Share

Bab 2

Author: Moms Qi
last update Last Updated: 2024-11-29 12:08:28

Tok!

"Neng, ada temen kamu, Ulfa!" ucap Nuriyah memberitahu, sambil mengetuk pintu kamar Arinda.

"Tunggu sebentar, Bi. Baru ganti baju!" teriak Arinda dari dalam kamarnya.

"Ya sudah. Nanti langsung keluar saja, ya?"

"Iya, Bi!"

Arinda mengganti bajunya dengan cepat. Tak ingin membuat kawan lamanya menunggu dirinya terlalu lama.

Ceklek.

Dia langsung berjalan menuju luar, bibirnya langsung melengkung, saat melihat temannya itu duduk menghadap ke jalanan.

"Ulfa!"

Wanita yang dipanggil Ulfa itu langsung menoleh. Dia sama tersenyum lebar seperti Arinda.

"Aaa, Rinda!" teriak Ulfa tak kalah hebohnya.

Keduanya langsung berpelukan. Melompat-lompat, persis seperti anak kecil yang baru mendapatkan mainan baru.

"Kangen banget sama kamu!" seru Ulfa, masih memeluk Arinda yang kini mulai kesulitan bergerak.

"Haha. Iya tahu kalo kamu kangen. Tapi, kamu bikin aku sesak napas, hey!"

Ulfa buru-buru melepaskan pelukannya, menatap ke arah Arinda. Kemudian, keduanya kembali tertawa lepas.

"Duduk, yuk! Aku pengen ngobrol banyak sama kamu!" ajak Ulfa.

Mereka berdua duduk di dipan, sambil menatap jalanan yang tidak terlalu ramai malam ini.

"Bisa-bisanya kamu balik nggak kasih kabar ke aku," ucap Ulfa, merajuk.

"Hehe, maaf. Tadinya, mau buat kejutan," sahut Arinda, merasa tak enak hati. Dia merapikan jilbabnya yang tertiup angin malam.

"Ih, jahat banget. Dua tahun nggak ketemu, balik-balik langsung bawa calon suami aja," ledek Ulfa. Namun, dia mengatakannya dengan nada yang riang gembira.

"Apa cowok di desa kita ini nggak ada yang tampan, Rin? Sampai-sampai, kamu harus mencarinya ke luar kota?" cibir Ulfa lagi.

"Aduh, bukannya gitu. Itu juga nggak sengaja ketemu sama dia di sana, Fa," sahut Arinda, menggaruk pipinya yang tidak gatal.

"Haha. Iya, tahu. Canda doang kali!" Ulfa tergelak melihat ekspresi Arinda yang salah tingkah.

"Kamu udah kenal lama sama dia?" tanya Ulfa, berubah serius.

Arinda menggeleng. "Baru beberapa bulan ini, sih. Dia dulu sering nginep di hotel tempat aku bekerja," jelas Arinda.

Mata Ulfa langsung membulat sempurna. "Apa? Baru beberapa bulan, dan kalian sudah memutuskan untuk menikah cepat?" tanyanya kaget.

Arinda kembali mengangguk. "Dia ngajak nikah, Fa. Masa ditolak, sih?"

Ulfa menepuk jidatnya, merasa gemas dengan temannya ini. "Kamu sudah tahu di mana rumahnya? Orang tuanya? Pekerjaannya? Terus statusnya?" cecar Ulfa dengan berbagai rentetan pertanyaan.

Arinda menepuk pelan pundak Ulfa. "Satu-satu atuh nanyanya. Kan, aku jadi bingung juga jawabnya."

"Ya udah, kamu jawabnya satu-satu aja!" Ulfa menyahut santai.

"Jadi, calon suami aku itu punya usaha properti. Tapi, aku nggak tahu tepatnya di mana."

"Oke, terus?"

"Terus, aku juga udah ketemu sama orang tuanya. Dia anak tunggal, dan dia masih tinggal sama orang tuanya," lanjut Arinda lagi.

"Tunggu bentar. Dia punya usaha, tetapi masih tinggal sama orang tuanya? Agak aneh, sih," potong Ulfa, berpikir.

Arinda terdiam sejenak. "Eum, mungkin, dia ingin menemani orang tuanya ‘kan?"

"Lalu, kalo kalian nikah, tinggal di rumah orang tuanya, begitu?" tanya Ulfa lagi.

Arinda menggeleng cepat. "Mas Ardi bilang, dia bakal beli rumah untuk kita tinggali berdua nanti, Fa."

Ulfa tampak sedikit lega mendengarnya. Sepertinya, dia takut kalau Arinda harus tinggal satu atap dengan mertuanya.

"Lalu, dia jomblo ‘kan?" tanya Ulfa lagi.

Arinda mengangguk cepat. "Jomblo, sih. Tapi ...." Gadis itu ragu hendak meneruskan kalimatnya.

"Kenapa? Ngomong aja nggak apa-apa, Rin."

"Dia nikahi aku nanti secara siri," lirih Arinda, takut jika ada tetangga yang mendengarnya.

"Apa? Kenapa harus begitu?" tanya Ulfa tidak mengerti.

"Entahlah, Mas Ardi bilang, yang penting kita sah aja dulu. Nanti bakal diurus lagi untuk nikah resminya," jelas Arinda.

"Dan kamu mau?" tanya Ulfa cepat, matanya sedikit melotot menatap Arinda.

Arinda mengangguk. Tidak paham dengan tatapan Ulfa yang mulai berbeda.

"Aduh, Arinda! Apa kamu nggak takut, kalo dia udah ada bini?" tanya Ulfa.

"Kok kamu ngomongnya gitu, sih, Fa?" tanya Arinda dengan wajah tidak suka.

"Ya kamu pikirlah, Rin. Kamu ‘kan pinter?" sahut Ulfa bertambah kian gemas dan kesal.

"Kalian baru kenal. Dia udah berani ngajak nikah." Dia mencoba merangkai kalimat yang lebih mudah untuk dipahami.

"Ya oke, tidak masalah. Memang, lebih baik menikah daripada pacaran. Tapi, ini nikah siri, Rin?!"

"Kamu nggak takut gitu, kalo dia cuma manfaatin kamu? Apalagi, dia tahu kamu cuma orang desa!" seru Ulfa, mengutarakan apa yang ada di dalam otaknya.

"Fa …." Suara Arinda mulai bergetar. Mulai memahami apa yang Ulfa katakan.

"Aku ngomong gini, cuma nggak mau kamu nanti dibohongi sama dia," imbuh Ulfa, menyadari perubahan ekspresi Arinda yang kini terlihat sendu.

"Terus, aku harus gimana? Udah terlanjur juga. Tinggal dua minggu lagi …," gumam Arinda.

Dia memang sedikit ragu. Tapi, dia tidak ada pikiran sampai ke sana.

"Ya sudahlah. Semoga saja, apa yang aku takutkan tadi tidak terjadi."

"Aku balik dulu. Takut anakku nyari. Aku akan datang ke pernikahan kamu nanti!" Ulfa pamit pulang. Kembali menaiki motor matic keluaran terbaru itu.

Arinda menatap nanar ke jalanan yang mulai lenggang. Kembali memikirkan kalimat Ulfa.

"Apa Mas Ardi seperti itu? Ah, kenapa aku jadi takut?"

"Lho? Ulfa mana, Neng?" Nuriyah keluar, celingak-celinguk mencari keberadaan teman Arinda.

Arinda menoleh, memaksakan senyum tipis di wajahnya. "Sudah pulang, Bi. Takut anaknya nyariin katanya," jelasnya menghela napas panjang.

"Oh, begitu! Ya, sudah. Lebih baik, ayo masuk saja!" ajak Nuriyah.

Arinda menurut, dia mengikuti langkah kaki sang bibi yang kembali masuk ke dalam rumah.

"Bi, aku ke kamar aja ,deh," putus Arinda akhirnya. Dia masih kepikiran dengan kata-kata Ulfa tadi.

"Iya, sana ke kamar aja. Bibi juga mau lanjut istirahat aja biar cepet enakan badannya," sahut Nuriyah setuju.

Arinda memutuskan untuk mengunci pintu dan jendela sebelum membawa kakinya melangkah ke kamar. Setelah memastikan semuanya aman, barulah dia masuk ke dalam kamar.

Tangannya dengan cepat meraih ponselnya yang tergeletak di atas ranjang, mencari nomor Ardi dan langsung menekan tombol panggilan.

Belum ada tanda-tanda Ardi akan mengangkat panggilannya. Jika biasanya dia tidak akan berpikir yang macam-macam, tetapi kali ini sungguh berbeda.

"Aku baru sadar, aku tidak pernah berkomunikasi dengan Mas Ardi saat malam hari," gumam Arinda dengan dada yang mulai sesak. Dia takut dengan dugaan yang kini memenuhi otaknya.

"Astaga, Arinda! Jangan berpikir yang tidak-tidak!" ucapnya, mencoba menekan nomor Ardi lagi.

Terhitung, ini sudah panggilan ke lima yang dia lakukan.

"Oke. Coba sekali lagi," putus Arinda tak mau menyerah.

Tepat panggilan ke enam, Ardi menjawab teleponnya.

"Hallo?"

Deg!

Jantung Arinda rasanya ingin keluar detik itu juga. Bukan suara Ardi yang dia dengar. Melainkan suara seorang wanita.

"Hallo? Ini siapa, ya?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 24

    "Sudahlah, Sayang. Nanti kamu juga akan ketemu sama mereka lagi pas balik ke desa," ucap Ardi, menenangkan. Arinda mengangguk. Namun, tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya. Dia kecewa, karena semuanya tidak seperti yang dia harapkan. Harusnya, dia bisa berpamitan dengan teman-temannya terlebih dulu. "Entah kapan aku bisa kembali ke desa," batinnya. "Apa Mas Ardi sengaja memajukan jadwal kita karena ingin segera bertemu dengan wanita itu? Atau memang Mas Ardi benar-benar ada urusan?" batin Arinda kembali bertanya-tanya, menatap sebentar ke arah suaminya itu. Entahlah. Rasanya, sekarang dia mulai tidak percaya kepada laki-laki yang duduk di sebelahnya saat ini. Padahal, dia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Arinda memejamkan matanya, menghalau rasa sesak di dadanya. "Tenanglah, Rin. Semuanya akan baik-baik saja!" ~~~ Sampai di kota. Mobil yang membawa

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 23

    Arinda melongo sejenak. Mengerjapkan matanya untuk mencerna apa yang baru saja dia dengar itu. "A–apa? Dia tidak meminta haknya malam ini?" batinnya sedikit bingung. Lagi-lagi mereka tidak seperti pasangan suami istri baru yang lainnya. "Tidurlah, istirahat!" Ardi menepuk ranjang di sebelahnya, memberikan kode agar Arinda segera mendekat. Arinda menurut, naik ke atas ranjang tanpa melepaskan penutup kepalanya. Ia merebahkan tubuhnya di ranjang itu dengan canggung. Tidak ada percakapan, hanya hening yang mengisi ruangan sempit itu. Dan Ardi tampaknya juga sudah terlelap tak lama Arinda naik. Arinda menatap suaminya yang sudah memejamkan matanya. Dengkuran halus mulai terdengar, pikiran Arinda kembali bercabang. Malam pertamanya, sangat jauh dari yang dia bayangkan. "Apa ini? Apa ada sesuatu yang dia sembunyikan?" "Bahkan, dia enggan menyentuhku?" batinnya dengan mata yang terasa p

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 22

    "Aarrgh!"Brak!Pyar!Sampai di rumah, Ayu membanting semua yang ada di meja riasnya. Skincare, alat-alat makeup, parfum dan semua yang ada di sana jatuh ke lantai, pecah berserakan. Hancur menjadi bagian yang sudah tak bisa digunakan lagi."Hiks! Tega kamu sama aku, Mas!""Jahat kamu, Mas! Jahat!" teriak Ayu histeris. Dia menangis meraung-raung, kembali melempar sprei di atas ranjangnya beserta semua yang ada di sana.Sekali lagi, Ayu menjerit keras. Meluapkan semua sesak yang ada di dadanya. Hatinya begitu nyeri, seperti ada ribuan duri yang menancap di sana."Hah!" Napas Ayu tersengal. Tubuhnya mulai lelah, tak bertenaga. Dan akhirnya, dia jatuh ambruk ke lantai. Terduduk dengan memeluk lututnya sendiri, sembari terus menangisi nasibnya yang begitu malang."Sepuluh tahun, Mas. Akhirnya, kamu sudah tidak bisa menahan rasa itu hanya untuk aku saja," gumam Ayu terdengar pilu."Rasanya, sungguh tidak bis

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 21

    "Tolongin Arinda, Mas. Kayanya, calonnya bukan orang baik-baik deh," lanjut Sri lagi, masih dengan berbisik."Kenapa Sri dan ibu bisa berpikiran yang sama, ya?" batin Dika dengan kening mengkerut."Kenapa kamu ngomong gitu, Sri? Kamu kenal sama calonnya Arinda?" tanya Dika balik. Dan bisa-bisanya, dia juga ikut berbisik seperti yang Sri lakukan.Sri menggeleng lemah. "Sebelum aku kecelakaan, aku sempat tanya sama Wina, Mas. Aku kirim foto ke dia.""Dan Wina bilang, foto yang aku kirim itu ... adalah atasan Mas Wisnu!Dika terkejut mendengarnya. Walau dia sendiri tidak tahu seperti apa rupa wajah atasan Wisnu itu."Ah. Mungkin, cuma kebetulan mirip aja kali, Sri. Kita kan memang punya tujuh kembaran di muka bumi ini!" Akhirnya, hanya kalimat itu yang keluar.Sri manggut-manggut, ikut membenarkan. "Tadinya, aku juga mikir gitu, Mas. Tapi, Wina mendadak aneh setelah lewat rumah Pak RT tadi. Dan sekarang, dia malah udah bali

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 20

    "Kamu serius mau balik ke kota sekarang, Win?" Sri bertanya saat Wina tengah menyapukan bedak ke wajahnya.Wina melirik Sri dari kaca besar yang ada di depannya saat ini. Sri terlihat menyilangkan kedua tangannya di depan dada, dengan tubuh yang bersandar di pintu kayu yang warnanya bahkan sudah pudar.Merasa diperhatikan, Sri melangkah mendekati Wina. Berdiri tepat di sisi adik iparnya itu. Menatap Wina dengan tatapan menyelidik."Win? Bukannya kamu pengen banget menghadiri pernikahan Arinda?" tanya Sri lagi, sedikit mendesak agar Wina lekas bersuara dan menjawab kebingungannya.Wina menutup bedaknya, meletakkannya dengan hati-hati di dalam tas. Dia mengambil lipstik, menyapukan benda itu ke bibirnya.Masih berusaha mengabaikan keberadaan Sri yang masih menunggu jawaban dari dirinya. Walau hatinya sendiri sedang bergejolak hebat saat ini. Rasanya, dia ingin mengeluarkan semua beban yang dia dapatkan secara dadakan ini. Membaginya dengan

  • Istriku Seorang Pengangguran   Bab 19

    "Bu?"Dika terbangun saat hari sudah hampir petang. Dia celingukan, mendapati kamarnya yang masih dalam keadaan gelap."Aduh, jam berapa ini?" keluhnya beranjak dari ranjangnya dengan sempoyongan.Dia belum mengisi perutnya sejak pulang ke rumahnya kembali. Dan seharian ini, dia menghabiskan waktunya untuk tidur saja. Pantas saja kalau dia merasa kelaparan saat ini.Ctek!Bukan hanya kamar Dika saja yang gelap. Tetapi, seluruh rumah dalam keadaan gelap. Tak ada tanda-tanda keberadaan sang ibu di dalam rumah sederhana ini."Ibu belum pulang, kah?"Dika kembali berjalan. Menghidupkan semua lampu di rumahnya. Setelahnya, dia membuka pintu depan. Masih celingak-celinguk di depan rumahnya.Tiba-tiba, Dika teringat dengan calon Arinda yang menurut ibunya, sekarang menginap di rumah Pak RT."Ah, sial! Aku jadi tidak bisa mengorek informasi tentang calon Arinda!" keluhnya, menyesal karena sudah tidur seharian.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status