“Aku bisa sendiri.” Ayu menolak uluran tangan Hide yang akan membantunya turun dari mobil. Ayu sudah puluhan kali menyentuh tangan itu—dulu, bukan berarti Ayu ingin menyentuhnya lagi sekarang.Ayu tidak mungkin lagi membayangkan bagaimana tangan itu mengelus kepalanya dulu, atau saat dengan lembut selalu menghiburnya saat rasa sakit menyerang kepalanya. Bagaimanapun, tangan itu adalah tangan yang sama yang memaksanya untuk mencumbu dirinya kemarin. Ayu tidak ingin tangan itu menyentuhnya lagi.Terlihat Hide mengepalkan tangan, tidak membahas lebih lanjut dan hanya berjalan terlebih dulu masuk ke rumah. Ayu melirik ke arah punggung Hide sambil berjalan perlahan di belakangnya. Ayu tiba-tiba merasa menyesal. Sikapnya menghindar tadi terlalu kasar. Semalaman Hide menemaninya di rumah sakit. Paling tidak dia muncul. Masih lebih baik daripada Kaito yang sama sekali tidak terlihat, bahkan sampai pagi ini.Ayu tidak tahu apakah Kaito tidak muncul karena Kaede melarangnya atau sebab yang lain
Ayu terlalu terbawa oleh kenangan dan keharuan. Tidak seharusnya ajakan itu terjadi. Ayu menyesal telah meminta. Tapi bagi Hide ajakan Ayu itu adalah angin musim semi yang biasanya hangat. Hide berbalik dan mengernyit.Kau ingin aku menemanimu makan?” tanya Hide, separuh tidak percaya.“Aku…” Ayu menggigit bibir, lalu berpaling memandang anyamannya yang masih pendek. Hanya untuk menutupi kebingungannya.“Kita makan di luar.”Hide tidak membutuhkan persetujuan. Dia membawa kotak tempat nasi kari milik Ayu, membawanya keluar. Dengan begitu, Ayu tidak akan punya pilihan selain mengikutinya.Mereka duduk seperti biasa di meja makan, tapi aroma kari itu jelas membuat perbedaan. Setidaknya bagi Ayu.Kenangan itu membuatnya lebih tenang. Keadaan tidak takut setelah sekian lama berada di rumah ini.“Tonkatsu.” Hide membuka bungkusan satu lagi yang tadi ditinggalkan di dalam kamar. Berisi tonkatsu (daging babi balut tepung digoreng kering). Kesukaan Ayu juga, tentu pilihan Hide tidak ada yang
“Oh, kau belum tahu?” Pria bernama Sato itu kembali mengubah wajahnya menjadi ramah saat menatap Ayu.Tapi Ayu tidak mungkin memperhatikan hal itu. Ayu kini berpaling menatap Riko yang masih menunduk. Dalam hati, Ayu tentu saja tidak ingin percaya jika Riko yang melakukannya.“Tapi… tapi… Kyoko yang…”“Kyoko Fujita? Ada apa dengannya? Dia tidak terlibat sama sekali dengan kejadian kemarin.” Sato kembali memotong kalimat Ayu.“Tapi dia yang…” Tidak ada yang memotong kalimatnya, tapi Ayu kehilangan kata-kata setengah jalan. Dia masih sulit mempercayai apa yang diucapkan oleh Sato, tapi untuk kemungkinan, jelas Sato tidak akan menuduh sembarangan. “Silakan lihat. Aku rasa akan lebih jelas.” Ayu mendongak, melihat Sato memutar laptop yang ada di hadapannya, menghadap mereka bertiga.Mori sedikit maju, sambil mendorong kacamatanya ke atas untuk melihat lebih jelas. Tapi mata Ayu baik-baik saja, jadi dia bisa melihat tanpa kesalahan.Laptop itu memutar rekaman CCTV ruangan tempat Ayu beker
Kyoko yang mendapat kejutan kedua kali, terlihat ternganga. “Hah? Apa?”“Aku ingin meminta maaf, karena telah menuduhmu dengan sembarangan.” Ayu kembali membungkuk, dan tentu hal itu menjadi perhatian karyawan yang lain.Hiro dan Misa tampak menengok dengan leher menjulur penasaran.“Ikut aku! Kau itu mengganggu pekerjaan orang lain saja!” Kyoko mengomel dan berdiri, berjalan menuju pantry. Tidak nyaman dengan perhatian itu.“Yang aku dengar dari mulutmu sejauh ini hanyalah omong kosong yang menyerupai mantra.” Kyoko menggerutu setelah ia sampai di pantry.“Jelaskan yang benar, agar aku tidak merasa menjadi orang tolol saat kau bicara.” Kyoko duduk, lalu mencelupkan tehnya, menunggu.Tapi Ayu yang sekarang seperti kaset kusut. Meski mengalaminya sendiri, tapi Ayu baru bisa mencerna semuanya saat ingin menjelaskan pada Kyoko. Rasa frustasi yang mengimpitnya sejak tadi, kini mengalir keluar. Ayu mengempaskan diri pada kursi di depan Kyoko, dan menelungkup di atas meja. “Kenapa… Aku sal
Aroma manis dari sake, menyerbu Hide saat Ayu membuka mulut. Memberi kesempatan bagi Hide untuk menjelajah lebih jauh. Penerimaan pasrah, dengan tubuh yang semakin menghangat.Ayu juga mendesah, dan merangkul leher Hide. Mengangkat tubuhnya yang telah terbaring, menggelayut mengikuti pelukan tangan Hide yang tentu saja tidak mungkin melepaskan Ayu.“Yumi…” Hide berbisik berat, membenamkan wajah pada leher Ayu, menghirup aroma hangat yang menggoda akal sehatnya. Bibirnya mengelus dengan nyaris kasar, akibat serbuan nafsu yang telah lama tertahan.Hide merangkul punggung Ayu, membenamkannya dalam pelukan, sementara Ayu menggeliat, membalas segala sentuhan Hide dengan meraba tengkuk dan rambutnya. “Aitakatta…” desah Hide. (Aku sudah lama merindukanmu…)“Watashi mo desu…” (Aku juga…)Ayu membalas perlahan dalam bisikan, dan memeluk Hide semakin erat. “Aku merindukanmu, kenapa kau tidak menjemputku? Kenapa kau tidak datang? Tinggalkan ibumu itu!” Ayu meracau.Rasa hangat dan kepuasan yan
Ayu menjatuhkan alat pengukur dan juga clipboard yang ada di tangannya, sementara kakinya melangkah pelan mendekati Kaito dengan air mata menggenang.Kaito belum berubah tentunya. Masih tampak cakap dan segar. Rambutnya tersisir rapi, wajahnya bersih tercukur dengan hidung mancung. Ada tahi lalat mungil di bawah mata kirinya, tapi Ayu tidak mungkin bisa melihat dari kejauhan sebenarnya."Kaito… Anata…” Ayu ingin berteriak, tapi lehernya tersumbat haru, dan hanya menghasilkan bisikan. Lalu kenyataan buruk menghantam Ayu, bahkan sebelum dia bisa menelan rasa haru dan harapan untuk menemui Kaito. Seorang wanita keluar dari gerbang itu, Kaede yang juga tidak berubah. Rambutnya pendek memutih keseluruhan, dengan keriput pada wajahnya. Tapi mata tajam Kaede sedikit lembut, saat dia melambai pada orang di belakangnya.Seorang wanita muncul, dan Kaito terlihat membuka pintu mobil untuknya. Wanita itu mengangguk, dan masuk ke dalam mobil. Ayu mengernyit berusaha melihat siapa wanita itu, tapi
Ayu menatap anyaman macrame yang ada di depannya, mengusap bagian simpul yang salah lalu mengeluh. Ini kedua kali Ayu salah membuat simpul yang seharusnya mudah.Ayu tidak membuat macrame yang besar —hanya berukuran tidak lebih dari tiga puluh kali lima puluh memanjang ke bawah, dan semua warnanya polos putih. Tidak menyelipkan warna apapun. Sejak awal Ayu tidak ingin membuat sesuatu yang rumit, karena Ayu malas berpikir yang rumit. Tapi ternyata makrame sederhana dengan warna hanya satu itu, sudah cukup membuatnya melakukan kesalahan.Apa yang dilihatnya dua hari yang lalu—Kaito bersama dengan Kaede dan satu wanita lagi yang tidak masih tidak tahu siapa—masih mempengaruhi Ayu. Ia mungkin menghadirkan pikiran positif, tapi pada akhirnya tetap tidak bisa melupakan kejadian yang dilihatnya tak lebih dari dua menit itu.Ayu tidak bisa meredam keinginannya menemui Kaito setelah melihatnya. Ayu harus menjelaskan apa yang terjadi—mereka harus bicara. Itu saja sekarang keinginan yang bergema
Hide menatap nama gedung yang mengkilap, menempel pada bagian depan dengan huruf raksasa. “Nakamura Kyōiku Zaidan.” (Yayasan Pendidikan Nakamura)Hide bergumam membacanya. Ada tulisan angka yang memperlihatkan tahun seribu sembilan ratus dua puluh satu. Menandakan kapan yayasan itu berdiri. Kurang lebih hampir seratus tahun yang lalu. Hide tidak terkesan, sejarah keluarganya lebih tua dari itu. Hide memasang kacamata hitam, dan mengancingkan mantel yang juga berwarna hitam, lalu turun dari mobil. Tampak uap tipis muncul dari sela bibirnya, bersamaan dengan hembusan napas. Belum ada salju, tapi memang udara semakin dingin.Hide melangkah menuju gedung utama. Tempat Kaito seharusnya berada. Tempat itu tidak mengalami perubahan banyak, meski terakhir Hide menginjakkan kaki di lingkungan ini adalah dua tahun lalu. Terlihat beberapa orang berpaling menatapnya. Bukan murid, karena bangungan sekolah berada di area yang lain.Hide berjalan cepat menuju ke lantai tiga. Hide tentu juga sudah