Rumah sakit pusat kota!
Seorang wanita cantik meremas tangannya sendiri dengan kuat saat duduk berhadapan dengan seorang dokter yang baru saja memeriksa kesehatannya. Dia, Nayara Alisha Widjaya. Wanita cantik berwajah lembut, sorot mata yang teduh, dan bertubuh tinggi bak seorang model. "Selamat, Nona. Anda hamil!" Deg! Jantung Nayara langsung berdebar hebat ketika kata 'hamil' keluar dari bibir dokter laki-laki yang tadinya memeriksa dirinya. "A-aku hamil? Benarkah?" Nayara baru tersenyum dan terlihat bahagia setelah terdiam dalam rasa terkejutnya selama beberapa saat. Kehamilan ini sudah Nayara nantikan selama hampir dua tahun, jelas Nayara sangat senang dengan kabar ini. Dokter itu tersenyum sambil memberikan selembar kertas, sebuah laporan kesehatan pada Nayara. "Anda bisa cek sendiri, Nona!" Dokter itu sangat mengenal Nayara, dia adalah istri dari pemilik rumah sakit ini. Jadi wajar Nayara begitu dilayani dengan baik di tempat ini. Nayara menerima kertas itu, senyum merekah saat melihat sendiri dirinya dinyatakan positif hamil. Senyum Nayara tak luntur, wanita itu menunduk sambil mengusap pelan perutnya yang masih rata. "Terima kasih, Dokter." Nayara tahu caranya menghargai orang lain, dia berterima kasih dengan sopan meskipun Dokter itu adalah bawahan suaminya. "Sama-sama, Nona. Saya ikut bahagia," balas Dokter itu dengan senyuman. "Kalau gitu saya permisi dulu, Dok." Setelah basa-basi sesaat, Nayara keluar dari ruangan Dokter dengan senyum yang lebar sambil menatap kertas hasil pemeriksaannya. "Alvano pasti senang banget kalau tahu aku hamil." Nayara langsung mengambil ponsel dari dalam tas lalu menghubungi suaminya itu. Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau cobalah beberapa saat lagi! "Kok nggak aktif?" Nayara mengerutkan alisnya. Meskipun nomor handphone Alvano tidak aktif, Nayara tidak patah semangat. Nayara mengirimkan pesan suara untuk Alvano. Nayara tahu, suaminya itu adalah seorang pengusaha yang sibuk. Jadi wajar kalau tidak bisa dihubungi di jam kerja seperti ini. Mungkin saja Alvano sedang meeting, bisa jadi. Klik! "Al, kalau kamu ada waktu pulang dulu sebentar malam ini. Aku punya kejutan spesial untuk kamu," kata Nayara pada pesan suara itu. Bahkan, di sepanjang perjalanan menuju parkiran rumah sakit Nayara masih terus tersenyum karena kehamilannya. "Mungkin aku ke rumah Mama Papa dulu buat kasih kejutan ini, mereka pasti senang sebentar lagi akan punya cucu." Sesuai keinginannya, Nayara benar-benar mendatangi kediaman keluarga Widjaya. Nayara besar di keluarga ini karena dia merupakan putri tunggal keluarga Widjaya. Tak heran Nayara tumbuh menjadi wanita yang begitu lembut karena terbiasa dimanjakan dan perlakuan baik bak tuan putri sejak kecil. "Papa, Mama, Nayara punya kabar baik buat Papa sama Mama." Nayara langsung bicara dari arah pintu saat melihat kedua orang tuanya duduk di ruang tamu. Nayara bahkan tidak menyadari ada orang lain di sana saking fokusnya Nayara pada kebahagiaannya. Namun Nayara terdiam melihat tatapan sinis sang ibu serta seorang gadis seusianya duduk di tengah-tengah orang tuanya. "Siapa dia, Ma?" tanya Nayara dengan suara lembutnya. Carissa Widjaya, ibu Nayara langsung berdiri lalu--- Plak! Pipi Nayara tertoleh ke kiri saat ibu yang selama ini membesarkannya dengan kasih sayang menamparnya secara tiba-tiba. Nayara semakin terdiam, otaknya berpikir keras mencerna apa yang ibunya lakukan. Adakah dia telah melakukan kesalahan besar? Pikir Nayara. Secara selama ini Carissa tidak pernah kasar pada Nayara. "Jangan panggil aku Mama lagi! Aku bukan Mama kamu, Nayara!" Deg! Jantung Nayara langsung berdenyut sakit ketika mendengar kata itu keluar dari bibir sang ibu. Nayara memegang pipinya sambil menoleh pada Carissa dengan wajah bingung. "Katakan! Apa kamu bekerja sama dengan wanita brengsek itu untuk menipu kami?" bentak Carissa yang membuat Nayara semakin tak paham dengan situasi ini. "Ma!" Meskipun sudah dibentak, namun suara Nayara tetap lembut. "Apa yang Mama katakan? Nayara nggak paham, Ma." "Mama! Jangan salahkan, Kak Nara! Kak Nara dibesarkan di sini, dia pasti tidak mau mengakui statusnya yang merupakan putri palsu. Itu wajar, Ma. Kakak Nara butuh waktu." Atensi Nayara langsung teralihkan saat gadis bergaun hitam tadi menghampiri Carissa dan mengeluarkan kalimat-kalimat yang tidak Nayara mengerti sama sekali. "Apa maksud kamu? Apanya yang putri palsu?" tanya Nayara yang agak emosi kali ini. "Dasar palsu! Beraninya kamu berpura-pura menjadi putriku dan menipuku selama dua puluh dua tahun!" Carissa yang terlihat begitu marah melempar sebuah dokumen dan foto-foto kecil Nayara bersama seorang wanita yang tidak lain dan tidak bukan adalah musuh keluarga Widjaya. Nayara kembali terdiam. "Siapa dia?" Nayara benar-benar tidak tahu siapa yang ada di dalam foto itu. Dan mengapa dia bisa memiliki foto masa kecil dengan wanita itu? Bruk! "Jangan pura-pura tidak tahu, Nara!" Carissa mendorong Nayara sampai terjatuh ke atas lantai. "Carissa! Jangan terlalu kasar pada Nayara!" Dimas yang sejak tadi hanya diam, kini angkat bicara ketika istrinya mulai kasar pada Nayara. "DIAM KAMU!" Carissa tak segan-segan membentak Dimas. Dimas Widjaya adalah pemimpin keluarga ini, sayangnya Dimas terlalu menurut pada Carissa sampai tidak bisa berbuat apa-apa saat istrinya bertindak tak wajar. "Jika aku tahu dari awal bahwa kamu adalah anak wanita itu." Carissa kembali menunjuk Nayara yang masih terduduk di atas lantai. "Pasti aku sudah membunuhmu dari lama, Nayara!" "Ma!" Nayara mendongak menatap Carissa. Rasanya benar-benar sakit diperlakukan seperti ini oleh orang yang selama ini sangat ia sayangi. "Ibu kamu itu seorang wanita malam, Nayara. Kalian pasti bekerja sama untuk menggantikan identitas Vanya dengan kamu saat kalian masih kecil. Kamu hidup mewah di keluarga Widjaya, dengan tidak tahu dirinya menikah dengan Elvano," teriak Carissa sambil menunjuk-nunjuk Nayara yang masih terduduk dengan isi pikiran tak karuan. "Putri kandung Mama yang sangat malang." Suara Carissa jadi lirih dan sangat lembut saat menatap Vanya yang katanya adalah putri kandungnya yang asli. "Pasti selama ini kamu diperlakukan tidak baik oleh wanita tidak beres itu, kamu pasti hidup menderita dan hidup serba kekurangan." Carissa menggenggam kedua tangan Vanya penuh kasih sayang. Pastinya di sini, Carissa dan Dimas baru saja menerima bukti bahwa Nayara dan Vanya itu sengaja ditukar oleh Rina—mantan kekasih Dimas yang menyimpan dendam karena kala itu Dimas lebih memilih Carissa dibandingkan Rina. Dalam bukti itu dijelaskan bahwa anak kandung Carissa dan Dimas yang sebenarnya itu adalah Vanya, bukan Nayara. Nayara menunduk dalam, haruskah dia percaya dengan bukti-bukti ini? Sementara dirinya sendiri tidak tahu siapa wanita di foto ini. "Ma, jangan marah-marah sama Kak Nara. Aku nggak berharap apa-apa dari keluarga Widjaya, aku datang dengan semua bukti ini hanya ingin memberitahukan kebenaran dan melihat kondisi Mama dan Papa. Aku baik-baik aja, Ma. Aku sudah puas sekarang, aku juga mau pergi dari sini, aku tidak akan merebut posisi Kak Nara." Vanya melepas paksa tangan Carissa, namun Carissa jelas menahannya. "Kamu putri kandung Mama, Vanya. Kamu tidak boleh pergi, kamu sudah cukup menderita hidup dengan wanita sialan itu selama ini. Aku akan menebusnya dengan membawa kamu tinggal di sini selamanya." Carissa berbalik badan lalu menatap nyalang Nayara. "Mama!" Nayara hampir menangis. "Berlutut sekarang, Nara. Minta maaf pada Vanya karena kamu sudah merebut semua milik Vanya selama ini." Carissa benar-benar marah besar pada Nayara. Nayara menatap Vanya, kali ini Nayara belum bisa menebak apakah gadis itu baik dan bisa dipercaya atau hanya sekadar berpura-pura?"Ma!" Nayara berdiri sambil menggenggam tangan Clarissa. "Aku sungguh nggak ngerti, apa yang sebenarnya terjadi?""Diam!" Clarissa menepis kasar tangan Nayara. "Beraninya kamu memanggilku mama? Pasti wanita itu sengaja menipuku agar kamu bisa hidup enak di sini, sementara anak kandungku dia siksa selama ini. Tidak kusangka kamu adalah anak pelacur itu.""Pa!" Nayara menghampiri Dimas. "Papa, bilang sama Nara ini nggak benar! Nara pasti anak Papa, iya kan?" Mata Nayara sudah berkaca-kaca."Nara, maafkan Papa. Semua bukti sudah jelas, kamu memang bukan anak kami." Dimas memalingkan wajahnya dari Nayara."Aku sudah memberitahu Alvano, kamu harus segera bercerai dengan Alvano. Kembalikan semua milik Vanya, termasuk Alvano." Clarissa kembali berbicara. "Sekarang berlutut dan minta maaf pada Vanya! Dasar anak wanita malam!""Aku nggak tahu dia siapa, Ma," lirih Nayara dibalas tawa sinis oleh Clarissa.Clarissa benar-benar sudah membenci Nayara hanya karena bukti yang dibawa Vanya.Nayara me
“Al, apa yang akan kamu lakukan, Al?” Nayara panik karena Alvano yang sulit ditebak.“Kamu sudah membohongiku begitu lama, Nara. Sekarang kembalikan semua barang-barang milikku!” Alvano mengecup batang leher Nayara dengan paksa.“Alvano, jangan begini, Al! Aku mohon jangan lakukan ini, Al.” Nayara berusaha lepas dari Alvano.Alvano mengangkat wajah demi bisa menatap Nayara. “Kamu tidak punya hak menolakku, Nara. Anggap saja ini sebagai cara kamu menebus dosa padaku.”“Al.” Nayara kembali panik saat Alvano mendekatkan wajahnya lagi.“Hmmpp ….” Naraya hanya bisa memberontak kecil ketika Alvano mencium bibirnya dengan paksa.“Alvano Dirgantara, lepas!” Nayara mendorong dada Alvano sekuat tenaga sampai pria itu menjauh darinya.Nayara langsung duduk, kali ini Nayara berani menatap Alvano dengan tegas. “Alvano, aku hamil.”“Hah?” Alvano tampak terkejut.Tapi wajah terkejut itu hanya bertahan sesaat. “Hamil? Aku tahu itu cuma trik baru kamu buat nipu aku. Kamu pasti takut dengan datangnya V
Dengan bekal uang tabungannya semala ini, Nayara pergi ke luar kota dan tinggal di kontrakan sepetak yang sangat kecil. Tidak ada perabotan apapun di dalam kontrakan sepetak itu, untuk tidur pun Nayara hanya bisa membeli kasur tipis dengan harga seratus ribuan.Nayara harus bisa menghemat uang tabungannya yang tidak seberapa untuk biaya hidupnya menjelang mendapatkan pekerjaan. Sungguh miris nasib Nayara, dalam keadaan hamil dia harus hidup sendiri tanpa bantuan siapapun. "Aku pasti bisa." Nayara tersenyum dan menyemangati dirinya sendiri. "Kamu harus kuat, Nak. Mama janji akan memberikan yang terbaik untuk kamu." Nayara selalu mengajak bayi dalam kandungannya berkomunikasi kasi.Nayara mulai membersihkan kontraknya sampai rapi, Nayara juga membeli beberapa perabotan yang akan dia butuhkan selama tinggal di sini.Tidak banyak yang Nayara beli, hanya beberapa saja dan itupun yang harganya murah-murah.Setelah kontrakannya terlihat sedikit lebih layak huni, Nayara mulai menyusun re
"Anda yakin tidak ingin mencari Nona Nara, Tuan Muda?" Keenan masih berharap Alvano akan berubah pikiran."Tidak akan, tidak ada lagi tempat untuk wanita pembohong itu di rumah saya." Alvano benar-benar terlihat sudah tidak peduli lagi pada Nayara.Keenan pun diam, asisten pribadi Alvano itu hanya bisa berharap Nayara baik-baik saja di luar sana. Wanita itu telah pergi selama tujuh bulan dan entah di mana dia sekarang. Keenan pun juga berharap Alvano selalu baik-baik saja. Pasalnya, Alvano terus kerja gila-gilaan dan tak tau waktu, lupa makan, dan kurang istrahat sejak Nayara tidak ada lagi di sisinya.'Ngakunya tidak peduli lagi, tapi masih enggan menandatangani surat cerai padahal sudah tujuh bulan berlalu.' Keenan tidak abis pikir dengan kisah rumah tangga atasannya itu.Sudah pukul sembilan malam. Lantai tertinggi gedung milik Alvano masih menyala terang. Meja kerjanya dipenuhi berkas, laptop yang belum mati, serta beberapa catatan yang ditulis tangan. Pria itu duduk tegak di kur
Sore itu langit mendung, udara sedikit pengap. Setelah berkeliling menjajakan buburnya sejak pagi, Nayara memutuskan untuk berhenti sejenak di pelataran taman kota. Ia duduk di bangku yang menghadap air mancur, membelai perutnya yang semakin berat. Bayi di dalam kandungannya bergerak pelan, seolah memberi tanda bahwa ia ikut merasakan kelelahan sang ibu.“Sebentar lagi kita pulang ya, Nak,” bisiknya lirih sambil tersenyum lembut.Nayara menoleh ke arah keramaian di sisi lain taman. Sebuah mobil hitam mengilap baru saja berhenti di depan restoran mahal yang berdiri mewah di seberang jalan. Dari dalam mobil, turun seorang pria tinggi bersetelan jas, rambutnya tersisir rapi, dan posturnya tak berubah sedikit pun sejak terakhir kali Nayara melihatnya.Dia Alvano, Langkah Nayara membeku melihat pria itu.Pria itu berjalan tenang, diikuti seorang wanita bergaun krem muda dengan heels tinggi yang mencolok. Wajahnya terlihat berseri-seri, tangannya menggandeng lengan Alvano seolah mereka sepa
Hujan turun dengan deras di luar jendela, membasahi jalanan dan menciptakan riuh samar di tengah keheningan malam. Pukul dua lewat dua puluh lima menit pagi, Naraya terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Perutnya mengeras, nyeri yang familiar menjalar dari tulang belakang hingga ke pusar. Ia mengerang pelan, menggigit bibir bawahnya untuk menahan rasa sakit yang datang bertubi-tubi.“Tidak ... bukan sekarang.”Namun tubuhnya tak bisa dibohongi. Kontraksi itu nyata, lebih kuat dan intens dari sebelumnya. Dengan susah payah, ia meraih ponsel yang tergeletak di meja kecil dekat kasurnya. Ia menggulir daftar kontak, tapi tak satu pun nama yang bisa ia andalkan. Tidak ada keluarga. Tidak ada teman dekat. Dan pria yang seharusnya berada di sampingnya pun tidak bisa Nayara harapkan.Dengan napas yang tersengal, Naraya bergegas keluar kamar, tubuhnya bergetar karena rasa sakit. Ia mengetuk pintu tetangganya, Bu Ningsih—seorang ibu paruh baya yang selama ini sesekali menawarinya makanan han
"Aku beri dia nama, Reyhan Samudra." Nayara menggenggam telapak tangan mungil putra kecilnya. Setelah 2 hari di rumah sakit, akhirnya Nayara bisa pulang lagi ke kontrakan kecilnya. Untungnya, Nayara memiliki tabungan yang cukup dari hasil berjualan bubur selama ini untuk makannya sehari-hari pasca pemulihannya. "Kamu tidak usah berkecil hati, Sayang. Meskipun tanpa siapapun, Mama pasti bisa membesarkan kamu dengan baik dan mendidik kamu supaya kelak kamu menjadi orang yang bisa menghargai orang lain," ujar Nayara dengan senyum tulusnya. Perlahan-lahan Nayara sudah mulai bisa berdamai dengan dirinya sendiri, Nayara akan merasa baik-baik saja Karena sekarang ada malaikat kecil yang harus dia jaga dan besarkan seorang diri. 'Aku pasti bisa menjadi sosok Ibu sekaligus ayah yang baik untuk anak ini,' ucap Nayara dalam hati. Nayara masih bisa tersenyum di saat dunia seakan menghimpitnya, bayangkan saja Nayara yang baru saja melahirkan dua hari yang lalu harus mengurus bayi itu sendiria
Lima tahun kemudian!Setelah lima tahun berlalu, Nayara masih tinggal di kontrakan sepetak nya bersama putra kecilnya yang kini sudah berusia lima tahun.Tidak banyak yang berubah, Nayara masih berjualan bubur untuk dicukupi kebutuhan sehari-hari. Bedanya sekarang bubur yang dijual oleh Nayara sudah banyak dikenal oleh orang-orang sehingga Nayara hanya fokus penjualan di depan kontrakan tidak diselingi dengan berkeliling lagi. Selama 5 tahun ini, hidup Nayara sangat tentram. Jauh dari orang-orang jahat yang tidak punya hati, dan juga sangat bahagia karena karena putra kecilnya tumbuh menjadi anak yang pintar dan penurut.Nayara berhasil mendidik anak itu dengan baik.Seperti kali ini contohnya, Nayara sedang mencuci piring setelah berjualan seharian. Rayhan begitu tenang duduk di samping Nayara.Raihan sangat tampan, tak jauh berbeda dengan ayah kandungnya."Mama, kapan bisa temani Ray main?" Anak berusia lima tahun itu
“Shh!”Nayara terus meringis sepanjang Anik mengobati luka-luka di sekujur tubuhnya karena pukulan dari Clarissa.“Kalau Bibi boleh bertanya, untuk apa Nona melakukan semua ini?” Anik membereskan semua peralatan yang dia gunakan untuk mengobati luka Nayara tadi.Nayara pun memakai kembali bajunya dengan benar setelah tadi kancingnya sempat dia buka beberapa agar Anik lebih leluasa mengobatinya.“Bi, apa pun akan aku lakukan untuk menyelamatkan putraku. Luka ini tidak seberapa bagiku,” jawab Nayara.“Hah.” Anik menghela napas kasar sambil mengambil sesuatu di bawah bantal. Benda itu adalah sebuah amplop cokelat yang lumayan tebal.“Ini adalah uang tabunganku selama bertahun-tahun, jumlahnya memang tidak seberapa. Semoga saja ini bisa membantumu sedikit.” Anik memberikan amplop itu pada Nayara.“Ini tidak perlu, Bi.” Tentu saja Nayara langsung menolak karena tahu Anik juga sangat membutuhkan uang itu.“Nona, aku telah merawatmu selama bertahun-tahun. Jangan sungkan padaku, aku sudah men
Ruby meneguk ludah, mencoba tetap tenang. Tapi sulit sekali, apalagi ketika Julian berdiri begitu dekat, menatapnya seolah ingin mengulitinya hidup-hidup.Oke, Ruby. Tenang. Jangan goyah!Tapi bagaimana bisa tenang kalau Julian berdiri begitu dekat, dengan ekspresi penuh percaya diri yang menjengkelkan itu?"Apa kau takut?" Julian bertanya, suaranya rendah dan penuh godaan.Ruby memaksakan senyum. "Takut? Aku? Tidak mungkin.""Benarkah?" Julian semakin mendekat, membuat Ruby hampir tersudut ke meja."Jangan terlalu percaya diri, Bos," kata Ruby, mencoba mempertahankan harga dirinya. "Kau bukan satu-satunya pria yang bisa membuat seorang wanita salah tingkah."Julian mengangkat alis. "Oh? Jadi, kau mengakui kalau aku membuatmu salah tingkah?"Sial. Dia membalikkan kata-kataku!Ruby segera meralat, "Aku tidak bilang begitu."Julian hanya menyeringai. "Tapi kau berpikir begitu."Ruby menggigit bibirnya, menatap pria itu dengan tajam. "Aku tidak terintimidasi olehmu, Julian."Julian terse
Lama menunggu, namun tidak ada juga satupun orang yang keluar dari rumah itu. Nayara pun mulai nekat. “Pa, aku mohon bantulah aku. Sekarang putraku sedang sakit, perlu biaya operasi 6 miliar. Kau sudah tidak punya jalan keluar lain lagi, dia adalah cucu Papa juga.”Suara Nayara yang lumayan keras terdengar sampai ke dalam rumah.Dimas terlihat gelisah, sementara Clarissa terlihat biasa saja.“Kenapa? Kamu kasihan? Dimas, kamu tetap saja tidak bisa berubah. Dulu dengan ibunya kamu juga kasihan, sekarang anaknya. Apa kamu tidak kasihan dengan putri kita Vanya?” cecar Clarissa.Dimas diam, dia tau harus bereaksi seperti apa.“Pa, Papa harus ingat. Nayara dan Kak Alvano belum cerai, jika keluarga Kak Alvano tau tentang anak haram itu mereka akan menyalahkan mama dan papa tidak bisa mendidik anak. Kalau anak Nayara mati itu demi menjaga nama baik keluarga Widjaya,” hasut Vanya.“Dasar anak itu, belum bercerai sudah berani mencari pria lain. Sungguh keturunan pelakor, sungguh mirip dengan
“Maafkan aku, Nyonya. Aku salah, aku akan menampar diriku sendiri.”Pelayan itu benar-benar menampar dirinya sendiri berkali-kali sampai wajahnya membengkak dan memerah.“Sudah cukup, sekarang kamu boleh pergi dan katakan kepada Kak Nara kalau Mama dan Papa tidak mau menemuinya,” titah Vanya.“Kenapa kamu masih membela anak itu? Apa jangan-jangan dia sudah memberimu jampi-jampi agar tetap simpati padanya?” Clarissa jadi semakin berpikiran buruk tentang Nayara. “Padahal Vanya sudah tinggal selama 5 tahun dengan kita, tapi kamu masih saja tidak bisa melupakan anak itu.” Clarissa benar-benar marah pada suaminya.“Bukan begitu maksudku.” Dimas begitu dilema sekarang.Di satu sisi dia ingin bertemu dengan Nayara, tapi di sisi lain dia takut pada Clarissa kalau dia berani menemui Nayara.“Pa, aku tidak tahu seperti apa kedekatanmu dengan Kak Nara. Kalian sudah hidup bersama selama dua puluh tahun lamanya, tapi Papa tidak pantas berlaku seperti itu pada Kak Nara.” Vanya tidak terima melihat
“Selamat pagi, Dokter Ardian.” Nayara tersenyum ramah pada seorang dokter paruh baya yang Nayara kira sudah menghubunginya.“Terima kasih banyak sudah menyisakan satu kamar untuk Rayhan,” ujar Nayara.“Kamar apa?” Dokter Ardian terlihat bingung menanggapi pertanyaan Nayara.“Kamar untuk Rayhan, bukankah Anda yang membantuku?” Nayara terlihat begitu bahagia.Sepertinya Dokter Ardian tidak tahu apa-apa tapi juga tidak berani mengatakan apa pun. Tentu saja, kamar itu disediakan oleh Alvano, jelas Dokter Ardian tidak akan tahu apa-apa.“Sudahlah, berhubung Anda ada di sini, ada sesuatu yang ingin aku sampaikan.” Dokter Ardian memberikan sebuah kertas. “Ini laporan kesehatan Rayhan, kondisinya semakin menurun. Hal ini sangat tidak baik, tidak bisa kalau hanya memakan obat-obatan saja.”Nayara memejamkan mata, sebelumnya dia sudah menduga hal ini akan terjadi.“Dokter, tolong bantu selamatkan putraku. Dia baru berusia lima tahun, tolong, Dok,” pinta Nayara.“Segera urus semua biayanya, Nyon
“Uhuk!” Rayhan batuk-batuk sampai hidungnya mengeluarkan darah.Tapi anak itu tidak mengatakan apa pun, dia cuma fokus bermain dengan Ultraman baru yang dibekali oleh ibunya.“Astaga, kamu mimisan lagi?” Nayara mengambil selembar tisu. “Sini biar Mama lap darahnya.” Nayara menghapus darah dari hidung Rayhan.“Ray, waktunya minum obat. Kamu mau sembuh kan, Sayang?” Nayara mengeluarkan obat-obatan yang begitu banyak yang harus dikonsumsi anak sekecil Rayhan.“Ray tidak mau, Mama. Obatnya sangat pahit,” tolak Rayhan sambil menutup mulutnya.“Kamu ingin mendengar sebuah cerita?” Nayara mencari akal untuk membujuk Rayhan agar mau meminum obat.“Cerita apa, Mama?” Mata polos Rayhan berkedip-kedip lucu menatap Nayara.“Dulu Ultraman ini juga sakit, dia baru sembuh setelah minum obat.” Nayara mengarang cerita yang menarik untuk anak-anak.“Benarkah?” Dan sesuai dengan harapan Nayara, Rayhan tertarik dan percaya dengan a
Setelah semua masakannya selesai, Nayara menata semuanya di atas meja makan yang di sana sudah dihuni oleh Alvano dan Vanya.Nayara menyiapkan semuanya dengan hati-hati, jangan sampai dia membuat kesalahan yang berakhir dirinya menerima kekerasan lagi dari Alvano ataupun Vanya yang licik.Gadis itu manipulatif, jadi Nayara harus berhati-hati dengan gadis yang saat ini bersama suaminya.“Tuan Alvano, Nona Vanya, silakan menikmati hidangannya!” Nayara benar-benar sangat profesional dan sadar diri dengan statusnya di tempat ini.Alvano terdiam dan tampak begitu murung, hati kecilnya sangat tidak rela melihat Nayara berada di posisi seperti ini. Sementara itu, egonya mengatakan bahwa wanita itu pantas menerima perlakuan seperti ini.Alvano mulai makan, mata terpejam menikmati sensasi makanan khas buatan Nayara yang sudah lama tidak ia makan.Jujur saja, Alvano merindukan masakan ini. Tapi bahasa bancinya pada Nayara mengalahkan segal
Nayara memberikan surat-surat yang sudah dia tandatangani pada Alvano.“Selesai, Tuan. Apalagi yang harus saya lakukan?” Nayara begitu sabar dan pasrah menghadapi Alvano.Alvano menerima surat itu lalu berkata, “Besok pagi jam delapan kamu harus sudah ada di sini, harus tepat waktu tidak boleh terlambat.” Kali ini Alvano berbicara baik-baik pada Nayara.“Baiklah, Tuan.” Nayara membungkuk hormat layaknya para pelayan pada umumnya. “Kalau begitu saya izin pamit dulu.”Alvano mengangguk sehingga Nayara bisa pergi dari tempat itu.Alvano menatap surat-surat di tangannya cukup lama, raut wajah pria itu begitu sulit untuk dijelaskan. Entah apa yang ada di dalam pikiran Alvano saat ini....“Mama, rumah ini sangat besar.” Mata Rayhan berbinar menatap rumah mewah yang dia pijaki sekarang.Nayara hanya tersenyum mendengar itu, Nayara tidak tega jika harus meninggalkan Rayhan yang sedang sakit sendiria
“Kak!” Vanya memanggil Alvano dengan suaranya yang lembut mendayu-dayu itu."Ini sudah malam, sebaiknya kamu istirahat lagi ke kamarmu. Kata dokter besok kamu sudah boleh pulang, siap-siap dan besok akan aku jemput." Alvano mengusap pipi Vanya dengan begitu perhatian di depan muka Nayara.Tidak bisa dibayangkan sesakit apa perasaan Nayara saat ini.“Baiklah,” balas Vanya dengan patuh.Alvano pergi dari sana karena masih ada urusan lain, sebagai orang penting tentunya Alvano memiliki banyak pekerjaan dan jadwalnya sangat padat.Vanya menatap Alvano sampai pria itu benar-benar menghilang, setelahnya Vanya melirik Nayara yang tengah memeluk Reyhan.“Kamu benar-benar wanita tidak tahu diri, Kak Nara. Kamu itu hanya anak dari seorang pelakor, kenapa kamu masih berani ngerayu Kak Alvano yang jelas-jelas adalah milik aku? Kamu pasti belajar dari ibumu yang pelakor itu kan?” Vanya memaki Nayara habis-habisan.“Aku bahkan nggak p