LOGIN"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.
Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah! “Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!” Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata. “Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.” Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi. “Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syukur-syukur kalau Agni marah dan minta cerai dariku. Aku akan menerimanya. Bukankah dia yang meminta? Bukan salahku, kan?” Bibirku tersenyum miring. Membayangkannya saja sudah membuatku lumayan senang dan menghibur diri. Apalagi kalau terjadi sungguhan? Mungkin aku akan merayakannya. * Pov Agni “Agni, Ibu meminta maaf atas nama Arfan ya, Nak. Dia memang keterlaluan. Kamu jangan memusingkannya ya, Nak. Ibu mohon, jangan berpikir untuk menggugat cerai si Arfan. Ibu hanya ingin wasiat dari almarhum ayah dijalankan dengan benar. Ibu akan melakukan apa pun agar kamu nggak sampai berpikir untuk cerai dari Arfan, Nak. Biar kamu merasa bahagia, Agni. Maaf kalau Ibu juga egois.” Bukan satu atau dua kali mertuaku berbicara begini. Di depan keluargaku beliau juga mengatakan yang sama sambil mengiba. Bagaimana aku tega walau aku beneran muak sama Mas Arfan, tapi ibunya begitu baik begini. Galau banget sumpah! Aku ingin hidup tanpa beban begini, beban pernikahan dengan Mas Arfan tentunya. Apalagi kami tak saling cinta sama sekali. Apalagi ucapan Mas Arfan tentang diriku yang bukan tipenya, pasti menjurus pada badanku ini yang berisi. Apa begitu buruknya orang gendut di matanya? Dulu sebenarnya aku tidak segendut sekarang. Aku terlalu suka makan gara-gara temanku yang selalu mengajakku cari kudapan baru. Kami keterusan dan akhirnya menggendut bersama. Mas Ghani juga tahu semua itu. Temanku itu sekarang jarang bertemu denganku. Dia menikah hampir setahun yang lalu dan tinggal di luar kota. Akhir-akhir ini, aku pun jarang berkomunikasi dengannya. Aku dijodohkan dan menikah dengan Mas Arfan pun, dia tidak tahu. Sudah coba dihubungi, tapi masih centang satu sampai detik ini. “Tapi Mas Arfan ngomong nggak akan pernah mencintaiku, Bu. Bagaimana rumah tangga bisa berjalan kalau pemimpin keluarganya saja begitu?” ucapku berharap mertuaku bisa mencernanya dengan benar. Mungkin saja, seorang perempuan bisa luluh karena effort yang dilakukan oleh pasangannya. Kebanyakan begitu walau aku sebenarnya sudah membentengi diri sekuat tenaga, tapi kalau hal itu terjadi padaku, mungkin aku akan jatuh cinta juga pada akhirnya. Namun, pada kenyataannya sekarang, Mas Arfan bukanlah seorang lelaki yang ingin memperjuangkan cinta wanitanya. Walau sudah menikah sekali pun. Bagaimana mungkin kami akan mengarungi bahtera rumah tangga bersama? Aku pun ogah kalau harus mengemis cinta karena aku sejak awal tak cinta. Meski Mas Arfan bisa dibilang tampan dan hampir sempurna seperti pangeran di negeri dongeng, tapi aku nyatakan diriku ini seorang wanita mahal yang tidak mau mengemis cinta padanya. Harusnya dialah yang memperjuangkan cinta di antara kami. Setelah itu, aku bisa mengimbanginya. “Arfan sebenarnya anak yang baik, Nak. Dia hanya terbawa emosi. Ibu yakin, suatu hari nanti, dia mau membuka hatinya untukmu, Nak.” “Mas Arfan nggak suka dengan semua yang ada pada diriku, Bu. Maaf, Bu. Kalau aku yang mengejarnya, aku nggak mau.” Meski rasanya kurang enak didengar, tapi aku harus mendeklarasikannya dengan gamblang di hadapan mertuaku. Mertuaku menghela napas. Entah yang ada dipikirannya sekarang. Untuk beberapa waktu, keadaan di dalam mobil sunyi. Ya, kami masih dalam perjalanan menuju ke rumah pulang dari kantornya Mas Arfan. Setelah kami diusir olehnya. Bikin kesal karena buang-buang waktu dan tenaga saja. Saat berhadapan tadi dengan Mas Arfan dan mendengarkan semua alasan yang dilontarkan, aku sangat geram dan ingin menimpuknya dengan batu. Aku sejelek itu kah, gara-gara badanku? Dia sok mengatakan aku bukan tipenya, padahal dia juga bukan tipeku. Hanya karena merasa wajahnya tampan, apakah dia berhak berbicara yang bikin hatiku meradang? “Agni, Ibu minta maaf sebelumnya,” ucap mertuaku lagi memecah keheningan. Alisku agak berkerut karena mertuaku keseringan meminta maaf hanya untuk mewakili anaknya yang selalu bikin kesal. “Minta maaf kenapa ya, Bu?” “Agni, emmm ... itu, Nak.” Aku menangkap gelagat tak biasa dari mertuaku. Seolah ia merasa tak enak hati, tapi ingin sekali menyampaikan sesuatu itu. “Iya, Bu? Ibu katakan saja,” pintaku karena ikutan penasaran. “Maaf, Agni. Ibu bukan mau berbicara lancang pada menantu Ibu sendiri. Mungkin Ibu memang terkesan egois hanya untuk mempertahankan rumah tangga kalian demi permintaan almarhum suamiku, tapi Agni, menurut Ibu, kamu adalah menantu dan istri yang baik. Ibu nggak mau membuangmu hanya untuk wanita lain yang belum jelas asal usulnya dan kepribadiannya.” Mertuaku mengambil napas. Aku belum menangkap ke arah mana percakapan ini mengalir. “Agni, Ibu hanya minta tolong sama kamu. Bisakah ... bisakah kamu memperhatikan penampilanmu? Maaf Agni, bukan maksud Ibu membela Arfan, tapi demi pernikahan kalian bertahan, bisakah kamu menjaga berat badanmu agar ideal? Ibu akan mendukungmu bagaimanapun caranya, Nak. Ibu minta maaf kalau kamu tersinggung dengan pendapat Ibu. Tapi, Ibu hanya ingin membuktikan pada Arfan kalau kamu itu beneran cantik, Agni. Kamu pantas dicintai oleh Arfan.” Agak syok mendengarkan semua itu. Tapi, kata-kata mertuaku di akhir membuat amarahku yang mulai bergejolak bisa ditenangkan lagi. Bagaimanapun, aku tetap tersinggung dengan ucapannya tadi. Mereka yang diuntungkan, tapi aku yang harus diatur-atur. Kan, bikin kesal. Jujur saja, aku bingung hendak menjawab bagaimana. Aku sudah terlanjur nyaman dengan segala yang ada dalam diriku saat ini. Walau memang, ada saja tatapan sinis atau celetukan tentang berat badanku seperti yang dilakukan Mas Arfan. Keluargaku juga pernah menasihatiku. Tapi, sulit bagiku untuk menurunkan berat badan atau mungkin aku belum punya niat seutuhnya yang membuatku ingin berubah. “Maaf, Bu. Aku baik-baik saja dengan keadaanku yang sekarang. Aku juga nggak mau mengejar cintanya Mas Arfan,” ucapku dengan tegas.34Layar ponsel, aku pandangi. Di sana tertulis berbagai macam sesuatu yang disuka dan tak sukai Agni. Aku mendapatkannya dari Mbak Olif.“Kalau sudah sampai begini, aku tambah percaya sama kamu, Ar. Perjuangkan pernikahan kalian. Kejar Agni sampai dapat.”Begitulah yang dikatakan oleh Mbak Olif. Kalimat yang semakin membuat jiwaku semakin membara. Jiwa untuk merengkuh seutuhnya seorang Agni.“Nggak nyangka, seminggu lagi, Agni akan ulang tahun. Pas di saat keputusan itu akan diberikan.”Seketika itu, otakku berpikir keras. Aku akan melakukan yang terbaik agar selama seminggu waktu yang diberikan, akan mendapatkan hasil yang memuaskan. Pernikahan kami akan baik-baik saja, itulah yang aku harapkan.Aku beralih pada aplikasi warna hijau. Mumpung blokiranku sudah dibuka, aku akan mengirimkan pesan untuknya. Tentu sekarang lebih berhati-hati.Tentang motor, Rehan mengatar saat aku hendak pulang. Ia kelihatan bingung. Karena motor itu milik manager yang kerja di restoran.“Manager itu istr
33“Aku mohon … beri aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya,” pintaku lagi masih dengan posisi yang sama.“Berdiri!” bisik Agni, bicaranya sangat ditekan.“Aku akan berdiri, tapi tolong … ikut aku ke mobil. Kita bicara di sana.”Aku mendengar decak kesal dari mulutnya lagi.“Iya! Iya! Cepat berdiri!”Kali ini, aku mematuhinya.“Di mana mobilmu?” tanyanya, mungkin sudah terlalu tak nyaman menjadi perhatian orang.“Di sana.” Aku menujuk ke arah mobilku.“Cepat!”Agni berjalan lebih dulu. Wajahnya ditekuk.“Terima kasih dan maaf sekali lagi,” ucapku sambil mengekor mengimbangi langkahnya.Agni tak menjawabku. Dia tetap berjalan pada tujuannya.Aku bergegas mempercepat langkah untuk membukakan pintu untuk Agni.Agni berdecak lagi sambil melihatku sinis, tetapi ia masuk ke dalam mobil.Senyumanku tersimpul tipis sambil melangkah ke sisi yang lain. Buket bunga tetap dibawa. Sebelum masuk mobil, aku mengatur napas. Tidak tahu apa yang akan terjadi nantinya.“Dalam seminggu ini, berkas unt
32“Aku udah gila! Kerjaanku nggak fokus. Aku malah nyari hadiah buat Agni dan sekarang, aku menunggunya pulang kerja begini. Hebat … cinta bikin buta segalanya. Bikin kacau jadwalku. Tapi, aku nggak bisa mencegahnya. Kacau bener. Kalau udah begini, aku harus dapetin Agni biar kegilaanku diobati.”Saat ini, aku di dalam mobil. Sorot mataku fokus pada pintu restoran, berharap seseorang yang menganggu pikiran dan hatiku muncul dari sana. Aku ingin sekali melihatnya, bahkan ingin berkomunikasi secara langsung. Kalau lewat ponsel, aku diblokir olehnya. Sungguh terlalu.Agni memblokir nomorku sebab aku sering mengirim pesan, bahkan meneleponnya akhir-akhir ini. Setelah itu, aku tak bisa menghubunginya lagi. Aku kecewa dan lumayan menyesal karena begitu sering menghubunginya. Mungkin ia merasa diteror, tetapi aku sedang berusaha merebut hatinya kembali. Aku sedang berusaha mengejar maafnya.Ponselku berbunyi. Ada pesan masuk. Aku langsung membukanya.“Ar, kamu sama Agni pergi ke pesta ulang
31“Jangan mengharapkan apa pun lagi darinya? Itu juga mauku kalau bisa, tapi sejauh ini, hatiku nggak bisa melupakannya begitu saja. Aku begini juga gara-gara melihatnya sebagai manager waktu itu. Apa perasaanku ini salah? Kenyataannya dia, kan, memang masih istriku. Manager yang bikin aku terpana adalah istriku sendiri. Boleh kan, aku mempertahankannya?”Di dalam mobil, aku berbicara sendiri. Agak kesal pada ucapan Agni tadi, ditambah dia langsung pergi tanpa mau mendengarkan perkataanku lebih dulu. Kesal, tetapi aku terlanjur ingin memilikinya.*POV Agni“Ni, bagaimana caraku untuk menebus kesalahanku padamu?”Jam istirahat, Mas Ghani meneleponku. Ia tak bisa datang ke restoran hari ini.“Apa, sih, Mas. Nggak perlu menebus apa pun. Aku memaklumi semua yang terjadi, kok. Mama udah baikan, kan?”“Alhamdulillah, Ni. Tapi, aku masih disuruh tunggu di sini. Belum boleh urus kerjaan.”“Iyalah, Mas. Rawat Mama dulu. Maaf, kalau aku nggak bisa jenguk. Rumah sakitnya jauh, Mas.”“Udah dido
30“Loh! Arfan?” ucap Mbak Olif saat aku keluar dari mobil.“Iya, Mbak,” balasku sambil melangkah mendekat.“Kok, kamu bisa bersama Agni?”“Bisa, Mbak. Aku diundang juga di pesta ulang tahun itu.”Aku meminta bersalaman padanya.“Wah … bisa gitu, ya? Takdir kalian unik banget.”“Biasa aja kali!” ketus Agni yang mengurungkan masuk rumah.Aku sempat melihatnya terkejut, lalu mendelik ke arahku yang memutuskan keluar dari mobil. Padahal dilarang olehnya. Aku keluar gara-gara disuruh Mbak Olif. Harusnya bukan salahku seutuhnya.“Ni ….”Aku melihat bola mata gadis itu diputar ketika Mbak Olif memanggilnya sebagai teguran.“Aku aja nggak nyangka, Mbak,” ucapku tetap melengkungkan senyuman.Mbak Olif seperti mencari sesuatu pada mobilku karena sorot matanya tertuju ke arah sana. Namun, aku melihat keraguan di wajahnya saat hendak mengungkapkan sesuatu.“Nyari apa, Mbak?” tanyaku ikut melihat ke belakang.“Iya, ya, mobil kalian ternyata beda. Warna dan modelnya aja yang hampir mirip. Ditambah
29“Aku akan pesankan taksi online buatmu saja, ya,” ujar Ghani lagi, ia mulai fokus pada ponsel. Meski wajahnya terlihat gelisah.“Lebih baik, Anda langsung berangkat ke rumah sakit saja, Pak Ghani. Mungkin Anda sudah sangat ditunggu di sana. Soal Mbak Agnia, aku yang akan antar sekalian bertanggung jawab soal gaunnya yang kena noda gara-gara kesalahanku,” ucapku.Ghani melihatku sekilas, lalu berpindah pada Agni.“Kamu nggak apa-apa, Ni?” tanyanya, padahal tidak perlu bertanya begitu. Aku harap, ia cepat pergi.Aku melihat Agni gelisah pula. Mungkin banyak sekali pertimbangan yang berseliweran di kepala. Namun, aku sangat berharap kalau dia akhirnya pasrah pergi bersamaku.“Ya udah, Mas. Kamu pergi ke rumah sakit secepatnya. Nggak usah pesankan taksi online, nanti kelamaan. Yang ada di rumah sakit lebih penting, Mas,” ucap Agni.Ponsel yang digenggam oleh Ghani berbunyi lagi.“Aku ditelepon lagi. Aku harus pergi. Maafkan aku, Ni. Lain waktu, aku akan menebusnya,” ucapnya sambil berj







