Mag-log inBeruntung jarak mobilnya tak jauh dari sebuah restoran cepat saji di depan sana. Namun kemacetan yang parah membuat jarak dekat itu harus ditempuh hampir sepuluh menit sebelum akhirnya Gavin bisa memarkir mobil.Ia kembali melirik Aira. Rasanya tak tega membangunkannya. Namun perut yang sudah sangat lapar memaksanya turun, meninggalkan Aira sendirian di dalam mobil.Gavin memesan dua kotak besar makanan di restauran lengkap denga minuman.Tak butuh waktu lama, pramusaji hanya memerlukan sekitar lima menit untuk menyelesaikan pesanannya.Selesai membayar, Gavin kembali ke mobil dan mendapati Aira sudah terbangun.“Sejak kapan kamu bangun?” tanya Gavin sambil meletakkan kotak makanan bagian belakang kursi, di sela tumpukan baju dan tas. Kursi itu kini penuh oleh belanjaan.“Sejak kamu masuk restoran itu,” jawab Aira pelan. Tatapannya tertuju ke luar jendela.Alis Gavin bertaut bingung. Ada sesuatu pada ekspresi Aira terlihat sedikit murung.Mungkin masih setengah sadar karena baru bangu
Gavin menatap nakal ke arah Aira.“Tak usah malu-malu begitu. Kamu sudah melihat punyaku seperti apa,” kata Gavin, suaranya semakin menggoda, sengaja membuat Aira salah tingkah.Aira tak mampu berkata apa-apa. Bibirnya terasa kelu saking gugupnya.Apalagi tatapan nakal Gavin itu, terlalu terang, tmembuatnya semakin tidak nyaman.Gavin tertawa saat melihat Aira justru memanyunkan bibirnya. Reaksi polos itu membuatnya puas. Menggoda Aira ternyata jauh lebih menyenangkan dari yang ia bayangkan.Akhirnya Gavin berhenti. Ia menjauhkan tubuhnya dari Aira dan mulai menjalankan mobil. Helaan napas panjang terdengar dari sampingnya. Aira rupanya terlalu gugup sampai sulit menguasai diri.“Baiklah, aku berhenti bercanda. Nanti kamu malah lompat dari mobil,” ucap Gavin santai sambil terkekeh, jelas menikmati kegugupan Aira.Aira tertegun melihat tawa itu. Untuk pertama kalinya, ia melihat Gavin dengan sisi yang begitu lepas.Ia masih tak berani bicara. Sesekali tangannya menutup paha, sadar betu
Tidak disangka, Gavin membawa Aira ke sebuah butik mahal. Katanya, ia harus menghadiri sebuah pesta, dan mau tak mau Aira harus ikut.Mata Aira membola. Harga satu gaun saja lebih dari sebulan gajinya dan Gavin menyuruh pramuniaga membungkus semuanya?Aira refleks menghitung gaun di etalase yang tadi sempat ia pegang. Kurang lebih lima belas potong. Itu berarti puluhan juta rupiah hanya untuk pakaian!“Tidak perlu, Tuan. Kalau begitu biar aku pilih yang dibutuhkan saja,” kata Aira buru-buru, sebelum Gavin benar-benar membuang uangnya untuk pakaian yang bahkan belum tentu ia pakai.Aira hanya mengambil dua gaun, satu berwarna hitam dan satu cokelat. Melihat wajah panik istrinya, Gavin justru ingin tertawa.“Kamu meragukan kekayaanku?” tanya Gavin saat Aira menghampirinya dengan pilihannya.“Bukan begitu. Aku hanya tidak mau bajunya tidak terpakai dan jadi buang-buang uang,” sangkal Aira cepat.“Beli saja. Aku tidak akan miskin bahkan kalau membeli butik ini. Atau kamu mau semuanya?”Ai
Langit terlihat cerah, sama seperti suasana hati Aira saat ini. Aira sekarang berada di dalam mobil Gavin, entah ke mana suaminya itu ingin membawanya. Tapi bersama Gavin benar-benar mengobati rindunya.Sedangkan Gavin pikirannya melayang jauh, memikirkan ucapan Aira tentang mengenal Obi. Bahkan tadi mereka sempat saling menyapa, membuat Gavin mendidih, meski ia tak ingin terlihat terlalu cemburu.Aira bilang ia menabrak Obi dan menjatuhkan iPadnyq, tapi kenapa Gavin melihat tatapan Obi mendambakan Aira.Apa Obi itu orang masa lalu Aira? Kekasihnya, mungkin? Memikirkan itu saja membuat rahang Gavin mengeras dan tangannya mengepal erat.Aira sesekali melirik lelaki itu yang tampak fokus menyetir.Seminggu tidak bertemu Gavin, dan kini ia terlihat jauh lebih tampan. Potongan rambut barunya, kulitnya yang semakin eksotis, Aira baru benar-benar memperhatikannya sekarang.“Berhenti menatapku dan berhenti menggigit bibirmu. Itu mengganggu konsentrasiku,” kata Gavin tanpa menoleh, suaranya d
“Kita mau ke mana?” tanya Aira pelan begitu pintu mobil tertutup dan deru mesin menyala.“Mampir ke kantorku sebentar,” jawab Gavin, nada suaranya datar tetapi lembut pada Aira. “Ada dokumen penting yang harus kuambil. Tidak apa-apa, kan?”Aira terdiam. Kata-kata Gavin tidak salah, namun bayangan ketika pria itu dulu terlihat mesra bersama Mitha di ruang kerjanya kembali menyeruak tajam di benaknya. Perih, tapi dia memilih tidak menanyakannya. Dia hanya mengangguk kecil.Beberapa menit kemudian, mobil Gavin berhenti di parkiran perusahaan raksasa milik Eyang Mandala. Begitu mereka turun, seolah karpet merah tergelar otomatis, semua karyawan yang melintas langsung menunduk, lalu berbalik saling berbisik begitu Gavin lewat. Tapi pandangan mereka jelas sekali menyapu Aira dari ujung rambut sampai ujung kaki.Gavin melirik sekilas meja resepsionis, ndan mendapati Anggi, resepsionis yang tadi berani berteriak pada Aira di restoran, masih duduk manis di posnya.Mata Gavin langsung menyipit.
"Baiklah kalau begitu. Mungkin ini memang yang terbaik, karena kondisi saya yang sedang hamil pasti sedikit banyak merepotkan teman-teman lain. Tidak perlu merasa tidak enak, Pak Raihan. Saya memang ke sini mau menyerahkan surat pengunduran diri. Hanya saja saya takut belum ada penggantinya, jadi saya berniat tetap bekerja sampai ada orang baru. Tapi ternyata suami saya baik sekali…," Aira sengaja menekankan kata-kata itu, "... karena langsung membawa penggantinya."Tatapannya sekilas melirik Gavin, penuh sindiran halus.Namun bukannya merasa terkena, Gavin justru tersenyum tipis penuh kemenangan."Sekali lagi saya minta maaf, ya, Aira. Ini demi kebaikan kamu." Raihan mengusap tengkuknya. Penyesalannya sangat terlihat."Astaga… Pak Rai, jangan merasa bersalah. Justru saya yang berterima kasih. Selama ini Bapak sangat baik pada saya." Aira tersenyum tulus.Hamid yang mendengar kabar bahwa Aira akan berhenti padahal baru hari ini baru benar-benar bertemu langsung, hampir menangis. Dia







