LOGIN6
“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.” Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah. “Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!” Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku. Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan Agni. Aku juga menyesali pernikahanku yang sudah terjadi. Andai aku sejak awal sudah kabur. Tapi ... nanti aku jadi gelandangan, dong? Bagaimanapun, hidup di dunia ini tetap harus memegang uang. Terkadang aku ingin meneriakkan segala kegundahan di dalam dada agar mereka yang membelengguku ikut lepas dan enyah menjauh dariku. Namun, itu hanya keinginan yang semu yang mustahil terjadi. Aku memijit keningku perlahan. Harus dibalas seperti apa pesan dari ibuku ini? “Apa aku iyakan saja? Biar Ibu nggak berisik terus. Sudah jelas aku nggak cinta, tetap saja memaksa buat membuka hati. Mana bisa?” Hidupku akhir-akhir ini selalu ditemani oleh gerutuan-gerutuan yang membuat beban di pundak semakin berat. Tidak menggerutu, hatiku terasa sesak. Memang serba salah hidupku ini. “Arfan! Jangan Cuma dibaca! Ibu mau kamu menuruti perintah dari Ibu, Ar! Simpan alamatnya baik-baik! Datangi Agni sambil bawakan makanan untuknya atau hadiah yang lain. Kamu juga harus selalu kasih kabar lewat HP-mu, Ar! Buat apa HP mahal-mahal kalau nggak pernah kasih kabar sama istri sendiri. Istrimu perempuan seperti Ibu, Ar. Dulu saja Ibu pengen selalu dicintai, minimal Almarhum ayahmu kasih kabar sama Ibu kalau lagi jauh. Lakukanlah hal yang sama, Arfan!” Pesan yang ditulis Ibu semakin oanjang seperti orang yang sedang berpidato kenegaraan. “Ya ampun, Ibu! Jangan bandingkan aku dengan kalian. Pernikahanku nggak ada bumbu cintanya. Hah!” gerutuku lagi. Jempolku bersiap menari di layar ponsel untuk membalas pesan yang dikirim Ibu hampir berdekatan waktunya. “Lagian, kalau dia minta cerai, malahan lebih baik. Tapi, mana mungkin. Dia pasti ada sedikit rasa sama aku. Makanya nggak berani melakukannya. Sok cantik padahal kayak kudanil. Hih!” Lagi-lagi mulutku sulit untuk mengatup diam saja. Kejengkelan itu seolah harus diluapkan lewat kata-kata. “Aku simpan alamatnya, Bu. Nanti kalau aku ada waktu, aku akan ke sana.” Begitulah jawabanku pada akhirnya. Padahal semua itu hanya bualan belaka. Mana mungkin aku membuang waktuku yang berharga untuk datang ke rumah itu dan menemui Agni. Dari awal, aku ogah melihatnya. “Nah, gitu dong! Ibu bahagia kalau kamu menurut begini. Jangan bohongi Ibu, ya! Datanglah secepatnya. Ibu akan pantau kamu dan bertanya langsung sama Agni. Awas kalau sampai membohongi Ibu!” Aku mengitarkan bola mata merasa kesal pada ancaman itu. Bagiku, tak kuanggap penting. Kalau nanti diomelin, aku akan memberikan banyak alasan dan semua akan beres. * “Arfan! Kapan kamu menemui Agni! Ya ampun, Arfan! Astagfirullah! Anak ini susah banget dibilangi!” Dalam sambungan telepon, ibuku mengimel lagi entah kesekian kali. Dari sejak pertama memberikan alamat tempat tinggal Agni hingga 10 bulanan ini, aku tidak ada niatan untuk mengunjungi. Wajar memang, Ibu marah begitu. Tapi, bagiku tidak wajar karena sejak awal aku menolak pernikahanku dengan Agni. Masa iya, aku tiba-tiba datang berkunjung sambil membawa hadiah untuk Agni? Kesambet setan mana, coba? Lucu bin aneh. Ibu juga kenapa tidak bisa berpikir dengan benar? Tahu kalau anak lelakinya ini ogah menemui Agni, tapi marah-marah mulu bisanya. “Aku sibuk banget, Bu. Pulang kerja ya tidurlah. Kalau libur buat istirahat juga. Aku nggak sempat pergi ke mana-mana, Bu. Bukan Cuma belum pergi menemui Agni,” ucapku selalu bisa memberikan alasan. Untung ibuku juga punya kesibukan sendiri. Makanya, beliau tidak sempat juga datang jauh-jauh menemuiku hanya untuk mengomeliku. Ada untungnya juga aku berada di sini. “Mau setahun kalian menikah, Arfan! Sejak Agni pindah ke rumah kakanya yang kotanya sama denganmu saja, masa nggak dikunjungi. Kamu ini jangan bikin masalah makin rumit, Arfan! Kita yang meminta Agni jadi istrimu lewat wasiat ayahmu. Tapi, kamu juga yang mengabaikannya? Berpikirlah secara dewasa, Arfan!” Aku menghela napas pelan agar tidak diketahui oleh Ibu. Gampang banget Ibu melimpahkan kesalahan kepadaku, padahal mereka yang egois menjodohkan tanpa bertanya perasaan anaknya. Aku lagi yang disalahkan? Kocak amat hidup ini. Tentu aku menggerutu di dalam hati saja. Kalau terucap, aku taku ibuku jadi punya riwayat jantung gara-gara ucapanku. Aku muak, tapi aku masih berusaha menjaga perasaan ibuku. Pintu ruanganku diketuk dari luar. “Bu, aku ada urusan. Teleponnya besok lagi, ya. Assalamualaikum.” Aku mematikan telepon walau dari ujung sana terdengar belum ingin menyudahi. Tapi, alasanku bukanlah sebuah kebohongan. “Pak Arfan, kita akan melakukan rapat di restoran dekat sini untuk sekalian merayakan keberhasilan proyek kita yang kemarin.” “Oh, baiklah. Sudah diatur semuanya, kan?” “Sudah, Pak. Semua staff yang ikut sudah di broadcast. Mungkin sebagian sudah ada di tempat rapat.” “Baiklah. Ayo, kita berangkat.” * Aku bersama asistenku mengendarai mobil menuju restoran itu. Memang dekat, tapi kalau jalan kaki tidak dianjurkan kecuali sangat terpaksa. Mobil yang membawaku menepi ke tempat parkir restoran yang menjadi tempat rapat kali ini. Dari dalam mobil, tiba-tiba fokusku tertuju pada salah satu perempuan yang mengenakan seragam. Mungkin salah satu karyawan di restoran itu. Ia terlihat sedang fokus pada ponselnya yang ditempelkan ke telinga. Cantik banget dia. Hatiku mengatakannya begitu saja. Pada kenyataannya memang demikian. Walau gadis itu memakai hijab, pesonanya tidak diragukan. Badannya ideal, kulitnya putih dan wajahnya cantik dengan polesan make up yang tidak berlebihan. Wajar bukan kalau aku memujinya dalam diam. Mataku seolah tak mau berkedip memperhatikan gadis itu. Mungkin beginilah rasanya dihipnotis. Aku hanya fokus padanya, padahal baru pertama melihatnya. “Sudah sampai, Pak. Silakan turun.” “O-oh, iya,” jawabku agak kaget. “Ayo, turun.” Kebetulan juga, aku nantinya akan melewati gadis itu. Tentu saja, aku bergegas turun dari mobil. Aku ingin melihatnya dari jarak yang lebih dekat. Kalau bisa, aku akan meminta berkenalan dengannya. Karena dari lubuk hatiku, ada sesuatu yang menyuruhku begitu. Gadis itu masih fokus ketika aku semakin mendekatinya. Ia menelepon sambil menunduk melihat ke arah bawah. Wangi banget. Kakiku tiba-tiba berhenti ketika penciumanku mengendus aroma manis di dekat gadis itu. Entahlah, aku seperti kehilangan akal sehat. “Oh, Pak. Ada apa?” ujar gadis itu menyadari kehadiranku yang berdiri di dekatnya. Namun, saat melihatku, gadis cantik yang menggetarkan hatiku itu tampak terkejut. “Permisi,” ucapnya lagi, seolah terburu-buru pergi menjauhiku.8Aku sangat heran ketika gadis cantik itu seketika pergi, bahkan tampak sangat terburu-buru setelah kami saling tatap.“Kenapa dia pergi begitu saja?” gumamku sambil melihat punggung gadis itu yang kian menjauh.Padahal aku pikir, inilah kesempatan emas buatku karena dia menyapaku duluan. Harusnya aku meminta berkenalan padanya. Minimal tahu namanya sudah membuatku bahagia.“Bodohnya aku nggak lihat ID pengenalnya,” gerutuku lagi masih mematung di tempat yang sama.Tidak biasanya aku seperti sekarang. Di luar nurul kalau kata orang. Memang seperti terhipnotis tanpa sadar. Ketertarikanku pada gadis itu sulit untuk ditepis. Malah terasa begitu bergejolak di dalam hati. Seolah sangat penasaran padanya.Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?Sejujurnya, aku memang tak begitu peduli pada perempuan. Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hobi dan pekerjaan. Mantan pacar pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan, sebelum menikah, aku memang sedang tidak dekat dengan perem
7Pov AgniApa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku?Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan.Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu.Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota.Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini.Kal
6“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.”Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah.“Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!”Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku.Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan A
"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah!“Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!”Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata.“Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.”Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi.“Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syuku
Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan pe
Perlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar.“Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.”Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu.Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni.Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati.“Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku.Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur de







