“Semua itu salah paham, Kinar. Om Damar cuma becanda, kamu nggak usah ambil hati,“ ucap Ratih. “Ibuk nggak bohong? Atau kalian pacaran?““Om maunya serius, tapi Ibumu yang nggak mau.“ Mendengar ucapan Damar, Ratih langsung melotot. “Om Damar bohong, Kinar. Ini semua hanya lelucon!“ tegas Ratih. “Aku serius, dan kalau aku benar-benar serius, apa kamu mengizinkan aku menikah dengan Ibumu dan menjadi ayah kalian?“Mimik muka Kinar berubah seketika. Wajahnya memerah dan penuh dengan rasa tidak suka. “Bapakku sudah meninggal dan aku tidak mau punya Bapak baru. Aku tidak mengizinkan Ibuk menikah lagi!“ seru Kinar. Ia berdiri lalu keluar kamar. Ratih berusaha bangun, ia memanggil Kinar. Namun, Damar mencegahnya, Ratih belum kuat untuk melakukan itu semua. “Biar aku yang bicara dengan Kinar.““Jangan memaksakan apa pun pada Kinar. Aku tidak mau dia marah. Katakan kalau semua ini bohong, hanya lelucon, aku mohon!““Iya, kamu tenang! Kamu sedang sakit. Kalau kamu banyak pikiran maka tidak
“Kalian dari mana saja, kenapa lama?“ tanya Ratih saat Damar dan Kinar muncul bersamaan di kamar inap. “Lihat ikan di kolam, Buk,“ sahut Kinar. Ia langsung mendekati Rea yang masih bermain ponsel di sofa. “Kamu nggak usah memikirkan apa-apa, aku dan Kinar baik-baik saja.““Apa yang kalian bicarakan?“ cecar Ratih. “Besok saja, kalau kamu sudah sembuh, baru kita obrolkan lagi soal ini.““Kenapa harus menunggu besok? Aku pengennya sekarang. Semakin lama kalian menunda, maka aku semakin kepikiran.““Selain keras kepala, ternyata kamu nggak sabaran, ya!“ ucap Damar sembari melepas tawa kecil. “Nanti biar Kinar saja yang ngomong. Aku takut salah ngomong,“ imbuh Damar. “Om Damar saja yang ngomong,“ sahut Kinar cepat. “Kamu yakin, Kinar?“ Damar menatap gadis remaja yang sekarang tengah asik menikmati kacang oven itu. Kinar mengangguk, matanya melirik ke arah Ratih yang masih bermimik penasaran. “Kinar menyetujui hubungan kita,“ ucap Damar singkat. Damar yakin tanpa menjelaskan panjang l
“Dia tetanggaku, kebetulan dia Pak RT di tempatku,“ jawab Ratih pelan. “Oh, kenalkan. Saya Damar.“ Damar mengulurkan tangan. Radit menerima uluran tangan itu, tetapi matanya masih menyiratkan rasa tidak suka pada Damar. “Bagaimana saya harus memanggil? Saya kira saya lebih tua dari kamu.““Panggil nama saja. Saya memang Pak RT, tapi saya man--““Tidak usah diperjelas, Dit. Aku pernah bilang berkali-kali ke kamu!“ potong Ratih. “Ada anak-anak juga!“ imbuh Ratih dengan nada suara yang lebih tinggi. "Baik, maafkan aku! Bagaimana keadaanmu? Aku dapat kabar kalau kamu pingsan di puskemas lalu dibawa ke sini,“ tanya Radit. Ia berjalan mendekati tempat tidur Ratih, kini ia berdiri berseberangan dengan Damar. “Aku sudah lebih baik. Apa istrimu tahu kamu ke sini? Aku tidak mau ada keributan di rumah sakit.““Dia pergi setelah malam itu. Dia tetap ingin bercerai denganku. Dia bilang, tidak akan hidup dengan orang yang belum selesai dengan masa lalunya," ucap Radit yang seketika membuat Damar
Ratih diam, tetapi matanya tidak bisa berhenti mengeluarkan airmata. Apakah jika ia menerima Damar dan menikah dengannya adalah keputusan yang tepat? Atau justru ia akan memulai kehidupan baru yang lebih rumit? Mengingat, derajat mereka berbeda, mereka bagai bumi dan langit. “Aku takut ....““Apa yang kamu takutkan?““Aku tidak bisa menjadi istri seperti apa yang kamu harapkan, dari fisik dan latar belakang kita yang sangat jauh berbeda.““Justru karena itu aku ingin menikahimu. Kamu berbeda dengan wanita-wanita yang aku kenal. Mereka mengejarku hanya karena silau pada apa yang aku miliki, bukan karena tulus mencintai.““Aku juga belum mencintaimu,“ ucap Ratih jujur. “Dan aku akan berusaha membuatmu jatuh cinta, tanpa merebut cintamu kepada almarhum suamimu.““Bagaimana jika aku benar-benar lumpuh?“ Ratih melontarkan pertanyaan itu berulang kali. Ucapan Dokter saraf tempo hari seperti menjadi momok dalam pikirannya. “Semua itu tidak akan terjadi. Aku akan membawamu ke luar negeri u
“Apa maksudmu, siapa kamu?“ “Saya Damar, saya ingin memberi kabar pada Anda kalau besok saya dan Ratih akan menikah. Kami akan menikah di rumah sakit karena Ratih sakit. Dia beneran sakit, bukan pemalas seperti yang Anda bilang. Jika ingin datang silakan, jika tidak berkenan kami tidak memaksa.““Tidak sopan sekali!““Anda yang tidak sopan. Ratih belum apa-apa sudah langsung Anda sembur.““Baik, bilang ke Ratih. Mulai hari ini saya pecat dia dari toko saya.““Terima kasih, saya juga tidak mengizinkan istri saya bekerja pada majikan yang arogan seperti Anda.“Tanpa sahutan lagi telepon itu ditutup. Damar menyerahkan kembali ponsel itu ke Ratih. “Aku jadi kehilangan pekerjaan, 'kan?“ gerutu Ratih. “Kamu kuat kerja dengan orang seperti itu? Baru punya satu toko saja sudah arogan, apalagi punya perusahaan besar! Aku juga tidak akan membiarkan kamu bekerja pada orang seperti itu.““Kalau aku nggak kerja anak--““Aku ganti 100 kali lipat gajimu di toko. Diam di rumah, jaga kesehatan. Yan
Damar berjalan mendekati Ratih. Ia duduk di tepi ranjang. Meraih tangan Ratih, lalu menggenggamnya erat. Damar merasakan tangan Ratih gemetar. Damar tersenyum, lalu mengusap pipi Ratih dengan lembut. “Kamu masih takut kusentuh? Tanganmu gemetar.“ Damar mengalihkan pertanyaan Ratih. “Ti--tidak. Mungkin karena aku belum terbiasa,“ jawab Ratih salah tingkah. "Jawab pertanyaanku yang tadi. Apa kamu bos tambang?“ lanjut Ratih. Damar menarik dagu Ratih, memaksa Ratih untuk menatapnya. “Aku bukan bos tambang seperti kata Faisal. Aku karyawan seperti yang lain.““Kamu tidak bohong?“ “Iya, aku hanya karyawan, tetapi pemilik tambang itu mempercayakan aku untuk memimpin perusahaannya.““Itu artinya, kamu ...?“ Ratih menutup mulut dengan satu tangannya. “Iya, aku seorang Direktur. Tanggung jawabku banyak, ya perusahaan, ya karyawan.““Kenapa kamu tidak cerita dari awal? Kenapa kamu tidak jujur soal ini?““Aku sudah bilang kalau aku karyawan di tambang. Dan itu benar. Aku memang Direktur, t
“kenapa nggak diangkat, Mas? Siapa tahu itu penting,“ ucap Ratih setelah telepon itu berdering berulang kali. “Nggakpapa, nanti saja. Itu pasti juga bukan hal yang penting!“Mereka melanjutkan makan siang tanpa menghiraukan panggilan telepon dari Debbi. Hal itu membuat Debbi kesal dan mengirimkan pesan chat yang tidak sengaja terbaca oleh Ratih. [Kalau tetap tidak diangkat, aku akan menyusulmu ke Solo.]Ratih hanya membatin, kalau tidak punya hubungan dekat, tidak mungkin orang itu sampai mau menyusul ke Solo. Padahal Damar ada di Yogyakarta, tetapi kenapa orang itu mau menyusul ke Solo. Ratih tidak berani bertanya lagi. Jika memang Damar jujur dan terbuka, nanti pasti ia akan cerita sendiri. Damar mencuci tangannya, lalu kembali duduk di meja makan. Menemani Ratih dan Rea yang belum selesai makan. Telepon kembali berdering, kali ini Ratih melihat foto profile si penelepon yang sangat cantik. Ratih semakin penasaran. Damar tahu Ratih memperhatikan ponselnya. Damar dilema, jika ia
“Apa yang akan kamu lakukan, Mas?““Apakah kamu kuat jika kita ke Solo besok pagi-pagi sekali?“ Damar balik bertanya. Ia khawatir Debbi benar-benar nekat menemui ibunya di Solo. “Sepertinya aku belum siap untuk bertemu dengan orang tuamu. Jika kamu tidak mau Debbi menemui ibumu, sebaiknya kamu kembali ke Kalimantan,“ ucap Ratih yakin. “Kamu tidak apa-apa kalau aku ketemu Debbi?““Aku percaya kamu, Mas. Kalau kamu cinta kepada Debbi, pasti sudah dari dulu kamu menikahinya. Tapi nyatanya, kamu justru ke sini untuk menikahiku.““Iya, kalau dia sampai menemui ibu, pasti akan panjang urusannya.““Ya sudah, kamu cari penerbangan hari ini. Mumpung belum terlalu sore.““Kamu nggakpapa aku tinggal? Kamu yakin?“ Damar kembali meyakinkan. Sebenarnya Damar khawatir dengan kesehatan Ratih. “Iya, aku nggakpapa, aku bisa minta tolong Bu Tutik kalau ada apa-apa.““Baik, aku akan coba cari penerbangan hari ini.“Damar mulai sibuk dengan ponselnya. Ia mencari penerbangan hari ini. Ia tidak ingin Deb