Abi menyesap sedikit secangkir teh panas yang ada di tangannya. Rasa teh tersebut tidak seenak teh buatan Jena, tapi hal itu tidak menjadi masalah karena di hadapannya sekarang ada Dea. Abi ingin bicara sebentar dengan Dea karena mereka sudah lama tidak bertemu. Dia pun memilih kantin rumah sakit sebagai tempat karena mantan kekasihnya itu tidak bisa jauh dari sang anak."Aku turut sedih melihat keadaan putramu. Semoga dia lekas sembuh."Dea menyedot segelas Iced Americano-nya sebelum menjawab pertanyaan Abi. "Terima kasih banyak, Mas. By the way, aku tadi belum sempat tanya kabar Mas Abi. Bagaimana kabar, Mas? Apa Mas sudah—?"Dea tidak melanjutkan kalimatnya. Ada kekecewaan yang terpancar dari kedua sorot matanya ketika melihat cincin yang melingkari jari manis Abi."Kamu mau tanya apa, Dea?" tanya Abi karena Dea tidak kunjung melanjutkan kalimatnya.Dea menggeleng pelan. "Sepertinya aku tidak perlu bertanya karena aku sudah tahu jawabannya."Abi menatap Dea dengan alis terangkat s
"Mas Abi mau pakai kemeja warna apa? Biru atau cokelat muda?" Jena menunjukkan dua buah kemeja yang ada di tangannya ke Abi. Namun, suaminya itu malah asyik memperhatikan layar ponselnya sambil tersenyum."Mas!"Abi sontak mengalihkan pandang dari layar ponselnya karena mendengar suara Jena. "Iya, Sayang. Kamu tanya apa?"Jena menghela napas panjang karena Abi terus mengabaikannya. Suaminya itu sering sekali melihat ponselnya sejak kembali dari Semarang seminggu yang lalu. Entah apa yang Abi lakukan. Jena tidak tahu."Mas Abi mau pakai kemeja yang mana? Biru atau cokelat muda?""Em ...." Abi menatap kemeja yang Jena tunjukkan lantas memilih warna cokelat muda karena Dea menyukai warna tersebut. "Mas pilih yang ini.""Tumben sekali Mas pilih warna ini." Jena merasa heran karena Abi biasanya selalu memakai kemeja berwarna biru setiap hari Selasa untuk pergi ke kantor."Karena mas akan terlihat semakin tampan kalau memakai kemeja ini, Jena." Abi mengedipkan sebelah matanya lalu mengambil
"Iya, Bu," jawab Dea malu-malu. Percuma saja dia berbohong karena sang ibu pasti tahu."Ibu lihat akhir-akhir ini kamu dekat lagi sama Abi." Rahayu—ibu Dea mencuci seikat kangkung yang sudah selesai dipetik sebelum ditumis."Dea cuma kebetulan ketemu sama mas Abi kok, Bu.""Di dunia ini tidak ada yang kebetulan, Dea. Buktinya Tuhan mempertemukan kamu dengan Abi setelah berpisah dengan Firman."Kening Dea berkerut dalam. "Maksud, Ibu?"Rahayu menghela napas panjang lantas menaruh kangkung yang sudah selesai dia cuci ke sebuah wadah yang memiliki lubang-lubang kecil agar airnya sedikit berkurang."Apa kamu tidak ingin kembali lagi dengan Abi?"Tubuh Dea menegang mendengar pertanyaan ibunya barusan. Andai boleh jujur, Dea sebenarnya ingin sekali kembali dengan Abi karena dia masih menyimpan perasaan pada lelaki itu hingga sekarang. Namun, mereka tidak mungkin bersama karena Abi sudah menikah dengan Jena."Dea dan mas Abi tidak mungkin bisa kembali seperti dulu, Bu." Dea mematikan kompor
"Makasih banyak ya, Mas. Udah bela-belain datang jauh-jauh dari Jakarta ke Semarang buat nemenin Kenzie kontrol. Maaf kalau aku ngrepotin.""Sama-sama, Dea. Jangan minta maaf karena aku tidak merasa direpotkan sama sekali." Beberapa jam yang lalu Dea menelepon, mengatakan kalau Kenzie tidak mau pergi ke dokter jika tidak ditemani Abi. Abi pun langsung meninggalkan pekerjaannya dan terbang ke Semarang untuk mengantar Kenzie memeriksakan kakinya ke dokter."Ayo, Sayang. Kita pulang." Dea ingin menggendong Kenzie, tapi putra semata wayangnya itu malah menolak."Kenzie mau digendong Papa Abi.""Kenzie!" sengit Dea dengan mata melotot agar Kenzie tidak memanggil Abi dengan sebutan papa. "Jangan panggil om Abi papa karena dia bukan papa kamu."Wajah Kenzie seketika berubah sendu. Anak itu merasa begitu sedih karena Dea melarangnya memanggil Abi dengan sebutan papa."Sudahlah, Dea. Jangan marah karena Kenzie masih kecil.""Tapi, Mas ....""Lagi pula aku tidak masalah dipanggil papa oleh, Ke
"Ya, aku baik-baik saja," jawab Dea ketika sudah berhasil mengatur napas. Wajah Dea terlihat memerah, entah karena tersedak atau mungkin gugup sebab Abi tidak berhenti mengusap punggungnya."Aku sudah baik-baik saja, Mas."Mendengar ucapan Dea barusan sontak membuat Abi tersadar dengan apa yang baru saja dia lakukan. Entah setan apa yang sudah masuk ke dalam pikirannya hingga berani mengusap punggung Dea, apa lagi di depan Rahayu."Maaf," ucapnya."Aku ndak papa, Mas.""Jadi gimana, Bi? Kamu mau menginap di sini nggak? Kebetulan di sini masih ada kamar kosong.""Apa Abi tidak merepotkan Ibu dan Dea kalau menginap di sini?"Rahayu malah tertawa mendengar pertanyaan Abi barusan. "Tentu saja tidak, Bi. Bukankah kamu dulu sering menginap di sini ketika masih berpacaran dengan Dea?""Ibu ...," desah Dea menahan malu karena sang ibu mengungkit-ungkit kisah masa lalunya bersama Abi. Abi memang sering menginap di rumahnya saat mereka masih menjalin hubungan karena jalan menuju rumahnya dulu
Jena pikir, Abi ke Semarang hanya sehari. Namun, Abi ternyata pergi ke Semarang selama tiga hari. Selama itu pula Abi tidak pernah menelepon atau pun mengirim pesan pada dirinya. Apa mungkin Abi sibuk? Namun, Abi biasanya selalu menyempat diri untuk memberi kabar sesibuk apa pun itu.Rasanya Jena ingin sekali menelepon Vano untuk menanyakan Abi. Namun, dia tidak berani melakukannya karena takut mengganggu. Akhirnya yang bisa dia lakukan hanya merenung sendirian di dalam kamar sambil berharap Abi akan meneleponnya.Sebuah mobil suv berwarna hitam memasuki halaman. Abi cepat-cepat turun dari mobilnya begitu tiba di rumah sambil menenteng dua buah paper bag berisi lumpia khas Semarang. Raut bahagia terpancar jelas di wajah tampannya.Abi merasa sangat bahagia bisa menghabiskan waktu bersama Dea. Mereka pergi ke tempat yang dulu sering mereka kunjungi ketika masih menjalin hubungan asmara. Mereka pergi ke kebun teh, klenteng Sam Po Kong, dan Vanaprastha Gedong Songo Park. Abi seolah-olah
"Ardilla tadi nggak sengaja ketemu sama kak Abi di mall."Jena tersentak, jantungnya seolah-olah berhenti berdetak selama beberapa saat mendengar ucapan Ardilla barusan. Ternyata ketakutan yang selama ini dia rasakan terbukti benar adanya. Abi memang berkencan dengan wanita lain di belakangnya."A-apa mas Abi pergi bersama seorang perempuan?""Kenapa Kak Jena bertanya seperti itu? Apa Kak Jena pikir kak Abi selingkuh?""Em, maksud kakak bukan begitu. Kakak cuma—""Kak Jena jangan berpikir yang tidak-tidak. Kak Abi tidak mungkin selingkuh karena dia sangat mencintai Kak Jena," ucap Ardilla terdengar sangat menyakinkan karena dia tidak tahu bagaimana kelakuan kakak kandungnya itu yang sebenarnya."Ardilla tadi lihat kak Abi di toko perhiasan. Kayaknya kak Abi ingin membelikan sesuatu untuk kak Jena.""Benarkah?" Ada debaran halus yang menggelitik hati Jena. Dia tidak pernah menyangka jika Abi diam-diam menyiapkan kejutan manis untuknya.Seharusnya dia tidak berpikiran buruk tentang Abi
"Non."Jena menggeliat pelan karena seseorang menepuk lengannya pelan."Non Jena, bangun."Jena mengerjapkan kedua matanya perlahan. Awalnya penglihatannya samar, tapi lama-kelamaan berubah jelas saat cahaya putih menerobos masuk ke dalam indra penglihatannya."Kenapa Non Jena tidur di sini? Kalau Non Jena sakit gimana? Tuan dan nyonya Dewangga nanti pasti akan marah sama saya," desah seorang pelayan yang melihat Jena tidur di depan pintu kamar.Jena mengedarkan pandang ke sekitar. Helaan napas panjang sontak lolos dari bibirnya ketika menyadari kalau dia semalam tertidur di depan pintu kamar karena Abi tidak mau membukakan pintu untuknya.Jena tidak pernah menyangka Abi tega membiarkannya tidur di luar sendirian hanya karena dia lancang memakai kalung yang akan Abi berikan pada klien. Andai saja dia tahu kalau Abi ingin memberikan kalung berliontin infinity itu pada klien, dia pasti tidak akan memakai kalung tersebut."Non Jena bisa masuk angin kalau duduk di lantai terus. Ayo, Non.