MasukPagi-pagi Gavin sudah sampai di kantor. Bahkan beberapa karyawan tak bisa menyembunyikan raut heran saat melihat sang direktur utama sudah duduk di balik meja kerjanya, padahal jam masih menunjukkan setengah delapan.Namun Gavin sama sekali tak peduli pada tatapan-tatapan itu. Semua ini gara-gara Aira.Bayangan kejadian pagi tadi kembali terlintas dan membuat rahangnya mengeras. Rasa malu yang menusuk harga dirinya memaksanya buru-buru mandi di kamar mandi milik Aira. Dia tak sanggup menatap wanita itu, apalagi setelah Aira melihat reaksinya yang begitu memalukan, reaksi tubuh yang seolah mengkhianati logikanya sendiri. Salah sangka itu membuat Gavin merasa bodoh, dan harga dirinya jatuh tanpa ampun.Dengan langkah lebar dan perasaan jengkel yang belum mereda, Gavin memasuki ruang kerjanya.Aira telah membangunkan hasratnya, lalu menjatuhkannya begitu saja, seakan perasaannya tak berarti apa-apa.“Pagi, Mas Gavin,” sapa Selly yang baru datang, suaranya terdengar profesional seperti bi
Aira menahan napas.“Aku juga sempat mikir,” lanjut Gavin, “siapa pun yang baca pasti bakal salah paham. Kata-katanya ambigu. Seolah-olah aku ninggalin dasi saat check-in di hotel bareng dia.”Gavin menghela napas pendek.“Padahal waktu itu aku rapat di kantor bosnya Mitha. Aku lupa dasiku dan tertinggal di kamar hotel. Aku datang ke kantor mereka tanpa dasi, Mitha negur aku dan minjemin dasi milik bosnya. Aku cuma bilang, mungkin dasiku ketinggalan di kamar hotel.”Tatapan Gavin tak lepas dari mata Aira.“Entah kenapa, dia malah membelikannya dan menulis surat aneh itu. Ambigu, dan jujur saja… merepotkan.”Penjelasan itu meluncur panjang, tanpa jeda. Gavin ingin Aira paham, ingin perempuan di pelukannya ini berhenti meragukan dirinya.Gavin merasa tenang setelah menjelaskannya. Meski Aira sadar, bisa saja semua itu hanya karangan agar dia percaya.Toh, apa yang bisa Aira lakukan?Untuk cemburu saja, dia tak merasa pantas. Apa pun yang Gavin katakan, dia hanya bisa menerimanya.“Kamu
Dengkuran halus membuat Aira sedikit membuka matanya. Dia mengerjap beberapa kali saat melihat matahari menyusup lewat celah gorden, sedikit menyilaukan pandangannya. Wanita itu belum sepenuhnya sadar, seakan jiwanya masih berkelana di alam mimpi.Aira mengedarkan pandangan. Ruangan bernuansa emas berpadu cokelat membuat keningnya berkerut heran karena sama sekali tidak mengenali tempatnya berada.Aira mencoba menggerakkan tubuhnya, namun sebuah tangan kekar melingkar erat di perutnya.Seketika ingatannya terlempar pada kejadian semalam. Tangan yang kini memeluk tubuhnya dan dengkuran halus yang terdengar jelas menjadi bukti bahwa semua yang terjadi tadi malam adalah nyata, bukan sekadar bunga tidur.Ternyata bukan mimpi.Jantung Aira seketika berpacu, berdetak tak terkendali saat ingatan panas semalam menghantam pikirannya.Tentang pengakuan cintanya. Tentang Gavin yang menggendongnya menuju kamar. Tentang permintaan yang sempat dia dengar, dan sentuhan lelaki itu yang begitu lembut
Jantung Aira berdegup kencang, seirama dengan jantung Gavin yang terasa hampir meledak karena detaknya sendiri. Gavin mendorong Aira dengan lembut, jemarinya membuka kancing pakaian wanita itu hingga memperlihatkan br a hitam miliknya. Hasrat Gavin semakin menggebu. Terlalu lama menahan diri membuatnya sedikit gugup, terlebih dia tahu, Aira masih menyimpan trauma karena dirinya. Aira memejamkan mata. Gavin menyadari tubuh Aira bergetar pelan. Trauma itu masih ada. Dan dia merasakannya. "Aku menginginkanmu," ucap Gavin dengan suara serak. Gejolak di dadanya tak lagi bisa dia bendung. Dengan gerakan yang sedikit terburu, Gavin melepaskan kait rok milik Aira, lalu menariknya perlahan hingga hanya menyisakan pakaian dalam wanita itu. Aira memejamkan mata, jemarinya mengepal erat karena gugup dan takut yang bercampur menjadi satu. "Aku akan melakukannya selembut mungkin," kata Gavin lagi, suaranya parau, sarat dengan perasaan yang bergejolak. Sudah lama sekali ia mendamba, bahkan m
Mata Aira yang sayu, hitam pekat, begitu berbeda dengan Lyra. Mereka memang kembar, namun tetap memiliki perbedaan yang tak bisa disangkal. Dan entah kenapa, Gavin sangat menyukai tatapan mata Aira. Gavin menghapus air mata yang masih menggenang di sana. Ada rasa bersalah karena telah membuat wanitanya menangis. Dia mengecup kelopak mata Aira dengan lembut, penuh kasih sayang, seakan benar-benar menyesal telah menjadi penyebab air mata itu. Pandangannya kemudian turun, menatap bibir merah merekah tanpa polesan apa pun milik Aira. Bibir yang menjadi candu. Bibir yang terus menghantuinya, membuatnya ingin kembali dan kembali merasakannya. "Tutup matamu," ucap Gavin pelan. Aira justru mengernyitkan alisnya, heran. Tanpa memberi waktu untuk bertanya, Gavin kembali mengecup bibir itu, membuat tubuh Aira menegang seketika. Gavin terkekeh pelan. Dia selalu menyukai reaksi Aira, polos, kikuk, seperti anak SMA yang baru pertama kali merasakan ci uman. Bahkan matanya masih memb
Wajah Aira semakin tertekuk. Bahkan dia tidak mampu menahan matanya yang tiba-tiba terasa panas dan perih.Gavin seakan sangat bangga akan hal itu, seolah memang sengaja ingin membuat Aira melihatnya dan cemburu dibuatnya.Sialnya, itu berhasil. Aira merasakan hatinya hancur berkeping-keping.Seharusnya dia tidak merasakan perasaan ini, namun sebisa mungkin dia mencoba menghilangkannya. Sayangnya, rasa sakit karena cemburu tetap saja menggerogoti dadanya tanpa ampun.Mata sayu itu berkedip pelan, berusaha mengalihkan pandangan dari Gavin agar lelaki itu tidak melihat matanya yang kini mulai berkaca-kaca.“ya! Aku melihatnya. Dasi pemberian Mitha, sebagai pengganti dari dasi yang kamu tinggalkan di kamar hotel. Sungguh bagus sekali. Seperti biasa, dia memang selalu punya selera yang bagus, tidak seperti aku yang tidak tahu apa-apa," ucap Aira akhirnya.Matanya terasa semakin panas, sementara dadanya sesak, seolah ada sesuatu yang menghantam keras lalu meninggalkan luka. Tidak berdarah,







