LOGIN7
Pov Agni Apa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku? Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan. Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu. Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota. Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini. Kalau mertuaku meminta panggilan video, hanya sebentar saja. Itu pun tidak jelas memperlihatkan wajahku. Beliau tidak pernah protes. Mungkin merasa tidak enak hati padaku dan tidak ingin banyak mengaturku. Walau entah, di dalam hatinya seperti apa. Saat ini, badanku ideal. Bagaimana bisa terjadi? Padahal aku sempat menolak permintaan mertuaku dan merasa tersinggung saat disuruh untuk menjaga bobot tubuhku? Baiklah. Aku akan menceritakannya dengan agak singkat, tapi agak panjang juga. Setelah aku memutuskan untuk tinggal di rumah kakakku, seminggu kemudian, ada kabar yang mengejutkan dari temanku yang dulu menjadikanku suka makan tanpa memperhatikan penampilan. “Innalillahi wainnailaihi rajiun. Telah meninggal orang yang kami sayangi, Laudia Rahmi. Apabila banyak kesalahan yang telah dilakukan oleh Almarhumah selama hidup, disengaja maupun tidak, kami dari pihak keluarga mewakili dengan sepenuh hati meminta maaf yang sebesar-besarnya. Kalau Almarhumah masih punya utang, bisa datang ke alamat Jalan Manggis No 5 .... Mohon doanya agar Almarhumah ditempatkan di tempat terbaik dan diterima amal salihnya.” Pesan broadcast itu aku terima dari nomornya yang dulu sudah lama tidak aktif. Seketika itu, aku sangat syok dan bergegas pergi ke alamat itu. Dari rumah kakakku hanya butuh satu jaman. Jantungku berdegub hebat dan keringat dingin bermunculan sebab tidak menyangka kalau teman dekatku kini telah tiada. Apalagi setelah lama tidak ada kabar. Aku sangat penasaran hingga akhirnya, aku tahu sebab kematiannya. Dia meninggal gara-gara serangan jantung. Pemicunya adalah berat badan berlebih atau obesitas. Bagai disambar petir, aku yang merasa bobotku sepadan dengan temanku itu, semakin syok. Ketakutan itu menyusup masuk ke dalam dadaku. Aku memikirkan semua hal buruk di dalam kepala. Tentu saja, aku tidak mau bernasib sama dengan temanku itu. “Mas Ghani, carikan aku tempat gym di sekitar rumah kakakku. Aku takut berat badanku menjadi penyabab kematianku. Aku bisa mengambil pelajaran dari Laudia,” ucapku pada Mas Ghani yang ikut melayat denganku. Kebetulan juga, dia tinggal di kota yang sama dengan kakakku. “Aku akan mendukungmu, Agni. Semua demi kesehatanmu juga. Belum lagi, kamu pasti akan semakin cantik.” Mas Ghani berbicara semakin lirih. Akhir kalimatnya bahkan seperti gumaman. “Apa, Mas? Aku kurang jelas.” “Iya, pokoknya yang terbaik untukmu, Agni.” Sejak saat itu, aku rutin pergi ke tempat gym. Aku melakukan diet ketat, tapi juga sehat. Berkat uang dari mertuaku yang katanya jatah nafkah dari Mas Arfan, aku bisa menggunakannya untuk membayar ahli gizi untuk memantau dietku. Mas Ghani kadang menemaniku saat di gym. Ia ikutan olahraga, walau memang dia terlihat suka melakukannya. Bentuk badannya bagus soalnya. “Semangat, Agni! Kamu pasti bisa!” ucap Mas Ghani sambil mengepalkan tangan dan menyimpulkan senyuman. Sebenarnya, aku merasakan sesuatu dari sikap yang dilakukan Mas Ghani selama ini. Tapi, sampai aku menikah karena dijodohkan dan terpaksa, dia tidak mengatakan apa pun tentang perasaannya. Mas Ghani begitu baik dan perhatian padaku. Bukankah terlihat kalau dia menyukaiku? Bukan aku yang salah menyangka? Entahlah, nyatanya dia tidak mengatakan apa pun tentang sesuatu yang disebut cinta. Pada akhirnya, aku bisa menurunkan berat badanku hingga kurang lebih 20 kg dalam waktu 10 bulanan. Sungguh pencapaian yang luar biasa. Aku tak menyangka, tubuhku bisa menjadi ramping. Berat badanku yang awalnya kira-kira mencapai angka 80 kg, kini menjadi sekitar 60 kg. Tinggi badanku 168 cm. Sudah sangat memuaskan hasilnya. Terbukti dari pakaianku kegedean semua. Aku lumayan banyak beli baju baru yang sesuai dengan bobotku sekarang. Kakakku sampai senangnya mengadakan perayaan kecil-kecilan. Tapi, aku tak pernah menceritakannya pada mertuaku. Biarkan nanti saja beliau tahu kalau sudah saatnya. Aku tak ingin dikira mengubah penampilanku demi anaknya. Ogah bener! Sama sekali tidak terpikirkan olehku. Aku mau diet dan merampingkan badanku dengan bobot ideal karena takut bernasib sama dengan Laudia. Itu saja. Bukan karena Mas Arfan! Setelah dipikirkan, benar apa kata Mas Arfan, kenapa aku tidak menikah saja dengan Mas Ghani, ya? Selama ini, dia begitu baik dan perhatian. Saat diet juga ditemani olehnya. Aku rasa, dia ada perasaan kepadaku. Tapi, payahnya, dia juga bungkam sampai aku dinikahkan dengan Mas Arfan. Apa laki-laki tidak ada keinginan untuk memperjuangkan? Entahlah, tapi Mas Ghani tetap baik padaku walau aku sudah menikah dengan lelaki lain. Dia juga menjadikanku manajer di restorannya. Lebih tepatnya, salah satu cabang restorannya. Dia memang lelaki pekerja keras. Mas Ghani owner yang sibuk. Dia tidak setiap hari datang ke restoran tempat aku bekerja. Seperti saat ini, ia tak ada di sini. Aku memutuskan untuk berdiam di ruanganku. Bagaimanapun, aku tidak ingin bertemu lagi dengan Mas Arfan. Aku belum siap. Aku bingung harus melakukan apa saat di depannya. Memakikah, atau menamparnya, atau malah berbicara ramah dengan penuh senyuman. Sepertinya, opsi terakhir tidak akan aku lakukan. Aku baru sadar dengan ID yang menggantung di leher. Terbalik posisinya. Aku yakin, saat berhadapan dengan Mas Arfan, posisinya belum berubah. Apa benar Mas Arfan mengenaliku hanya dari wajahku? Karena ada masalah, aku harus keluar untuk mencarikan solusi. Dengan sangat kebetulan, aku berdiri menghadap ke arah meja pesanan Mas Arfan. Walau di dalam ruangan, tapi sekatnya adalah kaca bening. Sesekali aku melirik juga untuk memastikan, ternyata aku memergokinya sedang melihat ke arahku. Bukan sekali atau dua kali dilakukannya. Bahkan, senyuman tampak mengembang di bibirnya. Apa dia mengenaliku? Tapi masa sambil senyum-senyum? Bukankah, Mas Arfan nggak suka sama aku? Bagiku sangat konyol. Masa dengan mudahnya perasaan lelaki itu berubah hanya melihat tampilanku sekarang. Padahal aku masih terngiang betapa sadisnya mulut itu menghinaku. Aku bukanlah tipenya, sama sekali tidak cinta dan tidak ingin menikah denganku. Bahkan mengatakannya berkali-kali. Masa hari ini dia tersenyum saat melihatku?8Aku sangat heran ketika gadis cantik itu seketika pergi, bahkan tampak sangat terburu-buru setelah kami saling tatap.“Kenapa dia pergi begitu saja?” gumamku sambil melihat punggung gadis itu yang kian menjauh.Padahal aku pikir, inilah kesempatan emas buatku karena dia menyapaku duluan. Harusnya aku meminta berkenalan padanya. Minimal tahu namanya sudah membuatku bahagia.“Bodohnya aku nggak lihat ID pengenalnya,” gerutuku lagi masih mematung di tempat yang sama.Tidak biasanya aku seperti sekarang. Di luar nurul kalau kata orang. Memang seperti terhipnotis tanpa sadar. Ketertarikanku pada gadis itu sulit untuk ditepis. Malah terasa begitu bergejolak di dalam hati. Seolah sangat penasaran padanya.Apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?Sejujurnya, aku memang tak begitu peduli pada perempuan. Aku lebih suka menyibukkan diri dengan hobi dan pekerjaan. Mantan pacar pun bisa dihitung dengan jari. Bahkan, sebelum menikah, aku memang sedang tidak dekat dengan perem
7Pov AgniApa yang aku takutkan, akhirnya terjadi juga hari ini. Bener-bener nggak nyangka kalau aku berhadapan langsung sama dia. Apa dia menyadari perubahanku? Kalau nggak, ngapain coba, dia berhenti di dekatku?Gelisah, sungguh hatiku gelisah sambil mengayunkan kaki memasuki restoran tempatku bekerja. Aku tak menoleh ke belakang sama sekali. Tak mau saling pandang dengan Mas Arfan.Aku yakin dia akan makan di sini. Bagaimana ini? Apa aku harus ramah padanya kalau benar dia mengenaliku? Hah! Tapi buat apa? Dia aja nggak peduli sama aku sejak dulu.Ponsel aku simpan ke dalam tas. Sangat kebetulan juga, mertuaku yang barusan telepon. Di waktu istirahat begini, biasa beliau melakukannya. Beliau begitu perhatian padaku. Apalagi kami sudah lama sekali tidak bertemu. Ya, setelah aku memutuskan untuk pindah ke rumah kakakku di luar kota.Meski kami sering kasih kabar satu sama lain, lebih tepatnya, mertuaku yang lebih sering melakukannya duluan, beliau tidak tahu perubahanku saat ini.Kal
6“Arfan, Agni akan tinggal di rumah kakaknya, kota yang sama denganmu, Ar. Ibu nggak bisa menolak permintaannya yang pengen mencoba pengalaman baru. Padahal Ibu sudah kasih jatah uang sebagai bentuk nafkah darimu, tapi Agni punya keputusan lain. Mungkin itu lebih baik daripada dia meminta cerai darimu.”Setelah tiga hari dari kejadian waktu itu, Ibu melaporkannya padaku lewat pesan. Bodoh amat sebenarnya. Lagian aku sudah mengatakan semuanya dengan jujur, tapi begitulah maunya Ibu. Pun soal nafkah.“Ini alamatnya, Jalan Merdeka No 10 .... Kamu harus datang menemuinya, Ar. Ingat sama wasiat almarhum ayahmu! Ibu nggak mau pernikahanmu hancur. Itu permintaan terakhir ayahmu. Lakukanlah dengan benar, Ar. Coba buka hatimu untuk Agni, Arfan!”Bahkan, aku diomeli lewat rangkaian kata dan mencekokiku agar mau menelan segala takdir yang dirancang oleh mereka. Di mana jati diriku, coba? Mereka terus yang mengatur hidupku.Aku menghela napas kasar. Begitu malas rasanya selalu dikaitkan dengan A
"Dikira dia cantik? Menarik? Lagaknya sok cantik bener! Najis banget lirikannya tadi!” gerutuku sambil mengepalkan tangan di atas meja setelah ibuku dan Agni keluar dari ruangan pribadiku ini.Ibu tadi sempat memohon pada Agni, tapi wanita gendut itu seolah punya harga diri yang begitu tinggi. Badan mirip lontong begitu bikin aku makin kesal saja. Ibu juga mau-maunya merengek padanya. Bikin kesal, sumpah!“Jangan harap kamu bisa bahagia setelah menyakiti hati istrimu, Arfan!”Ucapan itu juga masih terngiang di ingatanku. Ya, ibuku menyumpahiku hanya demi Agni si gendut itu. Sebelum pergi dari ruanganku. Aku tidak habis pikir dengan semua yang terjadi dalam hidupku. Seperti mimpi buruk, tapi semua adalah kisah hidupku yang begitu nyata.“Semua gara-gara wasiat Ayah yang sangat konyol. Tapi, kalau si gembrot itu nggak lahir ke dunia, nggak bakalan aku jadi begini.”Udara keluar dengan kasar lewat mulutku. Lalu, meraup wajahku penuh emosi.“Setidaknya, mereka sudah pergi dari sini. Syuku
Sekitar hampir dua minggu, hidupku seolah diteror oleh keluargaku sendiri. Tentu ibuku yang memerintahkan. Kalau Agni, dia tahu diri. Dia tidak menghubungiku sama sekali. Jujur saja, ada saja perasaan kesal karena sikapnya itu.Namun, aku tidak mau ambil pusing. Aku sudah memproses segalanya hingga aku bisa dengan mudah bekerja di kantor milik keluargaku yang ada di luar kota—tempatku sekarang ini. Lagian, warisan itu pasti akan jatuh ke tanganku karena aku sudah menuruti keinginan almarhum ayah lewat wasiatnya.“Kita akhiri rapat hari ini. Terima kasih untuk semua kerja keras kalian,” ucapku di depan meja rapat.Sebelum kembali ke ruangan pribadiku, aku berbicara sebentar pada asistenku agar semua dokumen hasil rapat tadi diperiksa kembali.Setelah membereskannya, aku beranjak dari ruang rapat itu dan melangkahkan kaki jenjangku menuju ruangan pribadiku.Ketika daun pintu semakin terbuka lebar, aku terpaku melihat pemandangan di depanku. Ibu dan Agni sudah duduk di sofa di ruangan pe
Perlahan tapi pasti dengan sangat hati-hati, aku mengambil koper yang di dalamnya sudah ada pakaian yang dibutuhkan.Senyum terlukis tipis. Aku melihat Agni sebelum benar-benar keluar dari kamar.“Aku terpaksa menikahimu, makanya sekarang aku memilih kabur tanpa berpamitan denganmu. Masalah apa yang terjadi nanti, bisa dipikirkan belakangan.”Aku bicara sendiri untuk menguatkan diri atas perbuatanku. Membenarkan semuanya agar diri ini lepas dari tekanan yang terasa membelenggu.Di dalam kamar yang pencahayaannya temaran ini, sama sekali tidak ada adegan yang biasa dilakukan di malam pertama. Kami sama-sama enggan, walau entah di lubuk hati terdalam dari seorang Agni.Aku membuka hendel pintu sangat hati-hati.“Agni pasti juga lega karena aku tinggal pergi. Dia bisa leluasa bertemu dengan lelaki bernama Ghani yang mungkin ada perasaan,” gumamku.Aku melangkah keluar. Sorot mata mengitari setiap sudut ruangan untuk memastikan tidak ada kehidupan. Semua orang seharusnya sudah tertidur de







