Flashback On
Zafier Gaster tidak mempedulikan wanita-wanita di sekitarnya yang mencoba menarik perhatian karena tatapannya hanya tertuju pada wanita seksi bergaun merah yang duduk di salah satu sofa tidak jauh darinya dengan gaya congkak, sadar kalau hampir semua lelaki menatapnya lapar. Tonjolan belahan dadanya yang padat berisi begitu menggairahkan bahkan saat dilihat dari jauh sekalipun begitu juga kaki jenjangnya yang terekspos jelas. Sangat cantik dan sexy.
Zafier turun dari duduknya di meja bar, melangkah mantap menghampiri bersamaan dengan seorang lelaki yang juga berjalan ke arah yang sama. Sampai akhirnya mereka berdua berdiri bersisian di depan wanita itu yang nampak kaget dengan kedatangan mereka.
"Siapa kau?" Lelaki itu nampak tidak senang dengan keberadaannya.
Zafier dengan gaya santai, memasukkan kedua telapak tangan ke saku celana bahkan sempat mengedip genit ke wanita seksi itu yang langsung tersipu sebelum menjawab.
"Apa itu penting bagimu?"
Lelaki itu mendengkus, "Tidak ada yang boleh memiliki Helena selain aku."
Zafier terbahak mendengarnya membuat lelaki itu menyimpitkan mata. "Really? Aku melihatnya sejak tadi sendirian di sini dan kau tiba-tiba datang dan mengaku sebagai pemiliknya. Oh lihatlah, dia burung yang bebas di sini." Zafier tersenyum menggoda ke Helena. "Iya kan sayang?"
Helena berdiri dari duduknya, merasa di atas angin diperebutkan dua lelaki tampan. "Oh boys, kalian berdua manis sekali." Berjalan anggun mengelilingi mereka disertai mengelus dada dengan gaya sensual. "Tapi malam ini aku hanya ingin bersama satu laki-laki bukannya dua."
Zafier tersenyum smirk dan berdiri menantang saat laki-laki itu mendekatinya dengan tatapan tajam.
"Kau seharusnya mundur sekarang juga sebelum aku melakukan sesuatu yang akan membuatmu menyesal nantinya. Seorang Martin Allison tidak pernah mendapatkan penolakan. Menjauhlah karena Helena akan berada di atas ranjangku malam ini." Lalu tangannya menarik lengan wanita cantik itu merapat ke tubuhnya.
Zafier menaikkan alis ketika menyadari dengan siapa dia berhadapan. Dalam dunia bisnis, nama Allison memang tidak asing karena merupakan salah satu perusahaan teknologi yang sudah tenar. Secara tidak langsung Martin adalah rivalnya dalam berbisnis dan ironisnya mereka malah bertemu dan saling bertatapan tajam saat memperebutkan wanita malam yang akan diajak bergelut semalaman.
"Ah, terhormat sekali bisa bertemu dengan pemilik Allison di club malam seperti ini bukannya di dalam salah satu ruangan tertutup dengan pakaian formal sedang membicarakan bisnis. Kalau begitu perkenalkan, aku Zafier Gaster. Mungkin kau pernah mendengarnya di suatu tempat."
"Zafier," ucap wanita itu dengan tatapan binar yang dibalas Zafier dengan memberikan kiss jauhnya. Tentu saja hal itu membuat Martin geram.
"Pemiliki perusahaan Gaster yang baru merintis usahanya di Indonesia." Martin terlihat memperhatikan penampilan Zafier secara keseluruhan dengan tatapan sinis, mungkin sedang menilai lawannya. "Kalau begitu, kau termasuk pendatang baru di sini. Jadi lebih baik menyingkirlah dari hadapanku karena ini wilayahku."
Zafier sama sekali tidak bergerak dari tempatnya dan balik menatap tajam. "Sangat arogan sekali. Tidak ada peraturan yang menjelaskan hal itu. Ini bisa diibaratkan seperti berbisnis. Mungkin perusahaanku masih merangkak pelan-pelan tapi bisa jadi suatu saat nanti kita akan berdiri sejajar. Lagipula, perusahaanku sudah lebih dulu besar namanya di luar Asia sedangkan perusahaanmu masih mencoba pasar luar. Jadi—'' Zaf menarik lengan Helena untuk merapat ke tubuhnya. "Siapa bilang aku tidak punya hak yang sama denganmu dalam memiliki kehangatan wanita ini!"
Martin menahan satu lengan Helena begitu juga Zafier dan mereka saling melemparkan aura permusuhan.
"Aku yakin kau hanya pecundang, Zafier. Saat ini Tender milik perusahaan Franklin yang sedang berlangsung pasti akan dimenangkan oleh perusahaanku dan kau bersiaplah untuk kalah. Begitu juga dengan malam ini karena Helena akan bersamaku."
Zaf terdiam, memperhatikan seringaian meremehkan Martin hingga membuat egonya seketika terusik. Lelaki arogan seperti dia memang harus di lawan.
"Kalau aku menang maka bersiaplah untuk mengakui kekalahanmu sendiri, Tuan Martin Allison."
"Yeah, seandainya saja bisa," sindirnya.
"Kita lihat saja nanti." Zafier balas menantang sementara sejak tadi, Helena hanya mendengarkan kedua bedebat.
"Oke, kalau begitu aku akan memilih," ucapnya akhirnya membuat keduanya sontak menoleh ke arahnya.
"Oke sweety," ucap Zafier sementara Martin diam dengan geram.
Helena menarik lepas cekalan tangan mereka dan mundur seraya memandangi keduanya dengan senyuman menggoda.
"Aku akan mencium lelaki yang akan membawaku pulang." Helena berputar-putar di sekitar Martin dan Zaf yang menunggu lalu tanpa terduga Helena mengalungkan lengannya di leher Zaf dan menempelkan bibirnya yang langsung saja dibalas Zaf dengan agresif seraya menarik tubuhnya semakin rapat.
"Kalian akan menyesal," geram Martin penuh amarah kemudian berlalu pergi dari sana.
Zaf menatap punggung Martin yang berjalan menjauh masih sambil membalas pagutan bibir Helena.
Flashback Off
***
"Errghh, sayang."Erangan itu membuat Zafier yang sejak tadi duduk memandangi lampu-lampu gedung kota Jakarta menoleh ke samping, di mana Helena tergeletak tanpa sehelai benangpun setelah pergulatan mereka tadi."Tidurlah," ucap Zaf seraya menghisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke udara."Aku maunya meluk kau," ucapnya manja.Bukannya menuruti kemauan wanita itu, Zaf malah turun dari tempat tidur membuat Helena jelas bingung."Why, zaf?" Tanyanya heran."Aku mau cari udara segar dulu. Kau lanjutkan saja tidurnya. Kalau aku tidak kembali itu berarti sedang ada yang aku kerjakan di tempat lain.""Tapi aku mau kau tidur di sini dan temanin aku sampai pagi."Zaf tidak mempedulikan protesan Helena, berjalan mengarah ke kamar mandi untuk membasuh diri dan keluar setengah jam kemudian dengan setelan santai. Dilihatnya Helena duduk di tepi ranjang sedang menghisap rokoknya. Zaf menghampiri, menarik rokok itu dari tangannya dan mematikannya."Hei—" ucapnya kesal."Jangan merokok.
Bagi Shine, menjadi wanita lemah tidak ada dalam kamusnya.Setidaknya seorang wanita tidak harus selalu bergantung pada lelaki. Kalau bisa dilakukan sendiri kenapa harus meminta bantuan mereka yang kebanyakan merasa sombong karena dilahirkan lebih kuat. Terserah dia mau dicap sebagai perempuan bar-bar, tidak elegan dan lebih banyak membuat kaum lelaki yang tertarik dengan wajah imut juga cantiknya ielfeel setelah melihat kelakuannya yang kadang seperti lelaki hingga membuatnya tetap melajang diusianya yang ke dua puluh lima tahun.Untuk membekali dirinya dalam menghadapi apapun hal yang bisa saja terjadi pada wanita yang hidup sendiri, Shine belajar ilmu bela diri secara otodidak. Kepalan tangannya sudah sekuat lelaki, tendangannya memberikan efek yang pasti akan menjatuhkan dan dia belajar untuk selalu waspada.Awalnya Shine tidak terlalu peduli dengan lelaki berhoodie yang duduk di salah satu meja minimarket langganannya tapi saat menyadari kalau lelaki itu menguntitnya masuk ke da
Shine ternganga, memegangi kepalanya dengan tangannya yang lain merasakan pusing. "Oh pemuas wanita?" Shine kembali fokus. "Oke, itu sangat membantu untuk menentukan langkah selanjutnya yang harus aku ambil." "Oh senang sekali bisa membantumu. Apa kau akan merobek leherku sekarang juga?" "Tidak. Tidak sekarang karena pelajaran berharga untuk lelaki sepertimu itu—" Shine tersenyum smirk. "Yang seperti ini." BUUK!! Shine mengayunkan kakinya tepat mengenai kebanggaan lelaki itu dengan kerasnya dan berlanjut memukul wajahnya mengenai tulang hidung dan pipi. "Arrgghh, Shit!!!" umpat lelaki itu seraya mundur dan merunduk memegangi itu-nya dengan kedua tangan terlihat kesakitan. "Sialan!! Apa wanita selalu mengarahkan kemarahan mereka ke bagian terpenting laki-laki yang bisa memuaskan kalian tanpa ampun!!" "Yeah, supaya itu-mu punya tata krama!!" Umpat Shine seraya tersenyum penuh kemenangan. "Kau mau melawanku, huh? Tanggung akibatnya nanti!!"desisnya. "Oh, siapa takut." Shine men
Shine mengerang saat tangan lelaki itu menelusup di balik bajunya, membelai kulit punggungnya tanpa perantara dengan sensual masih sambil mencium bibirnya dengan napsu dan Shine melotot saat lelaki itu melepas kaitan branya. Shine mencoba melawan tapi percuma. Dia tidak bisa melakukan banyak hal. Seharusnya dari awal, dia sudah menghajarnya tanpa harus mengobrol dulu seperti teman lama. Yeah, Shine yang idiot. "Sial, aromamu sangat menggoda. Memabukkan," bisiknya setelah melepaskan pagutan bibirnya dan turun ke leher jenjangnya, mengigit-gigit kecil sampai kancing bajunya terbuka memperlihatkan belahan dadanya dan dengan kurang ajarnya bibir lelaki itu turun menghisapnya di sana. "BRENGSEK!! Aku akan membunuhmu—Ssshhh." Shine mengatupkan bibirnya karena takut mengeluarkan desahan. Tangan lelaki itu asik mengelusi punggungnya dari atas ke bawah, untung tidak sampai menjalar ke depan. Napasnya naik turun tidak beraturan mendapat perlakukan tidak senonoh dari lelaki gila di depannya
"Ini termasuk dalam tindak pidana asusila."Shine membuka sedikit syal yang melekat di lehernya yang jenjang dengan ekspresi kesal. Jarinya yang lentik menunjuk beberapa bercak merah yang tersebar di sekitar leher dan dada bagian atas. Dengan gerakan kasar, Shine membenarkan letak syal motif bunga-bunga untuk menutupinya lalu menatap Sasha frustasi."Lihat bagaimana lelaki bajingan itu menandai leherku ini seakan-akan dia ingin memperlihatkan kepada dunia kalau aku ini sejatinya adalah miliknya seorang. Dasar gila!"Tadi malam Shine meneleponnya, menceritakan kejadian yang menimpanya secara mendetail tanpa memberinya kesempatan untuk berargumen dan siang ini dia datang ke cafe untuk menunjukkan mahakarya yang dibuat laki-laki tidak dikenal itu disertai dengan omelan panjang seperti biasanya. Sasha hanya diam menjadi pendengar di salah satu kursi di sudut cafenya yang belum buka seraya mengaduk sendok sup jagung di tangannya. Nampak tidak begitu berselera."Yakin itu bukan ulah pacarm
"Aroma maskulinnya memabukkan," ucap Shine akhirnya membuat Sasha bengong. "Jenis parfum mahalan yang tidak bisa sembarangan orang membelinya." Shine seperti menerawang mengingat kejadian kemarin malam. "Dia punya bulu-bulu halus di rahangnya tapi aku tidak bisa melihat keseluruhan wajahnya karena terhalang hoodie." "Wah, mungkin dia penjahat yang tampan." Shine melipat lengannya, duduk menyandar di kursi dan menghela napas panjang. "Lelaki itu bule. Logat Amerikanya kentara sekali meskipun bahasa Indonesianya lancar." Sendok yang dipegang Sasha menggantung di udara ketika mendengarnya. Dia mengerjap lalu menyimpitkan matanya. "Kamu yakin?" Shine mengangguk, "Seratus persen yakin. Di mana aku pernah mendengar suaranya ya?" Sasha diam memandangi Shine yang memijit pelipisnya nampak berpikir. "Ah, pokoknya siapapun dia, aku harus bisa menemukannya lagi." Shine mengepalkan tangan dan menyentaknya di atas meja dengan geram. "Dia tidak akan lolos dari kemurkaanku karena membuatku meras
Restoran Burgary Zafier sudah lama bergelut dalam dunia bisnis. Dia bisa menilai karakter orang-orang yang bekerja sama dengannya hanya dengan mengamati tingkah laku mereka selama berinteraksi. Sebisa mungkin dia begitu berhati-hati terhadap orang yang bermuka dua dan penjilat. Sejujurnya, sejak awal Zafier tidak mempermasalahkan jika perusahaannya kalah dalam Tender Franklin walaupun orang-orang kepercayaannya di kantor yang sudah berkerja keras untuk mendapatkan proyek itu tidak terima. Baginya, menang atau kalah dalam bisnis itu hal yang biasa. Masih banyak pintu yang akan terbuka jika pintu yang satu terbuka bukan untuk dimasuki olehnya dengan catatan dia sudah sampai dalam batas maksimal kemampuannya dalam mengusahakan untuk bisa memasuki pintu itu. Tapi untuk kasus proyek Franklin, Zafier harus menggunakan kemampuannya untuk bisa mendapatkannya. Di sana dia mendapatkan banyak sekali perjanjian terselubung yang selama beberapa tahun ini terjadi antara Allison Corp dengan Pih
“Kau akan meninggalkanku di sini?"Zaf tersenyum miring menanggapi pertanyaan Helena yang duduk di atas westafel kamar mandi tepat di sampingnya. Hanya mengenakan kemeja putih miliknya tanpa mengenakan apapun di dalam setelah percintaan mereka satu jam yang lalu."Aku juga ingin ikut denganmu ke Amerika," desahnya seraya meraba dada Zafier yang sedang mengancingkan kemeja hitamnya. "Bawa aku ke sana bersamamu."Zaf menjauhkan telapak tangan Helena yang langsung merengut, berharap diajak berlibur ke Amerika dengan pesawat Jet-nya."Kita tidak sedekat itu sampai aku harus membawamu ke Amerika," jawab Zaf santai membuat harapan Helena langsung runtuh.Helena tentu saja tidak terima. "Kita sudah bersama satu bulan lebih dan itu artinya kita sudah sepasang kekasih bukan?"Zafier memastikan penampilannya rapi lalu menoleh ke Helena yang menatapnya dengan wajah kesal, bergerak mendekat dan mengurung tubuh wanita cantik itu dengan kedua tangan bertumpu di pinggiran westafel saling memandang d