"Kata, Bi Sari. Kamu bukan gadis kampung yang bodoh. Artinya kau tahu apa kewajibanmu sebagai seorang istri." Malam ini adalah malam pertama Naira dan suaminya.
Naira menatap suaminya dengan lekat. Mereka baru pertama kali bertemu. Nama pun baru ia ketahui saat izab kabul tadi pagi. Apakah suaminya tidak ingin memberinya waktu.
"Maaf, Mas. Apa kamu tidak ingin memberi waktu untuk hubungan kita. Menurutku, kita menikah terlalu cepat. Aku tidak mengenalmu dan kamu tidak mengenalku. Tolong," kata Naira dengan nada suara penuh permohonan.
Suami Naira memukul meja dengan keras. Hal itu membuat Naira tersentak kaget. Sampai ia memegang dadanya yang berdetak kencang.
"Apa kau bilang meminta waktu. Dengar ini. Kau harus tau apa tujuanku menikah dengan dirimu. Yaitu melahirkan pewaris untuk keluargaku, tidak lebih. Jadi jangan harap, aku akan mencintaimu. Dan dengarkan aku. Sebelum kau memberikan aku anak laki-laki. Aku tidak akan pernah menganggap anak yang kau lahirkan itu anakku jika dia perempuan."
Belum 24 jam mereka menikah. Tapi Naira, sudah mendapat perlakuan kasar. Apa ini yang ditanamkan yang terbaik untuk dirinya.
"Kalau, Mas tidak mencintaiku atau tidak mau menerimaku. Lepaskan aku, biar aku pergi dan Mas mencari wanita yang mas cintai.
"Gampang, kamu ngomong kaya gitu. Setelah aku mengeluarkan uang yang banyak untuk menikahi kamu. Tidak!" tolaknya tegas dengan penuh penekanan.
"Tapi, Mas."
"Layani aku sebagai suamimu, aku tidak akan menyakitimu," ucapnya merendahkan suaranya.
"Mas Rendra. Aku, mohon beri aku waktu. Jujur aku belum siap," ucapnya dengan pelan.
Suami Naira yang bernama Rendra itu dengan kasar menarik tangan Naira dan melempar Naira ke ranjang.
"Sudah aku katakan, aku tidak akan menyakitimu. Tapi sikapmu yang terus saja menolak, jangan salahkan aku. Jika aku melakukannya dengan kasar."
Naira tidak menyangka, dia dipaksa menikah dengan laki-laki yang baru pertama kali bertemu oleh kedua orangtuanya. Dengan alasan jika dia adalah pria yang baik. Namun, pria baik seperti apa yang sudah menyakitinya di hari pertama menikah.
"Besok kita akan pergi ke rumah sakit untuk mengecek kesehatanmu."
Naira akan memprotes apa yang dikatakan suaminya namun, sudah lebih dulu di bungkam. " Jangan membantah," ucap Rendra tegas tanpa menerima protes apapun. Setelah menyalurkan nafsu birahinya kepada Naira, Rendra mengenakan pakaiannya kembali dan meninggalkan Naira seorang diri di kamar.
"Apa tidak ada waktu untukku, Mas." Air mata Naira kembali menetes. Bukan hanya tubuhnya yang sakit, tapi juga hatinya. Suaminya memperlakukan dirinya seperti wanita bayaran.
Dan apa yang dikatakan Naira sukses menghentikan langkah Rendra yang akan membuka pintu kamar keduanya.
"Aku tidak ingin membuang waktu terlalu banyak, Naira."
"Kasih aku alasannya," ucap Naira dengan suara terdengar serak.
"Karena aku ingin segera memiliki anak."
Jawaban Rendra tidak membuat Naira puas.
"Bukankah jika kau memberikan aku waktu, kita tetap akan memiliki anak. Aku tidak akan menolaknya jika aku sudah siap."
"Lalu bagaimana dengan pernikahan ini, jika seperti ini," pinta Naira dengan nada permohonan.
"Sudah aku katakan, pernikahan ini akan tetap berjalan, setelah kita memiliki anak, mungkin kita bisa bercerai jika pernikahan ini tidak bahagia. Tapi setelah kita memiliki anak."
Naira mengusap wajahnya kasar. Ia mencoba untuk tidak menangis, akan tetapi tidak bisa.
Sementara Rendra setelah mengatakan itu. Ia pun meninggalkan Naira sendiri di kamarnya.
"Ibu, Bapak. Pria terbaik dalam versi apa yang kau berikan padaku. Kebahagiaan apa yang akan aku dapatkan. Jangankan cita-cita ku. Izin pun tak ku genggam, pernikahan ini. Tidak memiliki cinta, hanya ada kesaktian untukku!" jerit Naira pilu di malam pertamanya.
Naira menarik selimut yang menutup tubuh polosnya. Bahunya bergetar, pertanda jika dirinya tidak bisa menghentikan tangisnya.
"Mas Rendra." Air mata Naira secara perlahan mulai menetes membasahi pipinya.
Sementara Rendra, setelah dia menyentuh Naira. Dia memutuskan pergi menemui istri pertama yang tidak pernah Nair ketahui.
Wanita yang selama ini dicintanya tapi tidak bisa memberikan dirinya anak. Bianca istri pertamanya, tidak memiliki rahim setelah mengalami keguguran beberapa tahun yang lalu saat mereka masih pacaran. Namun Tuhan menghukum mereka karena telah membunuh bayi yang tidak berdosa.
"Rendra, aku tidak mau tahu. Kau harus meninggalkan wanita itu setelah dia melahirkan anak untukmu."
"Kau tenang saja. Setelah warisan orang tuaku jatuh ke tanganku, dia akan aku buang."
"Aku pegang, ucapanmu. Tapi bagaimana jika dia melahirkan anak perempuan dan bukan anak laki-laki?" tanya Bianca.
Saat ini Rendra sedang ada di apartemen milik istri pertamanya.
"Jika dia melahirkan anak perempuan. Maka dia harus hamil kembali sampai dia melahirkan anak laki-laki."
Wanita yang ada dipelukan Rendra yang mendengar itu ada rasa takut dalam dirinya andai wanita itu melahirkan anak perempuan. Ada banyak waktu yang akan mereka habiskan dan hal itu bisa membuatnya tergeser dalam hati Rendra.
Ke esokan paginya.
"Apa kau sudah siap?" tanya Rendra. Menatap istri keduanya dengan lekat. Pagi-pagi sekali, pelayan datang dan membangunkan Naira. Memberitahunya untuk segera mandi dan bersiap karena suaminya akan mengajak ke rumah sakit untuk program kehamilan yang akan di jalaninya.
Naira tak menjawab, ia tidak balik memandang suaminya melainkan menunduk ke bawah.
"Naira!" bentak Rendra. Ia langsung saja menarik tangan Naira untuk segera berdiri.
Naira pun tersentak kaget dengan bentakan Rendra. Ia juga merasakan sakit dipergelangan tangannya.
"Sssakit, Mas." Naira menatap Rendra. Ia memohon kepada suaminya untuk tidak berlaku kasar.
"Jika aku tanya, kau wajib menjawab. Jangan diam membisu seperti patung. Aku tidak menikah dengan gadis bisukan?"
"Mas, tolong."
"Jangan membangkang. Turuti apa yang aku katakan. Aku adalah suamimu," ucap Rendra. Lalu ia pun dengan kasar menarik tangan Naira keluar dari kamar.
Rendra menatap Naira tajam. Hal itu membuat Naira menciut untuk bertanya tentang siapa wanita tadi dan apa hubungannya. Ia sama sekali tidak mengerti dengan sikap suaminya ini. Bagaimana ia bisa mengerti. Sedangkan mereka baru bertemu kemarin dan sudah menjadi suami istri seutuhnya. Tanpa ada kesempatan untuk dirinya mengenal.
Setelah dari rumah sakit, Rendra pun segera berbelanja apa yang diperlukan untuk wanita agar cepat hamil. Seperti vitamin dan juga susu. Kata dokter, Naira sudah bisa mengandung, tentu resiko itu juga ada. Namun tidak mengurungkan niat Rendra yang ingin segera memiliki anak.
"Bibi, perhatikan Naira. Jangan sampai dia melakukan pekerjaan yang berat, dan satu lagi, jangan sampai Naira pergi ke rumah utama, pastikan dia selalu berada di paviliun."
Jika kalian berpikir Naira tinggal di rumah besar milik keluarga Rendra, maka jawabannya salah. Meskipun, Rendra pria kaya dan juga seorang pengusaha. Namun Naira hanya menjadi istri simpanannya. Pernikahan mereka tidak dipublikasikan.
"Tuan, mau kemana?" tanya bibi yang ditugaskan menjaga Naira.
"Aku aku ada perjalanan bisnis beberapa hari. Bibi awasi dia." Setelah memenuhi apa yang dibutuhkan Naira. Rendra pun pergi ke kantornya tanpa pamit.
Naira yang melihat itu pun tidak peduli. Ia merasa bahwa pernikahan ini, bukan pernikahan yang sehat. Untuk itu, Naira memutuskan untuk pulang ke kampung dan meninggalkan suaminya. Ia tidak peduli dengan apapun yang ada di sini.
Sehingga Naira mencari waktu yang tepat untuk pergi dari paviliun. Seperti apa yang dikatakan oleh Rendra yang akan melakukan perjalanan bisnis. Sore harinya Naira mengemasi pakaiannya yang tidak seberapa itu pulang ke kampung.
"Non, Naira mau kemana?" tanya bibi.
"Aku mau pulang saja, Bi."
Jawaban Naira membuat pembantu yang di tugaskan Rendra tentu saja terkejut. Baru kemarin Naira datang, tapi sudah ingin pulang.
"Loh kenapa?" tanyanya.
"Nama Bibi siapa?" tanya Naira.
"Nimah, Non."
"Baik, Bi Nimah. Aku tau, apa yang aku lakukan adalah salah. Tapi jujur, aku tidak bisa menerima, Mas Rendra. Dan pernikahan ini. Aku tidak bahagia."
Naira mengungkapkan isi hatinya. Dia tetaplah gadis kampung yang masih polos.
"Tapi, Non."
"Mas Rendra itu jahat, Bi. Dia akan menceraikanaku setelah aku hamilhamil dan melahirkan. Kalau, begitu bukankah lebih baik aku pulang."
Bi Nimah menatap Naira lembut. Ia berusaha memberi pengertian kepada istri muda tuannya.
"Seorang istri, tidak baik meninggalkan suaminya. Bagaimanapun kondisinya."
"Bi Nimah, tapi Naira tidak bisa seperti istri yang lain bisa sabar dan mau menerima dan menunggu sampai suami Naira cinta."
Naira menghela nafasnya kasar. Ia ingin pulang, hanya itu.
"Non, menurut Bibi. Sebaiknya, Non Naira sabar dulu."
Naira menolak, ia tetap pada pendiriannya. Ia pulang dan tidak mau tinggal dengan Rendra.
"Maaf, Bi. Tapi aku gak bisa."
Naira pun segera mengambil tas miliknya. Ada uang yang tersisa. Naira rasa itu cukup untuk ia pulang.
"Non Naira!" panggil Bi Nimah. Berusaha mengejar Naira yang berlari meninggalkan paviliun.
Naira tidak menjawab. Ia lebih memilih melanjutkan langkahnya yang ingin pulang ke rumahnya.
Sementara Bi Nimah yang melihat Naira begitu cepat berlari. Akhirnya memutuskan untuk menelpon Rendra. Memberi tahu tentang Naira yang pergi. Tentu kabar itu membuat Rendra emosinya.
"Dasar gadis kecil. Sepertinya, kau harus dapat pelajaran agar kau mengerti," ucap Rendra sambil mengepalkan tangannya erat.
"Undur pertemuan ke Bandung jadi lusa!" Perintah Rendra pada asistennya.
"Apakah yang aku lakukan sudah benar?" "Semoga saja setelah aku sampai di terminal, aku mendapatkan bis langsung ke terminal." pikir Naira. Naira berlari melewati gerbang tinggi rumah Rendra. Tidak peduli hari sudah sore, kondisi alam pun sedang tidak baik. Perjalanan menuju kampung Naira pun cukup jauh. 2 jam perjalanan ketika kondisi jalanan lancar tanpa macet dari kota ke kampung Naira. Namun karena di tengah jalan hujan. Naira memutuskan untuk berteduh terlebih dahulu. Hingga pukul 8 malam Naira baru sampai. Namun, bukan sambutan hangat yang ia dapatkan. Naira malah di usir oleh ibunya untuk kembali ke rumah Rendra. "Kembali ke rumah suamimu!" titah ibu Naira dengan tegas. Namun, Naira menggelengkan kepalanya. menolak apa yang ibunya perintahkan. Naira tidak ingin kembali pada suaminya. "Ibu. Aku sudah bilang, dia itu pria jahat Bu, tidak punya perasaan. Dia akan meninggalkan aku setelah aku melahirkan anaknya." Naira mohon izinkan Naira masuk." Dengan kondisi yang lelah d
Beberapa hari ini Naira hanya bisa diam dan termenung atas apa yang terjadi dengan dirinya. Namun hari ini, Naira sadar. Kenapa pintu kamarnya selalu dikunci setelah pelayan mengantarkan makan untuknya. Dia bukan burung yang di kurung tidak boleh kemana-mana. Yang hanya dikasih makan minum dan tempat tinggal. Meskipun semuanya tercukupi. Tapi tidak membuat si burung bahagia. "Non, ini makanannya. Bibi ambil piring sama pakaian kotornya ya," ucap pelayan yang setiap harinya mengantarkan makanan untuknya. "Bi, boleh Naira bertanya?" Naira menatap lekat pelayan yang diperkirakan seusia ibunya. "Boleh," balasnya. "Kenapa setiap kali Bibi pergi. Pintunya selalu dikunci?" tanya Naira. Naira turun dari atas ranjangnya dan menghampiri pelayan yang berusia 40 tahunan itu. "Maaf, Non. Soal itu Bibi gak bisa jawab. Bibi hanya menuruti apa kata, Tuan Rendra." Naira yang mendengar itu menunduk lesu. "Bi, izinkan aku keluar ya," pinta Naira. Dia menggenggam tangan wanita itu dengan memoho
Naira menutup seluruh tubuhnya yang polos tanpa sehelai benangpun. Setelah melayani suaminya. Naira tidak berkata apa-apa lagi. Hanya ada rasa lelah baik batin maupun fisik. "Besok kita akan ke rumah sakit." "Untuk apa?" tanya Naira. Wajahnya ia tenggelamkan di bantal empuknya. Sedangkan Rendra dia merapihkan dirinya, bersiap untuk pergi. "Untuk memeriksa apa kau sudah hamil atau belum." Naira memegang selimutnya dengan erat. "Kita menikah baru 1 bulan, apa mungkin aku hamil secepat itu?" tanya Naira dengan suara pelan Rendra melirik istrinya yang tertutup selimut. "Meskipun baru 1 bulan. Kita sudah bisa tau kau sudah hamil atau belum." Naira mengetatkan rahangnya. Ia berdo'a jika dia tidak hamil sampai satu tahun ke depan. "Aku tidak akan hamil," ujar Naira. "Jangan memancing amarahku, Naira." "Kenapa? Kau tidak terima." "Dokter mengatakan kau adalah wanita subur, siklus datang bulanmu lebih cepat dari wanita kebanyakan. Bisa dipastikan, sekarang anakku tumbuh di rahmimu."
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Naira hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!" Bianca meradang mendengar pembelaan Rendra terhadap Naira."Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki, tanpa harus aku menikah lagi." Rendra berusaha menjelaskan.Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahag
Naira yang merasakan sakit di pergelangan tangannya pun melihat wajah suaminya dengan penuh tanya. "Kenapa, Mas. Marah?" tanya Naira. "Aku itu suami kamu, harusnya kamu tidak berkata seperti itu!" Rendra tidak suka dengan keberanian Naira. Naira tertawa. "Kenapa aku tidak boleh berkata seperti itu, bukankah tadi kamu bilang sendiri, Mas. Jika aku tidak boleh mengharapkan kamu pulang. Lalu kenapa sekarang jawabanku salah." "Aku adalah suamimu, harusnya kamu menghargaiku seperti istri yang lainnya. Kamu sangat berbeda dengan…." Rendra menggantung ucapannya. Hampir saja dia mengatakan Bianca sebagai istrinya di hadapan Naira. "Untuk apa aku menghargaimu, Mas. Jika kamu sendiri tidak mau menghargaiku sebagai istri. Lalu aku sangat berbeda dengan siapa? kekasihmu? Tentu saja kami berbeda." Naira berusaha melepaskan diri dari cengkraman suaminya. Rendra menghempaskan tangan Naira yang sudah memerah. "Sudahlah, aku tidak mau berbicara denganmu. Kamu itu wanita kampung dan sialan." Ti
Rendra tidak tahu harus bagaimana lagi cara menghadapi wanita tua yang ada di hadapannya. Haruskah dirinya membawa Naira pergi dari rumah ini seperti dirinya membawa Bianca pergi agar kesehatan mentalnya aman. "Berhenti ikut campur dalam urusan rumah tanggaku. Jika kau terus melakukan hal itu. Aku tidak akan segan-segan menyakitimu. Aku tidak peduli jika kau adalah istri dari ayahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun merasa sedikit takut. Saat ini dirinya tidak memiliki kekuasaan apapun termasuk harta akan tetapi Laras tidak akan berhenti sampai Rendra gagal mendapatkan seorang pewaris. "Aku tidak akan mengganggu wanita itu jika saja kamu tidak membawa wanita kampung itu." Rendra mengangkat tangannya, ia memberikan sebuah tanda kepada Laras untuk diam. "Diam atau akan aku pastikan. Jika mulai besok kau dan anakmu itu pergi dari rumahku." Laras yang mendengar ancaman Rendra pun sama sekali tidak takut karena dengan istri kedua Rendra pergi meninggalkan paviliun dan bayi it
Rendra tidak menjawab pertanyaan Naira. Dirinya memilih turun dan memutuskan untuk meminta mangga muda tersebut. Dengan resiko menanggung malu. Sedangkan Naira yang melihat suaminya berusaha mendapatkan mangga yang diinginkannya pun seketika perasaannya menjadi sensitif. Ada rasa haru dalam dadanya padahal beberapa saat yang lalu dirinya tidak peduli dengan apa yang Rendra lakukan. Mungkin karena bawaan bayi yang ada di dalam perutnya. "Ada apa dengan perasaanku. Kenapa melihat mas Rendra yang berusaha mencari mangga muda untukku kenapa hatiku merasa senang? Jangan Naira. Jangan mudah terbawa perasaan." "Permisi!" "Permisi!" sejak lagi Rendra mencoba memanggil pemilik rumah yang terdapat buah mangga tersebut. "Iya, selamat siang, Pak. Ada yang bisa di bantu," suara seorang wanita berpakaian rumahan menyaut ucapan permisi Rendra. "Maaf apakah Ibu ini adalah pemilik rumah ini. Jika iya saya ingin membeli mangga muda punya Ibu boleh?" tanya Rendra bersikap baik. "Maaf, Pak. Ini bu
"Kita sudah membicarakan hal ini, kamu menyetujui aku menikah lagi dengan Naira. Ini adalah resikonya, lalu kenapa kamu marah ketika Nayla hamil."Bianca menatap Rendra dengan tatapan penuh amarah. "Istri mana yang tidak sakit hati, ketika suaminya telah melakukan hal itu dengan wanita lain. Meskipun itu adalah istri keduanya. Hati aku sakit Rendra!""Tapi aku sudah berusaha untuk melakukan yang aku bisa, aku menyentuh Naira agar dia cepat hamil. Dan harta milik ibuku jatuh kepadaku bukan kepada saudara tiriku atau Ibu tiriku. Kamu sejak dulu tahu itu, andaikan saja waktu itu kamu tidak menggugurkan kandunganmu. Mungkin kamu bisa hamil dan kita bisa memiliki anak tanpa harus aku menikah lagi."Bianca yang mendengar ucapan suaminya, mengusap wajahnya kasar. Memang ini semua salah dirinya, andaikan dulu dia tidak mengambil keputusan yang ceroboh. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. Dia akan bahagia memiliki Rendra seutuhnya tanpa ada orang ketiga di dalam rumah tangga mereka."K