Share

Isyarat Kasih Untuk Awan
Isyarat Kasih Untuk Awan
Penulis: LL. Rose Antemas

Malam Berdarah

"Bangun sayang," ucap Davina pada anak semata wayangnya yang tertidur nyenyak. Dentang suara jam dinding di ruang tengah berdentang dua kali. Menunjukkan waktu dini hari.

Hawa dingin mulai memasuki ruang tidurnya. Suaminya Akmal telah keluar dari kamar untuk mencek keadaan. Ada suara-suara aneh dari arah ruang tamu mereka.

Rumah Davina dan Akmal  berada di ujung komplek yang belum ramai penghuni. Rumah yang dibangun pada sebidang tanah untuk empat unit rumah yang dijadikan satu. Rumah yang baru selesai di cat dengan dominasi warna krem ini baru rampung, aroma cat yang belum kering pun masih sesekali tercium.

"Cloudy, ssttt ...." Jari telunjuk Davina ditekannya pada bibir mungil gadis berusia empat tahun itu, saat kedua mata Cloudy terbuka memandang mamanya. Kepala kecilnya mengangguk tanda mengerti, namun sorot mata menyimpan tanya. 

Davina menggendong Cloudy lalu membawa dan memasukkannya perlahan ke dalam lemari pakaian. Dengan wajah cemas Davina memberi isyarat pada putrinya untuk diam dan tak beranjak ke mana- mana sampai ia kembali. Dipeluknya Cloudy sekali lagi. Ia berdoa dalam hati semoga Allah melindungi putri kecilnya itu. 

Pelahan ditutupnya pintu lemari, di telinganya makin jelas terdengar keributan di luar kamar. Suara teriakan suaminya kian membuat jantung berdetak lebih cepat. Keringat menetes deras di keningnya, pakaian kimono tipis terasa semakin panas dan lekat di tubuh yang basah oleh peluh. 

Nalurinya sebagai seorang ibu membuatnya nekat menyembunyikan Cloudy. Ia sadar waktu tak memungkinkannya membawa anak semata wayangnya keluar dari rumah. Entah kenapa ia merasakan bencana akan terjadi dalam keluarganya, dan sebagai orang tua ia harus melindungi putrinya dari ancaman kejahatan. 

Kakinya berjingkat ke arah pintu, saat Davina hampir mencapainya, tiga orang bertopeng dengan perawakan besar mendorong pintu dengan kasar. Salah satu dari mereka menangkapnya. 

Davina berontak, ia berteriak senyaring-nyaringnya, menendang dan memukul. Sampai salah seorang dari mereka meninju wajahnya, membuat Davina seketika pingsan. 

"Letakkan perempuan itu, kita cari lagi barang-barang berharga," seru

seseorang yang terlihat sebagai pimpinan mereka.

"Bang! kenapa tidak kita garap saja ...." Satu orang yang tubuhnya lebih pendek berujar menunjuk pada Davina. Tubuh Davina yang menggunakan kimono dan baju tidur transparan tersingkap sebagian hingga menunjukkan bagian paha Davina yang putih dan mulus. 

Ketiga lelaki bertopeng itu saling berpandangan dan terkekeh jahat. Lalu satu dari mereka menggerayangi tubuh Davina. Dengan kasar, dirobeknya pakaian yang melekat di tubuhnya. Menelanjangi raga yang tak berdaya, lalu bergiliran menuntaskan hasrat keji mereka. 

Saat lelaki terakhir yang menggagahi Davina mengerang menikmati klimaks, di saat yang sama Davina sadar dan menarik topeng lalu mencoba mencakar wajah lelaki yang masih berada di atas tubuhnya. Dengan marah lelaki itu kembali memukul wajah Davina, hingga sekali lagi ia tak sadarkan diri. 

Lelaki itu kemudian berpakaian kembali, saat restliting celananya belum tertutup sempurna ia melihat pergerakan tubuh Davina. Segera ia mengambil belati dari pinggang kawannya dan menancapkan berkali-kali di dada dan perut Davina.  

Davina merintih lemah, sekujur tubuhnya bersimbah darah. Ia masih sempat mengingat Cloudy di sisa napas yang tersekat, lalu pelahan napasnya hilang.

"Cukup, Coy. Wanita itu sudah mati. Mari kita cari barang berharga yang bisa kita bawa pergi," ucap salah satu dari mereka, menyadarkan temannya akan tujuan awal.

"Sebentar, seingatku mereka punya seorang anak, apa perempuan itu menyembunyikan di ruangan ini? aku akan menceknya dulu," ucap lelaki yang topengnya telah terbuka. 

Lelaki itu berjalan menuju lemari, Cloudy kecil menggigil ketakutan. Saat tangan lelaki itu hampir memegang gagang pintu, Cloudy melihat sebuah tato di lengannya. Cloudy bersiap untuk menggigit tangan lelaki itu, namun di saat yang sama ....

"Biarkan saja anak itu, ia bisu, lagi pula ia masih kecil, tak mungkin paham apa yang terjadi pada bapak dan ibunya," ujar suara lelaki yang memimpin mereka, membuat lelaki yang hampir membuka pintu lemari menghentikan gerakannya. Lalu berbalik pergi tanpa membantah, mengikuti instruksi. Mereka berlalu meninggalkan jasad Davina yang terbujur berlumur darah tanpa sehelai benang menutupi tubuhnya.

Malam menjadi saksi, dentang jam dinding telah berbunyi empat kali menandakan begitu cepat waktu berlalu tanpa disadari. Hawa dingin yang dirasakan Cloudy hanya mampu ditahannya. Tubuh kecilnya tak berani bergerak, hanya dua mata penuh air mata yang menatap setiap peristiwa di balik kisi-kisi lemari.

Cloudy melihat semua kejadian yang menimpa mamanya dengan jelas. Walau ia tak begitu memahami, yang ia tahu orang-orang itu telah berbuat jahat kepada mamnya. Dalam hati ia berharap mamanya segera bangun dan menjemputnya keluar dari lemari seperti janjinya saat memasukkannya dalam lemari.

Cloudy terus menanti, tubuhnya menggigil menahan dingin. Sampai tanpa sadar ia tertidur.  Dalam mimpinya mamanya yang cantik tersenyum dan membelai pipinya dengan hangat. Lalu saat kelopak matanya terbuka ia menyadari rasa hangat yang membelai pipinya hanyalah seberkas cahaya matahari yang masuk dari jendela dan masuk menerobos kisi-kisi lemari.

Perlahan tangannya yang mungil mendorong pintu lemari, ia membuka pintu tanpa suara. Ia berusaha berdiri, namun kedua kakinya serasa tak bertulang. Ia merangkak keluar, dengan kaki yang masih gemetar. Lalu menuju tempat mamanya yang terbaring penuh darah.

Cloudy berpikir Davina masih tertidur, dan ia berusaha memanggil namanya. Selama ini mamanya sangat ingin mendengar suaranya. Ia akan menunjukan kepandaiannya.

"Ma ... Maa ... Maaa ...." Suaranya yang tak begitu jelas keluar dari bibirnya. Ia ingat kata itu dari gerak bibir Mamanya. Ia berharap mama akan bangun dan mendengar bila ia bisa menyebut mama. Ia menangis sambil mengguncang-guncang tubuh Davina yang dingin. Namun tak sedikitpun ia bergeming.

Matahari mulai meninggi, namun hawa panas tak mampu mengusir gigil di tubuh Cloudy. Kedua tangan kecilnya menyentuh tubuh Davina yang lengket dengan darah. Ia terus menangis menggungcangkan tubuh mamanya yang tanpa busana. Sampai sebuah bayang yang dikenalnya mengangkat tubuh dan menggendong sambil memeluknya dengan erat. Matanya mengenali  tantenya yang datang bersama kakeknya. Entah apa yang mereka bicarakan tapi dekap hangat tantenya terasa begitu nyaman dan menenangkan. 

Saat tantenya membawa Cloudy keluar dari rumah melewati ruang tamu yang berantakan dan penuh ceceran darah. Sekilas ia melihat tubuh papanya tergeletak di lantai dengan genangan darah. 

"Paaa! ..." seru Cloudy dengan suara paraunya yang tak begitu jelas. 

"Cloudy, kamu sudah bisa bicara, Nak? Ya Tuhan, terima kasih … Kita keluar ya, sayang. Tante akan bawa Cloudy pergi dari sini," ucap Amira adik dari Davina. 

Sementara Cloudy hanya memandangi wajah Amira. Lalu mengangguk dengan pasrah, lalu menyandarkan kepalanya di bahu Amira dengan bulir-bulir air mata yang jatuh basah di baju tantenya. 

"Cloudy, kamu sudah siap?" Sebuah sentuhan di bahu Cloudy membuyarkan ingatannya tentang tragedi di malam itu. Amira kembali mengulang pertanyan dengan bahasa isyarat. 

Cloudy menjawabnya dengan senyum dan suaranya yang parau. Bila ia akan segera bersiap dan mengganti pakaian. Kedua tangan dan jemarinya begitu pasih berbicara. Senyum dan lesung pipinya mengisyaratkan rasa senangnya. 

Cloudy segera beranjak dari meja dan tempat duduknya, kala peristiwa itu datang kembali melintas di pikirannya. Ia lupa menutup sebuah sketsa lengan bergambar tato seorang wanita dan barisan puisi yang melesat di kepala yang tertuang begitu saja. 

 Puisi Cloudy

Simponi Yang Menghantui

Kerinduan itu menghiba lagi, aku menangisi malam yang merenggut malaikat penjagaku, hati ini masih tercabik-cabik sembilu. Masih begitu sempurna semua adegan bermain-main hancurkan segenap rasa. 

Andai saja aku bisa meminta, biarkan aku dalam peluk mereka selamanya. Namun tangan-tangan kotor itu merenggut paksa, cinta yang kurasakan sempurna hilang sekejap mata. 

Takdirku berlinang air mata, hujan di dadaku tak pernah reda, ia menjelma gerimis yang kadang membadai tanpa mendung sebagai pertanda. Dan miris dalam hati mengalun ritmis membentuk melodi, bagai simponi yang menghantui. 

"Aku menerima ketidak sempurnaanku, namun aku menolak untuk menerima kepedihan yang selalu menemani."

Kota intan, 18 Maret 2021

Mata Amira berkaca-kaca, bertahun-tahun ternyata kepedihan Cloudy masih menggiring hidupnya. Ia gadis yang telah tumbuh beranjak dewasa namun luka masih bermukim di dadanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status