“Dita, ikut denganku.”
Pagi-pagi Dita sudah ditarik ke ruangan Firdaus. Dia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan Dita. Wanita itu benar-benar sudah gila, beruntung berita itu bisa di take down oleh Lady dalam sekejap. Jadi tidak sempat meluas, untungnya Lady sangat cepat bertindak.
“Lepaskan aku brengsek, dasar sialan,” Dita berontak. Begitu dia tiba di lobby rumah sakit, tiba-tiba Firdaus datang dan menariknya paksa.
“Kau mencoba merusak semuanya? Sudah jelas kau yang menulis berita itu, kan? Aku benar-benar tidak tahu jika pikiranmu sangat licik. Kau ingin menghancurkan karirku?”
Dita tersenyum miring. Dia akan membalas semua kelakuan suaminya, tidak peduli dengan apapun yang akan terjadi. Dita sudah tidak bisa berpikir lebih jauh, semua pikirannya hanya diisi dengan acara balas dendam.
“Sudah aku katakan, jika kau tidak menceraikanku, maka ini yang akan kau dapatkan. Tidak hanya itu, aku bahkan bisa membocorkan perselingkuhan kalian di media sosial. Semua orang akan menghujat dan itu akan merusak karirmu. Jangan pernah bermain-main denganku, Firdaus. Berulang kali aku mengatakannya, bukan?”
“Kau…” nafas Firdaus naik turun, dia melepas cengkraman tangannya pada Dita. “Sepertinya kamu sudah berubah, tapi jika itu maumu, aku akan memenuhinya. Seminggu dari sekarang kita akan bertemu di pengadilan. Apa kau puas?”
“Puas?” Dita terkekeh, “tentu tidak!! Jangan lupa bahwa apartemen itu atas namaku juga.”
“Tega kamu mengusirku dan ibu dari sana? Wanita macam apa kamu ini?”
Dita benar-benar speechless, tidak sanggup mengatakan apapun. Hanya bisa mempertahankan ekspresi yang sebenarnya bukan dirinya. Dia tidak terbiasa dengan hal-hal seperti ini. Namun keadaan mengubahnya.
“Tinggal kamu yang pilih, karirmu rusak dalam sekejap atau menuruti permintaanku.”
Bangsal perawat terasa sepi. Dita yang biasa selalu ceria dan banyak bicara hari ini datang dalam keadaan diam, wajah pucat dan kantung mata menghitam. Tanpa ditanya, jelas semua perawat di bangsal tau jika Dita tidak baik-baik saja.
Ratna yang baru saja tiba langsung mendapat kode dari salah satu rekannya. Tatapannya tertuju pada Dita yang hanya diam saja. Dia menghela nafas, meletakkan semangkuk sarapan pagi.
“At least, sarapan dan isi perut dulu. No matter what, tapi perut adalah yang terutama, Dit.”
Mata Dita tertuju pada makanan di atas meja. Matanya memanas, Dita menatap Ratna yang sudah kembali ke meja kerjanya seolah tidak terjadi apa-apa di antara mereka. Seolah apa yang dia lakukan semalam tidak menjadi masalah baginya.
Dita menarik nafas, semalaman dia tidak tidur. Bahkan pasien saja takut saat melihatnya.
“Mbak, aku boleh izin pulang duluan ga? Aku belum…”
“Pulang saja, biar aku yang handle sisa kerjaan kamu,” celah Ratna, dia mengalihkan perhatiannya dari layar komputer dan menatap Dita. Jujur dia merasa kasihan padanya, di antara sesama perawat. Hanya Dita yang selalu menjadi bahan pembicaraan, tidak jarang Ratna menegur perawat lain yang mengatai Dita karena jarang ikut mereka pergi makan bersama. Dia tidak mengenal Dita secara dekat, tapi dia menyukai cara kerja Dita.
“Makasih ya, mbak. Lain waktu aku bakal ganti.”
“Kalo ada masalah jangan di tahan sendiri.”
“Gak kok, mbak. Aku cuman kurang enak badan, jadi mau pulang.”
***
Angin pantai membelai wajah Dita. Dia mengemudi 1 jam dari rumah sakit tidak menentu arahnya hingga dia berakhir di pantai yang cukup sepi. Turun dari mobil sambil telanjang kaki, Dita menuju ke bibir pantai. Mengabaikan ombak besar yang menerjang batuan.Dadanya terasa sesak, dia merasa bingung. Besar dengan keadaan serba kekurangan membuat Dita tidak pernah menuntut banyak hal dalam dirinya. Dia selalu mengutamakan kesenangan orang lain agar dirinya bisa diterima. Namun sekeras apapun usahanya, tetap tidak pernah dianggap.
“Hey, jangan berbuat bodoh. Ombaknya besar.”
Jantung Dita hampir copot saat tangannya ditarik menjauh dari tembok pemisah darat dan bibir pantai. Mata Dita melebar melihat sosok yang baru saja menariknya.
“Kamu?” Charlie mengerutkan kening dan baru menyadari wanita itu adalah sosok yang beberapa hari lalu memasuki mobilnya sambil menangis. “Apa yang kamu lakukan disini?”
“Saya….” Dita melepas tangan lelaki itu, “saya hanya ingin duduk di tepi tembok itu saja. Kenapa kamu menarik saya?”
“Duduk?” kening Charlie mengerut dan baru sadar bahwa pikirannya yang terlalu lari kemana-mana. “Maaf, saya pikir kamu mau loncat tadi.”
Keduanya canggung, namun Charlie memilih untuk tidak meninggalkan wanita itu. Perasaannya mengatakan ada yang tidak beres, gelagat wanita itu cukup membuatnya khawatir. Dan keduanya berakhir di salah satu cafe persis tidak jauh dari mereka, pemiliknya adalah kenalan Charlie.
Coklat hangat menemani keheningan mereka. Beberapa kali Charlie menatap wajah Dita dengan serius, mencoba mengingat bahwa mereka pernah bertemu dulunya. Rasanya familier dan pertemuan mereka seolah ditakdirkan. Namun melihat keadaan yang tidak memungkinkan, Charlie memilih untuk diam juga walau itu bukan tipenya.
Perasaan Dita jauh lebih hangat. Sudah lama sekali dia tidak menikmati pemandangan langit sore hari ditemani dengan segelas coklat hangat. Menoleh kesamping, Dita baru sadar bahwa lelaki itu masih tetap duduk di sebelahnya.
“Terima kasih sudah mengajak saya kemari.”
“Kamu…kamu mengajakku bicara?” tanya Charlie excited, namun ekspresi wanita itu tetap membuatnya diam lagi, “tidak masalah. Saya Charlie, kita belum kenalan padahal ini kali kedua kita bertemu.”
“Saya Dita, lebih tepatnya Anindita.”
“Nama yang indah, mirip dengan seseorang yang aku kenal,” bisik Charlie pelan, “oh ya, apa kamu seorang perawat?” Charlie memilih mengajukan pertanyaan lain, mengabaikan bayang-bayang dari masa lalunya yang seolah terikat dengan Dita.
Dita hampir tersedak dengan minumannya. “Darimana anda tahu?”
Beberapa menit Charlie diam, ekspresi terkejut Dita menurutnya sangat lucu.
“Aku hanya menebak dari pakaianmu. Bukankah kamu perawat di Rumah Sakit Nusa Indah?”
Benar juga, bahkan Dita masih mengenakan pakaiannya. Dia lupa untuk ganti pakaian, dan dia bisa kena peringatan karena tidak mematuhi prosedur rumah sakit.
“Anda sendiri bekerja dimana?”
“Saya seorang dokter, mungkin kamu tidak kenal karena aku baru masuk ke rumah sakit itu sekitar dua hari lalu. Aku dipindah tugaskan kesana.”
Dita kembali dikejutkan, dia menatap lelaki bernama Charlie itu dengan kaget. Jadi sosok lelaki bertubuh jakung itu adalah dokter?
“Tidak perlu memasang ekspresi kaget itu, Dita. Jangan sungkan, aku juga masih baru di sana dan kebetulan hari ini aku shift malam. Oh ya, aku tidak pernah melihatmu, kamu dari departemen?”
“Kejiwaan, saya perawat di sana.”
“Pantas saja, aku hampir tidak pernah kesana. Mungkin setelah ini kita bisa berbicara lebih dekat?” Charlie terkekeh, tapi melihat ekspresi bingung Dita membuatnya ikut bingung, “maksud saya seputar pekerjaan saja. Tidak usah memikirkan hal lain. Ngomong-ngomong, cincin di tanganmu bagus. Apa itu cincin tunangan?” kali ini Charlie langsung to the point, sejak tadi dia penasaran dengan benda yang terselip di jari manis Dita.
“Ah ini cincin pernikahanku.”
Dita melambaikan tangan, ini kali kedua dia diantar oleh lelaki itu. Sempat terpikirkan oleh Dita untuk membawa Charlie mampir, tapi dia sendiri tidak tahu siapa yang akan mereka temui di rumah. Langkah Dita terasa berat, dia memasuki apartemen dan tatapan mengerikan menyambutkan di sana.
“Dasar wanita tidak tahu diuntung.”
“Apa…apa yang kau…”“Dita…! Hey….sadarlah.”Suara itu, perlahan mata Dita terbuka dengan cepat. Melihat Charlie yang masih lengkap dengan pakain dan kening mengerutnya. Dita berubah panik dan melihat isi pakaiannya yang masih lengkap. “Apa yang terjadi, kau berteriak memanggil namaku tadi. Aku kira terjadi sesuatu makanya aku menerobos masuk!”Wajah Dita memerah, dia benar-benar tidak mengerti mimpi sialan apa yang masuk di kepalanya. “Tidak ada, maaf, sepertinya aku hanya kelelahan saja. Kau bisa keluar, Charlie.”“Lain kali tutup pintumu dengan baik, Dita. Kau tidak tau apa yang akan aku lakukan kan?”“Memangnya apa yang akan kau lakukan hah?” Teriak Dita panik. Buru-buru Charlie keluar sambil terkekeh. Membuat Dita malu bukan main dan kembali merebahkan tubuhnya. Dia benar-benar merasa ada sesuatu yang dia lewatkan, persis seperti apa yang Charlie katakan. Namun, tidak bagian itu juga kan? Benar-benar membuatnya merasa malu. ******“Kemana kau membawaku?”“Ahhh…kau sudah bangun
Dita menghela nafas panjang, hari ini dia pulang lebih awal dan kembali istirahat di rumah Charlie. Setelah meminjamkannya ruang tidur, lelaki itu pergi entah kemana. Mata Dita mulai lelap, terasa seperti lelah sekali hari ini. Dia ingin tidur yang benar-benar lelap. ***Hari-hari berlalu dengan cepat. Aku sedang berada di dalam kereta api, menikmati pemandangan gedung-gedung indah dari balik kaca. Langit sore dan lintasan laut ditambah dengan matahari yang kembali ke peraduannya membuatku ingin berhenti sejenak.Aku ingin melihat kampungku dulu, tempat dimana aku dibesarkan di panti asuhan. Tidak punya ibu membuatku tidak tahu bagaimana harus mengadu. Tidak punya ayah membuatku tidak tahu bahwa dunia itu sangat kejam.Charlie awalnya ingin ikut. Namun ada urusan mendadak sehingga aku berangkat sendiri walau dia tetap memaksa agar aku ditemani. Namun kali ini aku benar-benar ingin sendiri.Lembaran baru sudah dimulai, tapi aku ingin melihat dengan seksama. Siapakah Dita yang sekarang
Dengan marah dan tergesa-gasa Firdaus memasuki sebuah ruangan gelap dengan tangan kanannya menarik Dita. Sungguh! Dia begitu marah dan tidak bisa menahan diri terhadap apa yang sudah dilakukan istrinya. “Menurutmu, apa yang sudah kau perbuat hah? Apa maumu, katakan Dita!” “Mauku? Tidak ada, emangnya apa yang membuatmu sampai semarah ini?”Mata Firdaus memerah, dipenuhi dengan kemarahan. Dadanya naik turun sambil menghela nafas yang panjang. “Aku tau sekarang kau sedang balas dendam kepadaku, tapi apa kau pikir bisa menang melawanku? Tidak Dita! Tidak sama-sekali. Pikirmu dengan mengungkap semuanya bisa membuatmu hidup dengan bahagia dan membuatku menyesal? Tentu tidak! Seharusnya aku mendengar kata ibuku dulu untuk tidak menikahi wanita licik sepertimu. Tidak ada bedanya dengan manusia sampah!”“Benarkah? Itu membuatku sangat takut. Tapi…”Firdaus mengerutkan kening dan bulu kuduknya berdiri saat mendengar perkataan yang seolah ejekan itu. Dia…dia tidak pernah melihat bagaimana Dit
Nafas Dita terengah-engah begitu cengkraman di lehernya lepas. Tepat sebelum tamparan Firdaus mendarat di pipinya, pintu terbuka dengan lebar. Mata Dita menangkap sosok yang baru saja menyelamatkan hidupnya. “Charlie?” bisik Dita, dia tidak tau kenapa laki-laki yang baru saja mengantarkannya pulang itu, kini berada di hadapannya. Namun ponselnya yang ada bersama dengan lelaki itu cukup menjawab semuanya. “Ponselmu tertinggal di mobilku tadi, ceroboh sekali.” Perlahan melangkah mendekatinya, Dita terdiam cukup lama sampai tubuhnya di bawah jauh dari Firdaus. Dia merasa perselisihan di antara keduanya. “Siapa kau berhak masuk ke rumahku hah?” Bentak Firdaus. “Bukankah ini apartemenmu, Dita?” Dita mengangguk, itu memang apartemennya, dan semua gaji bulanannya yang tidak seberapa dia dedikasikan semua untuk apartemen dan semua perabotannya. Termasuk untuk biaya sekolah Firdaus juga. Dia memang bodoh, bahkan untuk dirinya sendiri, dia tidak memikirkannya. Selama ini Dita hidup dengan
“Kau melihat itu? Wah, aku sungguh tidak percaya dengannya, hanya selang sehari tidak masuk namun sudah bertindak sejauh ini. Atau karena kepalanya kena benturan sehingga dia kehilangan rasa hormatnya?”Firdaus masih mendengar ucapan buruk itu sejak tadi, biasanya dia akan menghiraukan mereka, namun untuk kali ini telinganya sedikit memanas mendengar nama dokter Charlie ikut disebutkan. Bahkan terang-terangan dikatakan jika dokter itu menyukai Dita. “Ah, kamu disini juga, Dokter Firdaus?”Firdaus hanya mengangguk, lalu kembali memeriksa rekam medis pasien yang baru saja selesai dia operasi. Pikirannya cukup terganggu dengan sikap Dita hari ini dan dia ingin menanyakannya sepulang ke rumah. Pintunya ditutup, tatapan Firdaus jatuh pada Lady yang berjalan ke arahnya dengan sensual. Dia tahu wanita itu tidak akan pernah menyerah. Mereka pernah melakukannya beberapa kali, namun untuk kali ini Firdaus tidak ingin. Satu hal yang ingin dia lakukan adalah pulang secepatnya. “Kau sudah berj
Mata Dita melebar, tidak menatap lelaki dengan tinggi 10 centi meter lebih tinggi darinya. Mereka berdiam di balik pintu, sambil mendengar percakapan Firdaus dan Lady yang penuh dengan hasrat. Begitu tangan lelaki itu dilepas dari mulutnya, Dita mundur beberapa langkah dan menendangnya. “Kau gila?”“Hey, aku justru membantumu. Kenapa menguping pembicaraan orang lain? Tindakanmu jelas kriminal, kau juga tau siapa Lady kan? Dia itu putri pak wadir, bisa jadi kau akan dikeluarkan jika ketahuan.”“Kenapa? Aku juga berhak tau apa yang mereka lakukan.”“Berhak? Ayolah suster Dita?” Lelaki itu berhenti sejenak untuk menatap name tag Dita, dan mengelus kakinya yang terasa sakit, “wahh, tendanganmu lumayan juga.”“Aku istri dokter Firdaus, dan apa kau dokter baru?”Anggukan itu membuat Dita diam, kepalanya sedikit pusing. Dia diam melihat punggung lelaki berjas putih itu. Rasanya familiar, aromanya menenangkan, namun dia tidak tahu kapan mereka pernah bertemu. “Setahuku dokter Firdaus masih
Mobil berjalan dengan keheningan yang menyelimuti didalam. Baik Charlie dan Dita, tidak satupun yang mengeluarkan suara. Persis dibelakang dan didepan, mobil mereka dikawal bak rombongan. Charlie melirik sekilas, mengamati wajah Dita, menggenggam tangan wanita itu dan mengelusnya dengan jari jempolnya. Mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja setelah kejadian yang mereka lewati. Tapi beberapa saat Charlie yang sedang fokus mengemudi menarik nafas dalam. Dia selalu khawatir akan nasib mereka. Kehidupan yang dia ingin bina, bisa saja hancur dalam sekejab. Terlebih, dia bukan orang sembarangan. Banyak musuh yang ingin nyawanya. Mungkin Charlie bisa mengatakan bahwa Dita akan selalu aman dalam pengawasannya, dan itu adalah ucapan terbodoh yang pernah dia lakukan. Ucapan untuk menenangkan jiwanya yang sangat ketakutan. “Terlihat murung, ada yang ingin dibicarakan?” tanya Charlie dikeheningan mobil. Tatapannya tertuju pada Dita yang masih diam dengan raut alis yang bertaut, namun peg
Charlie berlari sekencang mungkin menuju ruangan dimana kesadarannya dibuat hampir melayang. Pintu terbuka lebar, langkahnya berhenti di ambang pintu. Bahkan kumisnya masih tersisa setengah karena mendengar kabar bahwa Dita sudah sadar. Air mata Charlie jatuh, dia berjalan perlahan. Jantungnya berdetak kencang, menatap Dita yang kini tengah duduk di ranjang namun tidak memberikan reaksi apa-apa. Malah menatapnya dengan tatapan bingung dan kosong. Mengabaikan semua orang diruangan itu, Charlie memeluk tubuh rapuh itu. “Dita…sayang, akhirnya kamu sadar.”Dita mengerutkan keningnya, menatap Charlie bingung, bahkan tidak bereaksi apapun saat lelaki itu tiba-tiba memeluknya dengan genangan air mata. Namun rasanya nyaman, tapi Dita tidak mengingat apapun. Para dokter yang berjejer di ruangan itu menundukkan kepala, mereka belum memberitahu bahwa Dita mengalami lumpuh otak sementara yang mengakibatkan ingatannya sedikit menghilang. Sedangkan Charlie? Dia masih memeluk Dita dengan erat, m
Dita POV“Sekalipun ini mimpi, aku tetap akan bersyukur telah memilikimu. Kini, besok, seribu tahun yang akan datang, aku akan tetap berada disampingmu. Aku akan menjagamu.”“Kamu berjanji?”“Tentu saja.”“Aku akan selalu ada disampingmu! Jadi, pulanglah. Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Suara itu. Aku sudah berkali-kali mencari siapa yang berbicara. Namun tidak ada orang sama-sekali. Setiap hari aku menjalani kehidupan yang tidak ada habisnya, bertemu dengan orang-orang yang tidak aku kenali. Tubuhku seolah tidak ingin pergi dari kenangan itu. “Aku mohon kembalilah, sudah lama kami menunggumu.”Lagi. Suara serak dan penuh dengan harapan itu membuatku berlari asal, suara itu terus menghantuiku. Nafasku kian sedikit, setiap hari berlari tiada henti. “Tolong, siapapun apakah ada yang mendengarku?”Sama seperti hari-hari sebelumnya, tidak ada yang mendengar. Aku menarik nafas dalam, memilih untuk duduk. Namun tidak lama cahaya putih menyilaukan mata membuatku menutup