Share

It's Me, Your Wife
It's Me, Your Wife
Penulis: Lavender My Name

Pilihan

Braakkk!

Suara meja digebrak, menyiutkan nyali Aditya, yang hanya bisa menundukkan kepalanya. Amarah Abraham benar-benar sudah mencapai puncaknya. Ia sudah tidak tahu lagi harus bagaimana meminta putra semata wayangnya agar bersedia meneruskan bisnis IT yang sudah ia rintis berpuluh-puluh tahun lamanya.

“Apa yang kamu harapkan dengan menjadi seorang pengacara?” tanya Abraham menatap tajam Aditya.

Aditya bergeming.

“Tidak bisa menjawab?”

“Papa menawarkan kamu untuk menjadi penerus bisnis Papa, tetapi kamu justru memilih menjadi seorang pengacara. Apa sebaiknya Papa jual saja semua bisnis yang sudah susah payah Papa rintis? Begitu?”

Aditya menghela nafasnya pelan. Ia tidak berani menjawab apa pun pertanyaan papanya, akan tetapi ia tidak juga berminat menggeluti bisnis warisan orangtuanya.

“Baik. Dalam diammu, Papa bisa menarik kesimpulan. Kamu ingin menjadi seorang pengacara bukan?”

Aditya mengangguk dengan semangat. Ia mengira Abraham sudah mengerti dirinya.

“Oke. Silakan pilih universitas mana yang akan menjadi jembatan untuk mewujudkan cita-citamu itu, tapi… pikirkanlah cara untuk membayar semua biayanya, karena Papa tidak akan mengeluarkan sepeser pun untuk kuliahmu!” Kalimat Abraham meninggalkan nyeri di sudut hati Aditya. Ia yang mengira akan mendapatkan dukungan penuh dari sang papa, harus terjungkal dari angannya setelah mendengar ultimatum Abraham yang baru saja ia dengar.

Abraham meninggalkan ruang makan, melangkah tegap dan tegas, menjauh dari sang anak yang tidak juga bersedia mengikuti keinginannya. Ia tidak habis pikir, di saat anak orang lain sangat ingin menjadi penerus usaha orangtuanya, Aditya justru menolak mentah-mentah kesempatan yang ada di depan matanya, memilih menjadi seorang pengacara.

Aditya bangkit dari duduknya, kembali masuk ke kamarnya. Maafkan Adit, Pa. Kali ini Aditya akan berusaha menggapai cita-cita Aditya menjadi pengacara sukses. Aditya akan menunjukkan pada papa dan mama, Aditya bisa mewujudkannya, tekadnya dalam hati.

-0-

Empat tahun lamanya Aditya berusaha mencukupi sendiri semua kebutuhan perkuliahannya. Ia kuliah sambil bekerja. Terkadang ia menjadi tukang cuci piring di rumah makan padang depan kampusnya, atau ikut menjaga warnet kampus milik koperasi mahasiswa kampusnya. Di malam hari, ia akan memberikan les privat pada orang tua yang anaknya mengalami kesulitan  dalam bahasa Inggris atau Matematika.

Hari ini adalah hari wisudanya sebagai lulusan fakultas hukum dengan capaian nilai IPK tertinggi di kampusnya. Senyumnya mengembang sempurna, tapi itu hanya sesaat. Ada sedikit harapan tersemat dalam hati, orangtuanya  hadir  melihat dirinya berhasil lulus dengan nilai sempurna. Akan tetapi, harapan tinggal harapan. Abraham tidak pernah menunjukkan sedikit pun dukungannya kepada putra tunggalnya itu.

Aditya melepas toga dan baju wisudanya. Ia melipat dan segera mengembalikan ke koperasi mahasiswa. Pulang dengan sepeda motor maticnya menembus jalanan yang begitu panas. Setibanya di rumah, ia menggantungkan tasnya di balik pintu kamar, dan bergegas ke ruang makan, mengisi perutnya yang sudah mulai keroncongan.

Hari wisudanya seperti hari-hari biasa. Tidak ada acara selametan yang biasanya diadakan sebuah keluarga sebagai ujud syukur karena sudah berhasil menyelesaikan pendidikan terakhir.

Hari selanjutnya, Aditya mulai melamar pekerjaan ke kantor-kantor advokat di Jakarta. Dalam sebulan hampir sekitar 5o lamaran yang ia sebar, namun belum juga ada jawaban dari kantor -kantor itu. Hingga suatu hari, ada panggilan yang memintanya untuk datang ke kampusnya, mengikuti wawancara sebuah kantor advokasi terkenal di Jakarta. Tanpa seleksi berbelit, Aditya berhasil melewati semua tes yang diberikan dan diterima sebagai pengacara muda di sana.

Empat tahun sudah dirinya berkarir sebagai pengacara muda dengan  karirnya yang terus menanjak. Tanpa terasa, Abraham beranjak  semakin tua dan ingin segera pensiun dari rutinitasnya sebagai pemimpin perusahaan IT. Perbincangan mengenai penerus bisnisnya, yang hampir 8 tahun tidak pernah disinggung, kini diangkat lagi oleh Abraham. 

"Bagaimana pekerjaanmu?" Abraham tiba-tiba menanyakan pekerjaan yang digeluti Aditya setelah sekian lama bersikap acuh. Aditya terkejut. Dengan agak terbata-bata ia menjawab pertanyaan Abraham.

"Ba-Ba-Baikk, Pa." Meski sikap Abraham cenderung dingin terhadapnya, Aditya tetap tidak berani bertingkah melewati batas. Bagaimana pun juga, Abraham adalah sosok ayah yang baik meski terkadang mereka sering terlibat percekcokan seperti sekarang ini.

"Apakah kau pernah memperhatikan Papamu ini?" tanya Abraham dengan nada biasa namun menusuk kalbu Aditya. Aditya menghentikan suapannya. Ia mengangkat kepalanya, melihat ke arah pria yang duduk di seberangnya. Aditya merasa tersudut. Wajah penuh kharisma di hadapannya itu kini mulai banyak keriput, terlihat kuyu dan begitu kelelahan. Aditya menundukkan kepalanya.

"Sekarang, apakah Papamu yang sudah mulai bau tanah ini boleh meminta satu permohonan padamu?" 

Aditya mulai merasa semakin bersalah. Perasaannya pun menjadi tidak enak. Tanpa sadar, ia menganggukkan kepalanya.

"Apakah jawabanmu akan sama seperti delapan tahun yang lalu? Tidak akan mengabulkan permintaan Papa, menjadikanmu sebagai pemimpin perusahaan IT rintisan Papamu ini?"

Aditya mendesah kesal dalam hati. Instingnya benar-benar tepat, dan ayahnya sudah berhasil menyudutkannya hingga merasa bersalah karena sudah menolak permintaannya.

"Maaf, Pa. Jawaban Aditya tetap sama."

"Baik, kalau begitu. Jika kamu memang benar-benar cinta mati dengan pekerjaanmu itu, maka Papa harap kamu mau mengabulkan permintaan Papamu untuk  yang terakhir kali."

Aditya menatap Abraham. "Maksud Papa apa?" 

"Silakan kamu geluti pekerjaanmu sebagai pengacara, tapi dengan syarat, kamu harus bersedia menikah dengan anak dari sahabat Papa."

Deg. Aditya tidak tahu harus memberi respon seperti apa. 

"Menikah? Papa ingin menjodohkan Aditya begitu?" Pengacara muda itu mengulangi pernyataan sang papa.

"Seperti itu." Abraham menjawab singkat.

"Pa.. Papa tidak bisa semena-mena seperti itu," Aditya protes.

"Atau jika kamu keberatan, kamu besok harus sudah hadir di kantor Papa." Abraham mulai menunjukkan sikap otoriternya yang tidak ingin dibantah.

"Bagaimana? Atau kamu ingin Mama kamu pergi dari sisimu untuk selamanya?" Pria setengah tua itu mulai menggunakan kelemahan Aditya.

"Pa!" seru Aditya gelisah.

"Tolong kamu pikirkan baik-baik. Pilihanmu hanya ada dua. Papa ingin jawabanmu satu jam lagi."

Abraham meinggalkan ruang makan, menyusul Lisa, istrinya yang sudah lebih dulu menyelesaikan makan malamnya dan kini sedang menonton televisi.

Aditya meletakkan sendok dan garpunya. Nafsu makannya menguap begitu saja seiring permintaan yang diajukan Abraham.

Apa-apaan ini! Batin Aditya. Apa sih yang sedang ada di pikiran papa?

Menikah bukan sekedar ijab lalu selesai. Papa kan jelas-jelas paham itu.  Waktu yang diberikan padanya hanya satu jam, dan itu tidaklah cukup, dua pilihan yang sama beratnya.

Aditya mengacak-acak rambutnya. Apa yang harus ia lakukan? Apa dirinya kabur saja dari rumah, ketimbang memilih salah satu, yang semuanya tidak ingin ia lakukan, paling  tidak untuk dilakukan dalam  waktu dekat.

Ia juga tidak tertarik menjadi ceo perusahaan IT milik papanya, yang menurutnya tidak menantang sama sekali.

Ia belum ingin menikah. Dirinya masih ingin menikmati kesendiriannya dan sensasi melewati berbagai tantangan untuk menjadi pengacara terkenal

Gadis seperti apa yang akan dijodohkan dengannya. Setidaknya, gadis itu haruslah cerdas dan cantik, agar bisa mengimbangi dirinya, dan yang terpenting, tidak banyak bicara. Ia paling benci dengan gadis yang  cerewet.

Aaaargh! Otaknya mendadak buntu.

Komen (4)
goodnovel comment avatar
Sulianto Hanes Lie
klu blm hbs cerita menunggu sangat membosankan
goodnovel comment avatar
Sulianto Hanes Lie
habis blm ceritanya
goodnovel comment avatar
Lutvia Balqis
memenuhi semua biaya sendiri dan dgn hasil yg baik..salut deh
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status