Share

Part 2 - Diam-diam Menghanyutkan

"Kenapa kamu dari tadi diam, Frani? Ada apa? Tidak suka makanannya?" tanya Gani dengan raut wajah khawatir. Mereka duduk berdua, menikmati sarapan pagi seadanya. Oseng tempe kecap dan sambal. Hanya itu yang bisa Frani sajikan dengan sisa uang laundry yang tidak seberapa.

Semalaman Frani tidak bisa tidur, kepalanya pusing. Dia bahkan berpindah ke sofa karena tidak bisa menghadapi suaminya. Bayangan buruk itu terus menghantuinya.

Frani tersenyum kecut, "Tidak apa-apa, Mas."

Mas? Frani jijik mendapati dirinya memanggil Gani begitu.

"Istirahatlah kalau capek."

"Kalau begitu, uang untuk promil besok uang kamu ya, Mas? Selama ini kan aku jarang minta uang."

Wajah manis Gani tiba-tiba berubah, "Maksudnya sekarang kamu perhitungan?"

"Bukan, Mas. Uang laundry sudah terpakai untuk kebutuhan sehari-hari dan juga kebutuhan ibu bapak. Belum lagi mesin cuci yang rusak kemarin. Gaji karyawan dan beli makanan mereka. Aku tidak pernah minta uang sama kamu meskipun aku kekurangan dana, Mas. Promil yang sudah-sudah juga uang laundry. Untuk besok aku hanya minta kamu buat talangi dulu. Kalau aku ada lebihan, aku ganti," jelas Frani panjang lebar. Dia membutakan mata hatinya karena demi apapun dia ingin punya anak. Apalagi tekanan dari keluarga Gani yang seolah-olah dirinya tidak bisa memberikan keturunan.

Ada sebab kenapa pasangan suami istri belum diberi keturunan. Antara si istri yang bermasalah atau suami. Keduanya turut andil. Tapi kebanyakan yang disalahkan adalah wanita.

Jika saja orangtua Frani masih ada, dia bisa berkeluh kesah. Dia hanya sebatang kara di dunia ini. Tapi dia bukan menumpang hidup dengan suaminya. Dia bisa berjuang sendiri. Dengan tangannya yang mungil, dia berhasil menghidupi dua keluarga.

Salahkah dia meminta uang dari suaminya yang sekarang sudah beralih profesi sebagai ojek online?

Gani tampaknya tidak terima, "Kamu seperti tidak tahu diri. Kamu tahu kan rumah ini hasil kerja keras siapa? Orangtuaku, Frani. Belum lagi bayar cicilan rumah yang menggunung. Jangan lupa motor juga. Semuanya dari aku dan keluargaku. Kamu hanya diminta membantu sedikit karena keuangan kami sedang down, tapi seolah kamu harus menanggung beban berat."

Tentu saja berat!

Satu tulang punggung harus membagi waktu untuk semua kebahagiaan keluarga. Padahal untuk program hamil dibutuhkan ketenangan pikiran dan juga tidak boleh terlalu lelah.

Selalu itu saja yang diungkit oleh suaminya. Bayar cicilan rumah yang hanya dua tahun, lalu motor yang tidak pernah dia pakai sama sekali. Tapi dirinya? Lima tahun harus berjuang untuk membuat perut tetap terisi. Lalu gunanya suami apa?

"Mas, yang aku bicarakan di sini bukan keluarga kamu, tapi kamu. Aku minta uang sama kamu. Apa salah?" tanya Frani kesal.

Frani hanya minta keringanan. Di tengah pikirannya yang berkecamuk antara perselingkuhan suaminya dan program kehamilan, dia ingin suaminya mengambil alih.

Watak Gani memang keras. Sebelum menikah Frani sudah mengetahuinya. Frani mencintai Gani dari sisi sifatnya karena dulu bapaknya tidak pernah bisa tegas jika ada masalah. Ibunya yang sering terkena imbasnya. Jadi bisa dibilang Frani menilai seseorang yang bertolak belakang dari orangtuanya.

Tapi semakin ke sini, watak kerasnya tidak bisa dikendalikan.

"Aku belum punya uang."

Singkat, padat dan teramat jelas.

Frani menghela napas lelah. Dia menaruh sendoknya ke atas piring, menyudahi sarapan yang tidak berguna.

"Ya sudah, Mas. Kalau ada uang kita lakukan sesuai jadwal dokter, tapi kalau tidak ada kita undur saja."

"Kamu kenapa bisa berpikir seperti itu? Kamu tidak mau punya anak?"

"Siapa yang tidak mau punya anak?" Tiba-tiba suara wanita menginterupsi.

Frani sudah menduga jika mertuanya pasti akan datang disaat mereka sedang makan.

Sarah, wanita yang terbilang masih muda karena belum menginjak usia setengah abad, duduk di kursi samping Gani, "Pagi-pagi sudah membahas masalah itu."

"Ini, Bu. Frani mau menunda progam hamil. Matahari belum meninggi tapi sudah bahas uang dan uang. Dia mengungkit masalah ibu dan bapak makan di sini. Padahal rumah ini juga rumah kalian kan?" ucap Gani, cari muka.

Keluarganya tinggal di sebelah rumah mereka. Lebih tepatnya satu rumah namun dibagi dua dengan alasan penghematan budget. Biaya listrik hanya Frani yang membayarnya. Mereka bersedia membayar hanya satu dua bulan saja selebihnya lepas tangan.

Sarah menoleh sengit, "Oh, sudah mulai berhitung? Benar saja. Lima tahun bukan waktu yang singkat untuk seseorang menerima kebaikan orang lain. Kalau kamu jadi ibu, kamu pasti malu. Punya menantu tapi belum juga punya anak. Ibu dikatai menantu ibu mandul. Kalau kamu apa bisa terima? Kalau ibu jadi Gani, mending cari istri kedua yang bisa memberikan anak. Untuk apa lama-lama bertahan dengan satu wanita? Sudah tidak bisa menghargai suami dan jerih payah mertua, masih tidak mau berusaha program hamil. Maunya apa coba?"

Dengan santainya Sarah mengambil nasi dan lauk di hadapan Frani. Manusia macam apa wanita itu? Menghina menantu sendiri dan mendukung anaknya menikah lagi. Dilihatnya Gani tampak tersenyum simpul menanggapi ucapan ibunya.

Frani terjepit. Napasnya terasa menyiksa dirinya. Dia ingin menyumpahi mertuanya karena berpikir seperti itu. Baguslah lagi apa yang diinginkan akan segera terkabul. Tapi Frani belum punya bukti apapun agar dia tidak lagi disudutkan.

"Kamu harusnya bersyukur karena Gani masih mau menerima kamu. Kalau orang lain pasti sudah diceraikan. Jangan merasa paling benar. Ibu bicara begini demi kebaikan kalian," ucap Sarah kembali. Mulutnya sudah penuh makanan tapi dia sibuk berkomentar.

Frani rasa dia tidak akan sanggup membela apapun. Dia harus menemui Celia, dia ingin tahu apa yang suaminya janjikan padanya sampai dia bisa menghalalkan segala cara. Wanita itu bangkit, "Aku ke toko dulu, Mas, Bu."

Sarah melengos ketika Frani mengulurkan tangannya, "Kerja yang benar. Jangan main-main!"

Luka hati yang tidak pernah bisa sembuh hanya dalam beberapa hari, kemungkinan besar akan semakin bertumbuh.

"Hari ini kamu mau mampir ke toko, Mas?" tanya Frani memastikan.

"Tidak. Untuk apa ke sana? Selama ini aku kan kerja lembur, tidak ada kesempatan untuk menjemput kamu. Atau kamu mau dijemput?"

Frani lagi-lagi menelan pil pahitnya, "Tidak perlu, Mas."

'Percuma karena yang kamu tuju juga bukan aku' batin Frani.

***

"Celia sudah datang?" tanya Frani pada Leni yang bersiap untuk membuka toko.

Leni menggeleng, "Katanya libur hari ini, Bu. Ada kepentingan pribadi. Dia belum bilang pada ibu ya?"

"Belum," ucap Frani perlahan. Pikirannya berkelana kemana-mana. Mungkinkah Gani dan Celia bertemu di tempat lain? Apa mereka belum puas dengan semalam?

Leni menatap Frani dengan ragu-ragu. Dia seperti ingin bicara tapi takut salah bicara. Frani tidak bisa melihat ekspresi kebingungan dari karyawannya itu karena dia sibuk mendata ulang barang yang masuk pagi ini.

"Kalau boleh saya tahu, apa Celia punya pacar? Usianya sudah hampir dua puluh tiga tahun, pasti punya seseorang yang dia suka," ucap Frani. Sebagai bos dia hanya ingin tahu, tidak lebih. Itulah yang ingin dia perlihatkan pada Leni.

"Ada, Bu. Kekasih gelap, sudah beristri. Hubungan mereka terlarang, Bu."

Deg!

Frani seakan digiring untuk melihat ke arah sana. Apa jangan-jangan yang dimaksud adalah suaminya?

"Sudah berapa lama mereka berhubungan? Apa tidak takut karma?" Suara Frani terdengar bergetar, tapi dia takut Leni menyadarinya. Wanita itu mencengkeram ujung bajunya karena tidak kuasa menahan diri.

"Tidak, Bu. Saya pernah bicara padanya tentang karma tapi dia malah tertawa. Ibu hati-hati saja. Takutnya dia juga melakukan hal yang sama pada Pak Gani." Leni menatap Frani dengan cara yang berbeda.

Frani menekan dadanya yang terasa sakit. Selama itu mereka berhubungan di belakangnya tapi dia tidak pernah menyadarinya? Kenapa bisa? Apa yang Frani lakukan selama ini sampai tidak tahu apapun?

Bodoh kamu, Frani! Manusia brengsek yang bermain dengan dua wanita tidak akan pernah mau punya anak.

'Apa yang harus aku lakukan, Tuhan?'

***

Comments (4)
goodnovel comment avatar
Alnayra
jangan jangan Celia itu sasimo lagi ......
goodnovel comment avatar
Al Vieandra
semangat frani
goodnovel comment avatar
Nur Cahaya
Frani, kuat ya.
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status