Share

003. Mengenang Salah

Perasaan hati Luna masih tidak baik-baik saja. Ia lebih banyak diam, hingga Rizky pergi ke kantor, tadi. Perempuan itu kini berdiri dan mematut diri di depan cermin. Ia menyaksikan penampilan dan bentuk tubuhnya yang makin tidak ideal, lalu membandingkan dengan sosok Zizi yang terekam jelas di ingatan. Sungguh miris.

Perlahan, sebelah tangan meraba wajah yang begitu buruk. Padahal sebelumnya, meski masih ada jerawat, tetapi tidak separah ini. Setidaknya, cukup bisa ditutupi dengan alas bedak atau BB krim yang dijual di pasaran. Sedangkan jika seperti ini, bagaimana cara mengakali wajah yang meradang, bengkak, kasar. Bahkan, kulit aslinya yang putih saja sampai tidak terlihat dari muka itu.

Luna mundur, lalu terduduk di tepian dipan. Ia meremas dada. Ingin rasanya kembali ke saat-saat dulu, di mana rupanya baik-baik saja. Tubuhnya masih bagus, tidak segembrot sekarang. Andai, stres tidak membuatnya kalap makan. Jika saja, rasa bahagia karena telah diratukan oleh Rizky setelah menikah tidak menyebabkannya lena dari merawat diri. Akan tetapi, semua sudah terlanjur terjadi. Kini, Luna hanya bisa menyesal dan meratapi.

“Ih, kamu Ky, akhirnya dapat Luna juga, ya. Hebat banget. Padahal, angkatan dia, banyak yang tergila-gila, lho. Luna itu memang bukan yang paling cantik di kampus ini. Tapi, dia itu enak dipandang, memikat aja gitu.”

Itu ucapan Nasir, salah satu teman dekat Rizky yang juga akrab dengan Luna. Usut punya usut, pria itu juga sempat menyukai perempuan yang sudah berhasil dinikahi oleh Rizky, tetapi tak pernah terkata karena keduluan sahabat sendiri.

Tak dipungkiri, dulu Luna pun begitu sering melakukan swafoto, lalu memposting ke media sosial. Banyak yang mengomentari dan menyukainya. Rizky sempat dibuat uring-uringan dengan komentar para lelaki yang terang-terangan memuji kecantikan alami milik Luna, terlebih senyumnya dinilai mengandung ‘gula’, menyebabkan banyak pria ‘diabetes’ saat melihatnya.

Hingga di awal pernikahan pun, Luna masih sering memposting banyak hal. Apa saja di jadikan status F******k. Sedang memasak untuk suami, dijepret, lalu posting ke sosial media. Menyiapkan bekal Rizky pun di-upload. Pergi jalan berdua, diunggah. Foto mesra berdua dimasukkan ke F******k dan I*******m.

“Gunanya apa posting-posting begitu, Sayang. Hapus aja, ya. Kita nggak perlu menunjukkan apa-apa ke semua orang. Sebab, nggak semua juga yang menyukainya. Cukup, kebahagiaan ini kita yang rasakan. Cukup, foto kamu, disimpan di galeri HP aja. Sudah cukup kita pamer-pamer ini dan itu. Nggak ada gunanya.”

Luna ingat betul ucapan Rizky yang selalu diulang-ulang setiap kali menasihatinya. Hanya saja, ketika itu, Luna masih membandel. Ia tak mau mendengarkan perkataan suami sendiri. Baginya, Rizky terlalu lebay. Lagipula, tujuannya memposting ini dan itu juga baik, ingin menunjukkan pada semua, bagaimana bahagianya setelah menikah. Supaya yang masih berpacaran, bisa menyegerakan untuk menghalalkan hubungan mereka.

Sampai pada suatu waktu, Luna tergiur ingin mencerahkan wajah dengan produk yang katanya ampuh untuk membuat kulit muka glowing hanya dalam waktu satu minggu. Ia pun membeli produk itu tanpa sepengatahuan Rizky. Uang hasil dari resign bekerjanya di salah satu kantor notaris masih tersimpan dengan utuh, hingga ia bisa membeli produk yang diinginkan tanpa mengurangi jatah bulanan dari sang suami.

“Abang … mukaku gatal,” keluh Luna suatu pagi, setelah satu minggu menggunakan produk tersebut, tiga bulan yang lalu.

“Astagfirullah, Yank. Itu kenapa mukanya bentol-bentol, memerah gitu?” Tanggapan dari Rizky, justru membuat jantung Luna berdebar kian kencang.

Perempuan itu segera menoleh ke cermin. Ia berteriak di Subuh buta, meratapi wajahnya yang memburuk.

“Udah, jangan nangis kayak gini, ya. Nanti kita berobat ke dokter kulit aja,” bujuk Rizky tidak tega melihat Luna menangis seperti itu. Namun, perempuan tersebut terus tergugu sambil menahan gatal-gatal di wajah.

“Akhir pekan, Abang antar ke dokter kulit. Untuk sementara, jangan digaruk dulu mukanya. Takut, nanti malah makin parah.”

Rizky dengan sabar menanggapi kejadian tersebut. Padahal, ia pun ikut terganggu dengan hal yang menimpa sang istri. Hanya saja, dalam kondisi seperti itu, Luna tidak mungkin dipersalahkan. Rizky terus memeluk dan menguatkan istrinya supaya tidak terlalu memikirkan sesuatu yang telah terjadi.

Ponsel Luna berdenting, membuyarkan lamunannya dari kejadian yang menjadi punca perubahan sikapnya saat ini, kepada Rizky.

[Lun, kamu lagi apa? Aku mau curhat.]

Zahra, sahabat dekat Luna sejak SMA yang mengirimkan pesan.

[Nggak ada. Kamu tahu aku di rumah nggak ngapa-ngapain, jadi nggak perlu basa-basi nanya-nanya kek gitulah. Emangnya kamu, pegawai bank. Tiap hari dandan yang cantik. Perawatannya juga mahal. Entahlah.]

Perempuan itu malah mengeluarkan uneg-uneg kepada Zahra yang sama sekali tidak tahu apa-apa.

[Ini bocah ngapa, yak? Kamu lagi ‘M’? Atau lagi kurang perhatian? Aneh banget tahu nggak.]

Zahra kebingungan. Padahal, tadinya ia yang hendak curhat. Eh, malah si Luna yang lebih dulu adu nasib kepadanya.

[Nggak, sih. Sorry, ya. Aku cuma lagi badmood aja. Biasalah.]

Luna membalas setelah menetralkan perasaan kacau yang tak sepenuhnya membaik. Ia bahkan merebahkan tubuh di atas ranjang. Lelah saja rasanya raga itu. Padahal sama sekali tidak melakukan apa-apa sejak tadi. Memasak pun tidak, sementara sambal sudah habis untuk satu kali makan lagi.

[Aduh, ya udah, deh. Keknya aku nge-chat di waktu yang nggak tepat.]

Setelah membaca balasan dari Zahra, Luna mendengkus sendiri.

“Hih, dasar sahabat nggak peka. Dia sendiri aja terus yang mau dimengerti. Giliran aku udah kasih kode butuh perhatian, eh, dia malah mau udahan aja chatting­-nya.”

Perempuan itu memilih mengabaikan lebih dulu pesan yang sudah dibacanya tersebut. Kemudian, ia membuka galeri foto, di mana, begitu banyak memori yang tersimpan di sana; antara dirinya dan Rizky, di masa lalu.

“Abang udah pernah bilang ‘kan. Nggak baik sering pamer, apalagi foto diri sendiri. Kamu itu nggak mau dibilangin. Abang pernah dengar ada yang namanya penyakit ‘ain. Nauzubillah, kalau ternyata kamu memang kena. Tapi, Abang berharap, setelah pergi ke dokter kulit, wajahnya bisa membaik lagi.”

Rizky akhirnya mengatakan apa yang ingin ia sampaikan, setelah satu minggu berlalu dari kejadian awal rusaknya wajah sang istri. Saat itu, Luna masih belum mengaku jika dirinya membeli produk kecantikan yang tidak jelas kandungan dan izinnya. Hanya termakan iklan, ia langsung bergerak cepat memesan.

Seperti kata pepatah, bangkai yang disembunyikan lama-kelamaan akan tercium juga baunya. Rizky menemukan kotak skin care yang entah bermerek apa, terjatuh dari atas lemari ketika ia menggapai-gapai untuk memeriksa benda yang dicari.

”Jadi karena make ini makanya jadi kek gitu mukanya. Astagfirullah, Sayang. Kenapa kamu nggak ngomong. Apa-apa itu seharusnya bicarakan sama Abang.”

“Tapi, belinya sama duit resign aku sendiri, kok.” Luna masih membela diri kala itu.

“Nggak peduli dari uang siapa pun. Yang penting itu, bilang dulu. Kalau Abang tahu, pasti Abang bakalan larang kamu. Atau karena itu, nggak mau dilarang, makanya berbuat sesuka hati?”

Luna menangis mendengar tuduhan suaminya tersebut.

“Aku justru pengen kasih kejutan sama Abang. Kalau wajahku jadi cerah dan glowing, kan Abang jadi tambah sayang, nggak ngelirik cewek lain di luar sana.”

***Next>>>

Komen (3)
goodnovel comment avatar
ida Sari
semua sdh terjadi ga bisa di sesali lagi Luna,,yg penting skr km itu jgn lagi sembarangan pake skin care yg akan merusak wajah km dan ingat dengerin tuh apa kata suami km,,dia melarang km juga demi kebaikan km
goodnovel comment avatar
Endah Spy
tapi saran mas rizky bner lho lun .. gak perlu laa apa2 di post di sosmed aplg masalah foto sendiri yoh kamu dah punya mas rizky buat apa coba pajang2 .. yg ada nambah dosa nantinya ..
goodnovel comment avatar
Endah Spy
duhh luna padahal gak perlu pake skincare mas rizky gak akan berpaling sama kamu lho.. gak ada niatan sama sekali malah ..
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status