Home / Romansa / Istri yang Terabaikan / Di Jual Sebagai Pertanggungjawaban

Share

Di Jual Sebagai Pertanggungjawaban

Author: Alverna
last update Last Updated: 2025-09-04 20:00:18

Suasana duka masih menyelimuti halaman rumah sederhana itu. Aroma tanah basah dari pusara yang baru saja tertutup bercampur dengan tangis pelayat yang mulai mereda. Namun, di tengah suasana pilu, sebuah kalimat yang keluar dari bibir Indah membuat semua kepala menoleh.

“Kalau memang itu yang kalian mau, ambil saja Aira. Dia bisa menggantikan kembarannya yang sudah melakukan kesalahan,” ucap Indah lantang, seakan tak peduli tatapan terkejut para tetangga yang berdiri di sekelilingnya.

Aira yang duduk lemah di samping ayahnya, Ahmad, hanya bisa menunduk.

Tubuhnya masih panas karena demam sejak malam sebelumnya. Tenggorokannya kering, dadanya sesak oleh tangis, tapi telinganya jelas mendengar kata-kata yang keluar dari mulut ibunya.

“Ma…” suaranya tercekat, nyaris tidak terdengar. “ mama menjual ku?”

Namun Indah tidak menoleh. Wajahnya datar, penuh ketegasan yang dingin. Baginya, anak perempuan di hadapannya harus mendapatkan hukuman setimpal karena membuat anak kesayangannya meninggal.

Mandala, lelaki berusia delapan puluh tahun dengan tatapan tajam, mengamati Indah dengan penuh minat.

Ia berdiri dengan tongkat yang menopangnya. Sorot matanya menusuk, seolah mengupas niat tersembunyi di balik tawaran itu.

“Jadi, kau menawarkan anakmu sendiri padaku?” tanyanya perlahan, namun setiap kata terdengar jelas dan berat.

Siapapun tentu tahu siapa Eyang Mandala, lelaki yang memiliki empat istri dan indah yakin pasti tertarik pada Aira yang cantik.

Indah mengangguk tanpa ragu.

“Saya hanya punya ini untuk menebus kesalahan. Aira akan lebih berguna kalau ikut dengan Anda.”

Ahmad tersentak mendengar jawaban istrinya. Tangannya yang gemetar menggenggam lutut, air matanya jatuh tak terbendung.

“Ndah… jangan begitu. Dia sama-sama anak kita…” suaranya parau, namun tak ada kekuatan di baliknya.

Mandala tertawa tipis, lalu menoleh pada Aira. “Apa pendapatmu, gadis cantik?”

Aira mengangkat wajahnya perlahan. Air mata membasahi pipinya, matanya sembab dan merah.

“Tolong… aku tidak mau…” Suaranya lemah, penuh kepasrahan.

Namun bukannya mendapat pembelaan, tangannya justru ditarik kasar oleh Indah. “Jangan menangis! Kamu harus berguna untuk keluarga ini. kamu sudah membunuh kembaranmu sendiri, paling tidak kamu menanggung akibatnya!”

Tubuh Aira oleng ketika ibunya menariknya berdiri. Kakinya yang lemah hampir tak sanggup menopang, kepalanya pusing, luka kecil di lengannya terasa perih saat ditarik paksa.

“Ma, jangan… aku sakit…” isaknya memohon.

Ahmad mencoba bangkit, tapi langkahnya terhenti. Tatapan Mandala yang dingin membuatnya lumpuh. Hanya tangis lirih yang keluar, “Maafkan Ayah, Aira…”

Aira merasa seakan dunianya runtuh. Ia baru saja kehilangan saudara kembar yang paling ia sayangi, dan kini ia sendiri yang dikorbankan. Seolah hidupnya tidak memiliki nilai apa-apa bagi keluarganya.

Pelayat yang menyaksikan hanya bisa terdiam, sebagian menutup mulut menahan kaget, sebagian lain menggeleng tak percaya. Namun tak seorang pun berani mencampuri urusan keluarga itu, terutama ketika nama besar Mandala sudah disebut-sebut.

Indah mendorong Aira mendekati Mandala.

“Ambil dia sekarang juga. Saya tidak mau mendengar omongan apa pun lagi. Kami sudah memberikan yang terbaik yang kami punya. Uang tiga miliar itu, sedikit pun kami tidak punya.”

Mandala menatap Aira lama sekali, seakan sedang menimbang sesuatu. Bibirnya melengkung kecil, bukan senyum penuh kehangatan, melainkan ekspresi puas karena tawarannya diterima.

Ia bisa memanfaatkan gadis ini untuk menghukum sang cucu.

“Baik. Kalau begitu, aku akan membawanya. Pastikan dia siap.”

Aira terisak keras. “Tidaaak… jangan… aku mohon…” Tubuhnya bergetar hebat, suaranya serak. Ia berusaha menahan langkah, namun tangan ibunya terlalu kuat.

“Diam, Aira!” bentak Indah. “Kamu tidak tahu diri. Kalau bukan karena kamu Lyra masih hidup. Anggap saja ini pengorbananmu untuk semua orang.”

Hati Aira hancur berkeping-keping. Bagaimana bisa seorang ibu berkata begitu pada anaknya yang sedang sakit dan berduka?

Gavin yang sejak tadi berdiri di samping kakeknya tersenyum menang. Wajahnya tegang, amarahnya penuh dendam pada Aira yang telah membuat kekasihnya meninggal. Baginya, hukuman yang paling pantas untuk Aira menjadi istri ke empat kakeknya karena sudah membuat kekasihnya meninggal.

“Masuk ke mobil,” perintah Mandala dingin.

Pintu mobil hitam yang terparkir di depan rumah terbuka lebar. Indah mendorong Aira ke arah sana, tidak peduli dengan teriakannya yang semakin lemah.

“Ma… aku mohon… jangan jual aku… aku anak Mama juga…” Aira meronta, suaranya pecah. Tapi Indah justru menepis tangannya, membuat tubuh Aira terhuyung ke tanah.

Ahmad berlari kecil, membantu putrinya bangkit.

“Aira… maafkan Ayah… Ayah tidak bisa melindungimu…” Tangisnya pecah.

Aira memandang ayahnya dengan mata penuh air. “Ayah… tolong aku… jangan biarkan aku pergi…”

Namun sebelum Ahmad bisa berbuat lebih, dua orang pengawal Mandala sudah turun tangan, mengangkat Aira paksa ke dalam mobil. Tubuhnya yang lemah tak kuasa melawan. Ia hanya bisa menangis, memeluk dirinya sendiri, dan berdoa lirih agar ada keajaiban.

Di ambang pintu, Gavin berdiri kaku, matanya mengikuti Aira yang diseret ke dalam mobil. Senyumnya mengembang.

"Siap-siaplah menjadi pengantin," kata Eyang Mandala yang membuat Aira semakin ketakutan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istri yang Terabaikan   Perubahan Sikap Aira

    Tapi Aira tidak peduli. Ia justru keluar kamar, mengabaikan suara Gavin seolah lelaki itu tidak ada.Berada satu ruangan dengan Gavin membuat Aira merasa tercabik-cabik.Cukup. Ia sudah tidak sanggup. Sejak awal ia memang ragu tinggal di Penthouse Gavin. kalau boleh menilih, Aira jauh lebih memilih rumah tipe 36 pemberian Eyang Mandala, rumah pertamanya, kecil, tetapi hangat dan terasa aman.Namun karena memikirkan Mbok Inah, ia memilih menuruti keinginan Eyang Mandala. Ia tahu betul, jika Eyang murka, beliau bisa menjadi sangat kejam dan ia tidak ingin Mbok Inah menerima imbasnya.Maka Aira patuh. Tapi menghadapi Gavin yang seperti ini membuatnya benar-benar tidak kuat.Satu ruangan dengannya seakan menyeret Aira masuk ke neraka.Melihat Aira mengabaikannya, Gavin mengepalkan tangan.Tembok itu… kini makin tinggi. Aira membangun benteng agar Gavin tak lagi bisa memasukinya. Wanita itu bersikap acuh, dingin, dan menjauh.Gavin memejamkan mata, memijit pelipisnya. Pusing itu kembali da

  • Istri yang Terabaikan   Gavin Menggila

    Gavin menatapnya, dan seketika ingatan Aira tentang lelaki itu bersama Mitha kembali berputar di kepalanya. Rasa jijik langsung membuat perutnya mual.Aira berusaha terlihat baik-baik saja, meski napasnya terasa cepat. Ia menahan air matanya sekuat tenaga. Ia tidak boleh menangis di depan Gavin. Ia harus terlihat kuat. Gavin tidak boleh melihat kelemahannya.“Sepertinya Mbok Inah salah memberiku kamar. Ini kamarmu?” tanya Aira pelan. Ia menurunkan kakinya dari ranjang dan berusaha bangkit. Ia tidak ingin berada satu ruangan dengan pria itu. Dekat dengan Gavin saja sudah membuat dadanya sesak.Aira ingin keluar, tetapi saat mereka berpapasan, tangan Gavin menangkap pergelangannya dengan keras.“Tadi kamu ke kantorku?” tanya Gavin, suaranya dingin. Ia menoleh, menatap Aira tajam, mencoba membaca ekspresi wanita hamil itu.Aira meringis. Kenangan di kantor Gavin kembali menghantamnya, membuat dadanya perih.“Tidak. Pak Tarno yang ke kantor Tuan,” jawab Aira. Suaranya setengah bergetar,

  • Istri yang Terabaikan   Menemui Aira

    Aira dan Mbok Inah menatap bangunan tinggi di hadapan mereka, mereka sudah sampai di l Penthouse milik Gavin. Bangunan dua puluh tingkat itu menjulang megah, elegan, dan jelas hanya bisa dimiliki oleh kalangan atas mengingat harganya yang fantastis."Ayo, Nona, kita masuk," kata Mbok Inah. Di tangannya terdapat kantong belanja berisi sayuran dan kebutuhan dapur. Mereka sempat mampir ke minimarket karena yakin Penthouse Gavin pasti tidak memiliki bahan-bahan sederhana seperti ini.Lelaki itu memang sangat jarang pulang ke apartemen megah ini, kecuali dulu saat bersama Lyra, kekasihnya. Setelah Lyra meninggal, tempat ini tak pernah lagi Gavin datangi.Aira mengangguk. Saat memasuki lobi apartemen dengan dominasi warna hijau dan emas yang elegan, matanya langsung dimanjakan kemewahan interiornya.Mereka tiba di lantai dua puluh, tepat di depan pintu penthouse milik Gavin. Aira menyerahkan kunci yang diberikan Eyang Mandala kepada Pak Tarno, dan lelaki itu segera membukanya.Begitu pint

  • Istri yang Terabaikan   Panik!

    Gavin keluar dari ruangannya. Lelaki itu celingukan, mencari Pak Tarno yang mungkin saja masuk untuk menemuinya. Namun saat melihat ruang tunggu, tak ada siapa pun di sana.Selly yang baru datang menghentikan langkahnya. Tatapannya pada Gavin terkejut, ada kecanggungan terselip jelas di balik ekspresinya.Gavin berusaha mengabaikan ekspresi itu, seolah tak terjadi apa-apa.“Di mana Pak Tarno? Orang yang saya suruh mengantar dokumen saya,” tanyanya pada Selly.Selly menelan ludah. Membayangkan wanita di dalam sana menggoda Gavin, membuat bayangan sosok sempurna Gavin runtuh seketika.Terlebih setelah melihat Aira keluar dari ruangan itu dengan mata berkabut sedih. Gavin tampak seperti lelaki paling bajingan saat ini, istrinya hamil, dia malah berciuman dengan wanita lain.Kalau Selly yang jadi Aira, mungkin ia sudah mengamuk, menghajar Gavin sampai habis dan mencabuti rambut pelakor itu sampai kulit kepalanya terkelupas.Tapi Aira berbeda. Dengan elegen ia meninggalkan tempat itu, berp

  • Istri yang Terabaikan   Tontonan Menyakitkan

    Aira meringis. Ia langsung berbalik, tidak sanggup lagi melihat. Tangannya yang gemetar membuat berkas itu terlepas tanpa sengaja, jatuh berserakan di lantai. Cepat-cepat Aira melangkah keluar dan menutup pintu perlahan, takut kalau Gavin maupun Mitha menyadari keberadaannya, menyadari bahwa ia baru saja menjadi saksi dari adegan menjijikkan itu.Dengan kasar Aira mengusap air matanya. Napasnya ditarik dalam, tapi justru terasa makin menyesakkan. Satu menit… dua menit… ia berusaha keras menenangkan diri.Ia tidak boleh hancur seperti ini. Toh… Gavin bukan miliknya. Lelaki itu tidak mencintainya.Tanpa sadar Aira mengelus perutnya, seolah menenangkan janin kecil di dalam sana, memberi isyarat sabar, meski barusan mata mereka menyaksikan ayahnya berbuat hal memuakkan dengan wanita yang katanya hanyalah “teman lama”, sahabat Lyra.Cih! Ternyata wanita itu benar-benar membuktikan ucapannya bahwa ia bisa merebut Gavin. Kasihan sekali Lyra memiliki sahabat seperti itu.Hanya bertemu bebera

  • Istri yang Terabaikan   Desahan Di Ruangan Gavin

    Keputusan Kakek Mandala sudah bulat—Aira harus menuju penthouse milik Gavin. Namun sebelum keberangkatan itu, sang kakek terlebih dahulu memerintahkan Pak Tarno, supir kepercayaannya, untuk mengantarkan beberapa berkas penting kepada Gavin di kantornya.Pak Tarno mengemudi dengan sangat hati-hati, sesuai pesan Kakek Mandala agar tidak tergesa-gesa. Perjalanan memakan waktu hampir empat puluh menit karena ia sengaja tidak mengebut, memastikan Aira dan Mbok Inah tetap nyaman di kursi belakang.Aira yang sempat terlelap terbangun ketika mobil perlahan berhenti. Ia menatap keluar jendela, melihat gedung tinggi menjulang dengan logo perusahaan Gavin terpampang jelas di puncaknya. Ada sedikit rasa gugup yang menjalari dadanya.“Sudah sampai, Nona,” ucap Pak Tarno sopan sebelum turun membawa map berisi berkas. Ia berjalan masuk ke gedung, sementara Aira dan Mbok Inah menunggu di dalam mobil.Beberapa menit berlalu. Pak Tarno akhirnya kembali dengan wajah sedikit bingung. Ia membuka pintu dep

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status