공유

Bab 6 - Aku Mau Mommy!

작가: Anidania
last update 최신 업데이트: 2025-08-09 11:16:39

“A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.

Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.

“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.

Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”

Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk seorang bocah asing yang terus menangis memanggilku Mommy… padahal aku sendiri baru saja dibuang dari keluarga yang menolak kehadiranku.

“Jangan pergi lagi, Mommy… jangan tinggalin aku…,” tanganku mulai bergerak, mengusap lembut punggung bocah itu, dan membiarkan perasaan ini larut bersama dengan tatapan sekitar yang mulai melirik ke arahku, sama sepertinya, entah kenapa, di pelukan anak ini, rasanya seperti menemukan kembali rumah yang selama ini kurindukan? Apa yang harus kulakukan? Aku baru saja diterima kerja hari ini, dan sekarang malah dipeluk bocah yang bahkan tak kukenali asal usulnya.

Tangisannya seperti gema dari ruang kosong yang sudah lama ada di dalam hatiku. Ruang kosong yang seharusnya dipenuhi suara tawa anakku sendiri, seandainya saja aku bisa mengandung … aku pasti ... aku segera menggelengkan kepala, tak ada takdir yang lebih indah dari pada takdir yang dituliskan yang maha kuasa kepadaku.

“Kenzo! Aduh, Nak, kamu bikin Suster panik!” ujar seorang perempuan dengan seragam babysitter yang muncul dari balik tikungan dengan langkah yang tergesa, nafasnya tersengal, sementara wajahnya terlihat cemas.

“Maaf, Bu … maaf sekali lagi,” katanya buru-buru sambil mencoba menarik tubuh bocah itu dari pinggangku. “Kenzo … ayo, Nak. Lepasin dulu Tante ini, tantenya bukan Mommy kamu.”

Namun bocah itu justru semakin erat memelukku. “Enggak! Dia Mommy! Jangan bohongin aku lagi! Mommy balik buat aku! Suster nggak boleh misahin aku sama Mommy!” ucapnya bersikekeuh.

Aku semakin panik. Jemariku refleks menepuk-nepuk punggung mungilnya, mencoba menenangkan meski hatiku sendiri semakin kacau. “Sayang… dengerin Tante, ya, Tante bukan Mommy kamu, nanti pasti Mommy kamu nemuin kamu, kok…” suaraku pecah, parau, tapi semakin kujelaskan, semakin ia menangis.

Babysitter itu makin terlihat gugup, menoleh ke arah belakang dengan wajah ketakutan. “Ya Tuhan … kalau Tuan tahu bisa marah besar…” gumamnya hampir tak terdengar.

“Mommy katanya pergi sebentar aja, kata Daddy, Mommy pasti balik lagi buat nemuin aku, tapi kok lama? Baru sekarang Mommy nemuin aku?”

Aku menatap susternya dengan wajah tak paham. “Ibunya ...,” ujarnya dengan menggelengkan kepala.

Jantungku mencelos, selaras dengan napasku yang semakin tercekat. Aku menatap bocah ini dengan pilu, “Sayang,” panggilku lembut, membuatnya mendongak. “Ibu kamu ...,” ujarku dengan tertahan.

“Kenzo,” panggil seseorang dengan suara dingin, dan membuat bulu kudukku meremang.

Aku mengangkat kepalaku perlahan, menoleh ke arah suara dan membuat pandangan kami bertemu. Lelaki itu … matanya menatapku tajam, penuh kewaspadaan, seolah kehadiranku di sini adalah sebuah kesalahan besar yang kubuat.

“Lepaskan,” ucapnya datar, tanpa meninggikan suara, tapi aura otoritasnya begitu menusuk jantungku.

Bocah itu justru semakin erat memelukku, tubuhnya bergetar. “Enggak, Daddy! Aku nggak mau! Aku mau Mommy!” tangisnya pecah makin keras, membuat beberapa pengunjung yang lewat, menghentikan langkahnya begitu saja.

Jantungku berdetak lebih kencang, aku seperti terjepit di antara dua dunia, sebuah pelukan seorang anak kecil yang menagih kasih dari ibunya, dan tatapan dingin ayahnya yang membuatku serasa sedang dihakimi atas kesalahan yang kulakukan.

“Maaf, Tuan… saya—saya bukan siapa-siapa. Anak ini tiba-tiba—”

“Saya tahu.” Jawabannya cepat, tegas, sekaligus dingin. “Tapi mulai sekarang, jauhkan tanganmu darinya.”

Tubuhku tersa kaku. Tanganku yang masih berada di punggung Kenzo mendadak terasa lemah. Aku ingin melepas, tapi bocah itu masih menempel, seakan hidupnya akan runtuh kalau aku pergi. Tetapi jika aku tak melepasnya, hidupku yang berada di ujung tanduk.

Babysitter di sampingku semakin menundukkan kepalanya, wajahnya pucat pasi. Sementara aku… aku hanya bisa menahan napas, merasakan bagaimana satu pertemuan aneh ini sudah mengacaukan segalanya di hari pertamaku bekerja.

“Kenzo.” Suara ayahnya terdengar lagi, kali ini lebih lembut. “Lepaskan.”

Bocah itu justru menggeleng keras, menolak permintaan ayahnya. “Enggak! Aku mau Mommy! Aku nggak mau ditinggal lagi!”

Tatapan dingin pria itu beralih ke arahku dan semakin menusukku. Sejenak, aku merasa seperti tersangka yang sedang diadili, meski aku sendiri bahkan tidak tahu apa salahku.

Aku mencoba menenangkan Kenzo, jemariku dengan ragu mengusap rambut hitamnya. “Sayang… kamu salah orang. Tante bukan Mommy kamu.” Suaraku sedikit bergetar, setengah karena panik, setengah karena sesak oleh tangisan anak itu.

“Aku hafal Mommy! Ini Mommy!” rengek Kenzo lagi, suaranya serak, membuat beberapa orang yang menyaksikan mulai berbisik-bisik.

Babysitter yang sedari tadi menunduk kini mulai memberanikan diri maju setengah langkah, berusaha meraih tubuh Kenzo, tapi bocah itu menepis tangannya dengan keras.

“Enggak! Aku mau Mommy! Aku nggak mau sama siapa pun!” jeritnya, histeris.

Aku bisa merasakan sorot mata dingin ayahnya tidak pernah lepas dariku. Ada sesuatu di balik tatapan itu—antara marah, curiga, dan… sekelebat luka yang tak bisa kusebutkan. Tanganku bergetar, tubuhku bimbang. Aku harus bagaimana? Melepaskan paksa Kenzo akan membuatnya trauma, tapi bertahan dalam pelukan ini jelas membuat suasana semakin keruh.

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 7 - Rumah Kedua

    Ayahnya kini sudah berdiri tepat di depan kami. Sorot matanya begitu menusuk, aura dinginnya membuatku semakin sulit bernapas. “Lepaskan dia,” perintahnya dengan suara rendah.Tanganku terayun di udara, sementara bibirku hendak merespon ucapanya, tapi Kenzo lebih dulu menjawabnya, “Nggak! Aku nggak mau! Aku takut kalau Mommy pergi lagi … Aku nggak bakal lepasin!”Ayahnya menarik napas berat, rahangnya terlihat semakin mengeras, jelas ia tengah menahan sesuatu di dalam dadanya. Tangannya terulur, hendak memisahkan kami dengan paksa. Namun, begitu jemarinya menyentuh bahu kecil Kenzo, bocah itu kembali menjerit histeris, memelukku lebih erat lagi, seolah tubuh mungilnya menolak disentuh siapa pun kecuali aku. “Nggak! Aku mau Mommy!”Aku semakin terpaku dibuatnya, otakku seakan tak bisa mencari jalan keluar dari situasi ini, mataku hanya bisa menatap balik tatapan dingin pria itu, sementara hatiku sendiri semakin diremuk oleh tangisan anak kecil yang bahkan baru saja kukenal.Tanganku te

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 6 - Aku Mau Mommy!

    “A-aku … Mommy?” bisikku, bingung, tatapanku menoleh kanan-kiri mencari siapa orangtuanya.Bocah itu… entah kenapa tatapannya begitu menusuk hati, seolah aku benar-benar orang yang ia cari selama ini. “Mommy … jangan tinggalin aku lagi…” rengeknya dengan memeluk pinggangku erat.“Sayang … kamu salah orang …” bisikku pelan, tapi justru kalimat itu berhasil membuat tangisnya pecah semakin keras. Air mataku jatuh tanpa bisa kucegah. Jemariku gemetar saat menyentuh rambut hitamnya yang begitu lebat. “Maafkan Tante, Nak… Tante bukan orang yang kamu cari…,” gumanku dengan suara parau.Tapi bocah itu menggeleng kuat-kuat, tangannya masih menempel erat pada tubuhku, seolah tengah menyampaikan rasa rindunya pada sosok yang ia panggil Mommy. “Enggak! Kamu Mommy! Aku hafal tubuh Mommy! Aku hafal wajah Mommy!”Aku memejamkan mataku sejenak, kata-katanya menusuk begitu dalam, seakan ia benar-benar yakin kalau aku adalah ibunya. Sementara itu, aku hanya bisa berdiri di tengah-tengah mall, memeluk s

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 5 - Mommy?

    Pak Bayu berdeham, lalu terlihat menuliskan sesuatu di sebuah buku besar, setelah beberapa saat, ia mengangguk seraya mengembalikan KTP milikku. “Mulai kerja hari ini, ya. Seragam nanti diambil di gudang. Kamu langsung ikut Bu Ratih dulu, belajar cara kerjanya gimana.”Aku terbelalak, nyaris tak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. “S-sekarang, Pak?” tanyaku terbata.“Ya, sekarang,” ujarnya menganggukkan kepala. “Mall ini sudah mau soft opening besok pagi, jadi kami butuh tenaga tambahan segera buat memastikan pengunjung tetap merasa aman dan nyaman. Kalau kamu bersedia, langsung bisa kerja sekarang juga,” jawabnya dengan tenang, seolah itu hal paling biasa di dunia.Aku menangkupkan tangan di dada, menahan haru yang terus menyerusuk masuk. “Terima kasih banyak, Pak … terima kasih, Bu Ratih …,” ucapku menatap keduanya bergantian.Bu Ratih menepuk bahuku dan tersenyum hangat. “Lihat, Nak? Tuhan nggak pernah tidur untuk membantu setiap hamba-Nya. Jalannya akan selalu ada, bahkan

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 4 - Harapan Baru

    “Nak … kamu kenapa? Kok nangis di sini?” suara lembut seorang ibu paruh baya menembus kabut pilu di hatiku.Aku menoleh pelan ke arahnya, sementara tanganku buru-buru mengusap pipi dan menyeka air mata secepat mungkin. “Saya … baru aja diusir, Bu …” jawabku dengan nada tercekat. “Ak-akta cerai,” tambahku memperlihatkan selembar kertas, satu-satunya barang yang kubawa dari rumah itu.Ibu itu tersenyum samar, lalu menepuk pelan punggungku. “Sabar ya, Nak. Hidup memang kadang nggak adil buat kita. Tapi bukan berarti hidup kamu harus berhenti di sini. Kamu masih muda, masih bisa kerja, dan masih bisa berdiri lagi buat buktiin kalo kamu kuat menghadapi dunia yang nggak adil ini.”Aku menundukkan kepala, menatap kaki yang sudah membawaku melangkah berjam-jam dan jauh dari rumah hingga ke tempat ini. “Tapi saya nggak punya siapa-siapa, Bu. Saya nggak tau harus kemana....”“Kebetulan, di mall tempat Ibu kerja, masih ada lowongan kerja buat office girl. Kerjanya bersih-bersih aja, ringan kok .

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 3 - Akta Cerai

    "Betul!" pekik ibu mertua lantang. "Saya yang udah ngurus semuanya! Mulai hari ini kamu BUKAN lagi istri anak saya! Kamu itu aib bagi keluarga ini, Safira! Dan saya nggak mau satu atap lagi sama orang kayak kamu!" murka ibu mertua tanpa mempedulikan perasaanku.Tubuhku terduduk di lantai yang terasa dingin, serasa semua otot-otot dan tulangku melunak, mataku menatap penuh harap pada ibu mertua. "Bu … to-long … jangan … saya … saya masih istri sah Mas Alvin …," bisikku menahan isak. Rasanya, aku belum siap menghadapi situasi seperti ini seorang diri setelah semua yang aku korbankan untuk keluarga ini.Ibu mertua bertolak pinggang, dan tatapan yang begitu nyalang. "SAH apanya?!" potongnya tak terima. "Kalau Alvin sendiri udah rela tanda tangan cerai dan ngurus semuanya, buat apa kamu masih bertahan di sini?! Harusnya kamu bilang seperti itu ketika dalam persidangan ... tapi, semuanya sudah telat, Safira!"Aku mengerjapkan mataku, menoleh sekali lagi ke arah suamiku, berharap ia memberi

  • Istri yang Kau Doakan Cepat Mati, Kini Jadi Istri Atasanmu   Bab 2 - Lenguhan Panjang

    Itu gerakan yang sama. Yang dia lakukan padaku saat dia bilang aku satu-satunya wanita di hatinya. Saat dia bilang cinta tak akan berubah. Tapi sekarang, semua itu dia bagikan … pada orang lain. Pada keluarganya sendiri.Aku berdiri mematung, dadaku naik-turun menahan amarah dan luka secara bersamaan. Tapi bibirku tak mampu mengeluarkan satu kata pun. Mataku mulai panas melihat adegan yang begitu menjijikan. Aku ingin berteriak! Ingin marah pada mereka, tapi ... aku tak memiliki tenaga. Aku hancur. Aku hancur!"Mas ... lebih dalam ...," desahan Nesya mengiris gendang telingaku seperti pecahan kaca, tanganya menggelayut pada tengkuk suamiku dan kakinya mengapit badan suamiku, lidah mereka saling beradu satu sama lain, bertukar saliva tanpa merasa bersalah.Seakan menuruti permintaannya, suamiku menggerakkan badannya lebih cepat, ia memompa miliknya begitu semangat seakan ini menjadi permainan terakhir untuk mereka, "Kamu milikku malam ini … eh, pagi ini," ia terkekeh lalu menghentakkan

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status