera menggelengkan kepala, tak ada takdir yang lebih indah dari pada takdir yang dituliskan yang maha kuasa kepadaku.
“Kenzo! Aduh, Nak, kamu bikin Suster panik!” ujar seorang perempuan dengan seragam babysitter yang muncul dari balik tikungan dengan langkah yang tergesa, nafasnya tersengal, sementara wajahnya terlihat cemas.
“Maaf, Bu … maaf sekali lagi,” katanya buru-buru sambil mencoba menarik tubuh bocah itu dari pinggangku. “Kenzo … ayo, Nak. Lepasin dulu Tante ini, tantenya bukan Mommy kamu.”
Namun bocah itu justru semakin erat memelukku. “Enggak! Dia Mommy! Jangan bohongin aku lagi! Mommy balik buat aku! Suster nggak boleh misahin aku sama Mommy!” ucapnya bersikekeuh.
Aku semakin panik. Jemariku refleks menepuk-nepuk punggung mungilnya, mencoba menenangkan meski hatiku sendiri semakin kacau. “Sayang… dengerin Tante, ya, Tante bukan Mommy kamu, nanti pasti Mommy kamu nemuin kamu, kok…” suaraku pecah, parau, tapi semakin kujelaskan, semakin ia menangis.
Babysitter itu makin terlihat gugup, menoleh ke arah belakang dengan wajah ketakutan. “Ya Tuhan … kalau Tuan tahu bisa marah besar…” gumamnya hampir tak terdengar.
“Mommy katanya pergi sebentar aja, kata Daddy, Mommy pasti balik lagi buat nemuin aku, tapi kok lama? Baru sekarang Mommy nemuin aku?”
Aku menatap susternya dengan wajah tak paham. “Ibunya ...,” ujarnya dengan menggelengkan kepala.
Jantungku mencelos, selaras dengan napasku yang semakin tercekat. Aku menatap bocah ini dengan pilu, “Sayang,” panggilku lembut, membuatnya mendongak. “Ibu kamu ...,” ujarku dengan tertahan.
“Kenzo,” panggil seseorang dengan suara dingin, dan membuat bulu kudukku meremang.
Aku mengangkat kepalaku perlahan, menoleh ke arah suara dan membuat pandangan kami bertemu. Lelaki itu … matanya menatapku tajam, penuh kewaspadaan, seolah kehadiranku di sini adalah sebuah kesalahan besar yang kubuat.
“Lepaskan,” ucapnya datar, tanpa meninggikan suara, tapi aura otoritasnya begitu menusuk jantungku.
Bocah itu justru semakin erat memelukku, tubuhnya bergetar. “Enggak, Daddy! Aku nggak mau! Aku mau Mommy!” tangisnya pecah makin keras, membuat beberapa pengunjung yang lewat, menghentikan langkahnya begitu saja.
Jantungku berdetak lebih kencang, aku seperti terjepit di antara dua dunia, sebuah pelukan seorang anak kecil yang menagih kasih dari ibunya, dan tatapan dingin ayahnya yang membuatku serasa sedang dihakimi atas kesalahan yang kulakukan.
“Maaf, Tuan… saya—saya bukan siapa-siapa. Anak ini tiba-tiba—”
“Saya tahu.” Jawabannya cepat, tegas, sekaligus dingin. “Tapi mulai sekarang, jauhkan tanganmu darinya.”
Tubuhku tersa kaku. Tanganku yang masih berada di punggung Kenzo mendadak terasa lemah. Aku ingin melepas, tapi bocah itu masih menempel, seakan hidupnya akan runtuh kalau aku pergi. Tetapi jika aku tak melepasnya, hidupku yang berada di ujung tanduk.
Babysitter di sampingku semakin menundukkan kepalanya, wajahnya pucat pasi. Sementara aku… aku hanya bisa menahan napas, merasakan bagaimana satu pertemuan aneh ini sudah mengacaukan segalanya di hari pertamaku bekerja.
“Kenzo.” Suara ayahnya terdengar lagi, kali ini lebih lembut. “Lepaskan.”
Bocah itu justru menggeleng keras, menolak permintaan ayahnya. “Enggak! Aku mau Mommy! Aku nggak mau ditinggal lagi!”
Tatapan dingin pria itu beralih ke arahku dan semakin menusukku. Sejenak, aku merasa seperti tersangka yang sedang diadili, meski aku sendiri bahkan tidak tahu apa salahku.
Aku mencoba menenangkan Kenzo, jemariku dengan ragu mengusap rambut hitamnya. “Sayang… kamu salah orang. Tante bukan Mommy kamu.” Suaraku sedikit bergetar, setengah karena panik, setengah karena sesak oleh tangisan anak itu.
“Aku hafal Mommy! Ini Mommy!” rengek Kenzo lagi, suaranya serak, membuat beberapa orang yang menyaksikan mulai berbisik-bisik.
Babysitter yang sedari tadi menunduk kini mulai memberanikan diri maju setengah langkah, berusaha meraih tubuh Kenzo, tapi bocah itu menepis tangannya dengan keras.
“Enggak! Aku mau Mommy! Aku nggak mau sama siapa pun!” jeritnya, histeris.
Aku bisa merasakan sorot mata dingin ayahnya tidak pernah lepas dariku. Ada sesuatu di balik tatapan itu—antara marah, curiga, dan… sekelebat luka yang tak bisa kusebutkan. Tanganku bergetar, tubuhku bimbang. Aku harus bagaimana? Melepaskan paksa Kenzo akan membuatnya trauma, tapi bertahan dalam pelukan ini jelas membuat suasana semakin keruh.
Pagi hari kembali menyapa, menampakkan cahaya matahari yang menembus melalui tipis tirai di jendela kamar. Aku baru saja selesai merapikan tempat tidur ketika suara langkah kecil terdengar dari luar kamarku. Pintu kamar terbuka dengan perlahan membuatku menoleh, di ambang pintu, menampakan wajah Kenzo yang masih setengah mengantuk, rambutnya berantakan, dan boneka kecilnya tergenggam erat di tangan mungilnya.“Monty ...,” panggilnya pelan sambil menyeret langkahnya masuk.Aku memaksakan senyum, walaupun masih terkejut dengan kedatangannya, lalu buru-buru berjongkok dan merentangkan tangan untuk menyambutnya. “Kenzo, udah bangun? Kenapa nggak sama Sus Rini?” tanyaku mengusap rambutnya.Bocah itu menggelengkan kepala, sementara matanya kembali berkaca-kaca. “Aku nggak mau pergi kalau Monty nggak ikut ...,” ujarnya dengan lirih.Aku kembali terdiam, hatiku tercekat melihat wajah mungil itu yang selalu menunjukkan ketulusan. “Kenzo ... kan semalem kamu udah janji sama Monty kalau kamu mau
Raynard menyipitkan matanya dan menatapku dari spion kecil, lalu menggelengkakn kepala. “Kalau kau tidak pantas, saya tidak akan pernah menawari kontrak itu. Kau hanya harus belajar untuk percaya ... entah pada dirimu, atau pada saya, dan orang lain.”Deg. Ada sesuatu yang menohok tepat di dadaku, kata ‘percaya’ yang selama ini aku sematkan pada keluargaku ... namun pada kenyataannya, mereka mengkhianatiku dengan rasa sakit yang luar biasa. Aku buru-buru memalingkan wajahku, berusaha menyembunyikan perasaan yang membuncah entah apa namanya.Tak lama kemudian keadaan mobil menjadi hening sampai pada akhirnya mobil berhenti tepat di halaman rumah. Aku buru-buru meraih tas kecilku dan menyelempangkan di pundak, sementara satu tanganku meraih tangan Kenzo untuk kugenggam, aku bersiap membuka pintu, tapi belum sempat aku membkanya, pintu di sampingku sudah lebih dulu terbuka dari luar membuatku sedikit terlonjak. Raynard berdiri di sana, dengan badan yang tegap dan tatapan dingin, tapi tan
“Pak Bayu,” panggil Raynard datar begitu melihat Pak Bayu memasuki ruangan yang sama seperti kemarin. “Saya yang membawa Safira ke sini. Mulai hari ini, dia tidak lagi bekerja di mall ini. Saya akan menyelesaikan semua urusannya dengan pihak Anda.”Pak Bayu tampak terperanjat, menoleh ke arahku dengan wajah kaget bercampur bingung. “S-Safira? Maksudnya ... kamu berhenti kerja?” tanyanya setengah tak percaya.Aku hanya bisa menundukkan kepalaku, dan jemariku meremas tangan kecil Kenzo lebih erat. Aku tak ingin mengatakan apapun, sungguh, aku tak ingin membuat masalah yang lebih buruk.“Kalau perlu, saya akan menebus kontraknya. Yang penting, mulai sekarang Safira bekerja di rumah saya,” jelas Raynard sekali lagi.Pak Bayu menatapku lekat-lekat, lalu buru-buru berbalik menatap Raynard. “Maaf Pak, tapi—Safira baru saja kami terima kemarin. Dia bahkan belum bekerja sehari penuh, kalau tiba-tiba langsung diambil begini ...,” jelas Pak Bayu terpotong, suaranya terdengar berat, lebih seperti
Aku menunduk kepala makin dalam, mencoba mencerna kata-katanya, sementara nafasku berhembus tak beraturan selaras dengan rasa tenang yang tak bisa kumiliki.“Kau tidak berhutang budi pada mereka,” ujar Raynard dengan tegas. “Kau membutuhkan pekerjaan, sementara mereka butuh pekerja—sederhana. Tidak ada yang perlu kau sesali dengan keputusan yang akan kau ambil.”Aku mengangkat kepalaku sedikit, menatapnya dengan penuh keraguan. “Tapi ... bukankah itu keterlaluan, Tuan? Saya merasa seperti orang yang ... tidak tahu diri,” cicitku mengeluarkan keresahan.Rahang Raynard mengeras begitu ia mendengar ucapanku, lalu ia menggeleng dengan pelan. “Bukan kau yang tidak tahu diri, Safira. Saya yang tidak akan membiarkan seseorang yang kubutuhkan ... terbuang sia-sia.” Tangannya bergerak membuka laci meja dan mengeluarkan sebuah map berwarna hitam, terdengar begitu misterius.“Saya sudah menyiapkan kontrak untukmu,” ucapnya singkat.Aku menatap map itu dengan ragu, lalu menatap pria itu sejenak
Tubuhku langsung menegang begitu mendengar ucapannya, refleks aku menatap wajahnya dan membuat sendok di tanganku hampir terlepas. “D-dengan saya, Tuan?” tanyaku tergagap.Raynard hanya mengangguk sekali. “Ya. Denganmu.”Aku menganggukkan kepala cepat, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang jelas terpampang nyata di wajahku. “B-baik, Tuan,” sahutku lirih.Begitu kami semua selesai menyantap makanan, Kenzo buru-buru berlari kecil ke ruang keluarga sambil membawa mainannya dan berteriak memanggil Sus Rini. Tersisa aku dan Raynard yang sama-sama dilanda rasa canggung, tanganku bergerak ikut merapikan piring, tapi sebelum membawanya ke dapur, Raynard kembali bersuara.“Letakkan saja. Biar orang rumah yang membereskan,” ujarnya singkat.Aku terdiam sejenak, kemudian menunduk patuh. “Baik, Tuan ....”“Sekarang ikut saya.”Aku mengangguk sekali lagi, kini langkah kakinya terdengar mantap menuju ke lantai atas, sementara aku masih menatap punggungnya yang begitu tegap.“Ehm,” dehamnya membua
“Mulai sekarang, makan sendiri,” ujarnya datar, tapi terdengar tegas. “Biar Monty-mu itu bisa makan juga,” tambahnya terdengar ketus.Aku terperangah, sendok di tanganku sampai berhenti di udara karena rasa terkejut yang tak bisa aku tahan. Rasanya sulit membedakan apakah nada suaranya sebuah perintah, atau justru sebagai sindiran. Sementara Kenzo hanya terdiam beberapa detik, matanya melirikku seolah meminta perlindungan.“Ta-tapi ... Daddy, aku kan suka disuapin sama Monty ...,” gumam Kenzo dengan suara kecil.Tetapi, tatapan Raynard makin terlihat tajam seolah ia tak mengingkan anaknya itu membantah. “Kenzo,” hanya satu kata yang terucap memang, tapi nadanya cukup untuk membuat bocah itu meringkuk ke arahku. Perlahan, ia meraih tanganku yang masih tergeletak di atas meja, menggenggamnya erat seolah mencari perlindungan.Aku kembali membeku, mataku tak berani menatap Raynard yang jelas-jelas menyadari tindakan anaknya itu. Jantungku berdegup keras, ada rasa takut sekaligus bingung t