Malam itu, Pleton-A pimpinan Letnan Murad dan Pleton-C pimpinan Letnan Mahmud benar-benar menunjukkan taringnya. Hanya dalam waktu kurang dari dua menit, mereka berhasil membuat ratusan monster haus darah yang sebenarnya adalah sisa-sisa gerombolan preman dan bandit anak buah Rudolf Subrata itu bertumbangan satu per satu – hingga habis seluruhnya!Kedua pleton itu benar-benar menghabisi semuanya, tidak satu pun disisakan untuk rekan-rekan mereka dari tiga pleton lainnya yang datang belakangan.“Periksa!” teriak Mayor Marlon Baruna.“Siap, laksanakan!” sahut lima komandan pleton hampir serempak.Selanjutnya, kelima komandan pleton itu segera mengatur anggotanya masing-masing untuk mengumpulkan dan memeriksa seluruh jenazah korban pertempuran malam itu. Jenazah yang terlihat mengenakan seragam tentara milisi dipindahkan dan diletakkan berjajar di sisi kanan jalan, sementara yang tidak mengenakan atribut militer apa pun – ditumpuk begitu saja di sisi sebelah kiri.Tak butuh waktu lama, p
Asap hitam membumbung tinggi, menambah suram suasana malam.Empat sosok tubuh tampak bergelimpangan tak jauh dari sebuah bangkai truk militer yang masih terus terbakar. Tiga di antaranya terlihat menggeliat-geliat tak berdaya seperti sedang meregang nyawa, sementara yang satu lagi – terlihat sedikit lebih baik, bahkan cukup baik untuk bisa kembali berdiri.Sosok yang kembali berdiri itu adalah Beta-1, komandan tentara milisi Tim Beta.Nama asli Beta-1 adalah Theo Baruna.Sebelum bergabung dengan pasukan aliansi, Theo Baruna dikenal sebagai seorang tuan muda kaya dari sebuah keluarga besar kelas dua Morenmor. Dia bergabung dengan pasukan aliansi dan kemudian diangkat menjadi komandan muda tentara milisi karena pengaruh dan dukungan ayahnya, Mayor Marlon Baruna, yang merupakan seorang perwira di benteng perbatasan.Dulu, Mayor Marlon Baruna pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro.Malam ini, Mayor Marlon mendapat tugas untuk ikut melakukan inspeksi menyeluruh atas seluruh asrama pen
Terlalu percaya diri!Mungkin, itu adalah ungkapan yang tepat untuk menggambarkan tindakan Rudolf Subrata yang nekat mengejar Beta-1 sendirian!Dia mengejar hanya dengan ditemani seorang sopir, tanpa pengawal atau anak buah sama sekali. Kendaraan yang digunakannya pun hanya sebuah SUV mewah, bukan kendaraan militer atau kendaraan tempur yang dilengkapi persenjataan canggih atau fitur perlindungan yang mumpuni.Amarah dan dendam tampaknya telah benar-benar melumpuhkan akal sehatnya. Bayangan ratusan anak buahnya yang tewas dibantai pasukan milisi beberapa saat lalu, membuatnya tak lagi peduli pada keselamatan diri sendiri. Sepertinya, dia telah bertekad untuk mengantarkan sendiri nyawa komandan tentara milisi yang dikejarnya itu – ke hadapan dewa penjaga neraka!“Kejar terus, jangan sampai lolos!” perintah pemimpin gerombolan preman paling ditakuti di seantero Morenmor itu penuh tekad.Sopir yang mengemudikan mobil Rudolf tidak menjawab.Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, kaki kananny
Komandan senior pasukan dari benteng perbatasan tidak salah!Pada malam itu, sejak beberapa jam yang lalu – ternyata memang ada lebih dari 200 orang tentara milisi bersenjata lengkap yang tengah bergerak untuk menjalankan suatu misi rahasia.Ratusan tentara milisi bersenjata lengkap itu adalah anggota Tim Beta, kelompok terbesar dari 300 orang tentara milisi gabungan tiga keluarga besar kelas dua Morenmor yang sedang menggelar operasi senyap dalam rangka membasmi Keluarga Desplazado berikut seluruh kekuatan pendukungnya. Malam itu, misi rahasia yang dijalankan oleh para tentara milisi tersebut adalah menyerbu dan menghancurkan basis utama kekuatan Rudolf Subrata di suatu kawasan terpencil di luar kota Morenmor.Kawasan terpencil itu dikenal dengan sebutan Distrik Silentium.Semua orang tahu, Distrik Silentium adalah sarang preman terbesar di Morenmor. Hampir seluruh penduduk kawasan tersebut adalah adalah bandit kambuhan yang sudah berkali-kali keluar masuk penjara.Rudolf Subrata ada
Bruk …!Brukk …!Brukkk ...!Satu per satu anggota Tim Alfa menjatuhkan diri, berlutut sambil meletakkan senjata lalu melipat tangan dengan jari-jari saling bertautan di belakang kepala yang tertunduk dalam.Tanpa dikomando, sepuluh orang prajurit benteng perbatasan segera bertindak.Tiga orang langsung mengumpulkan dan mengamankan senjata-senjata milik tentara milisi anggota Tim Alfa, sedangkan tujuh lainnya bergerak cepat melumpuhkan para tentara milisi itu dengan cara yang sedikit ektrim – yaitu memukul tengkuk mereka hingga jatuh pingsan.Selanjutnya, tubuh-tubuh tak sadarkan diri itu dimasukkan ke dalam sebuah truk besar lalu dibawa entah ke mana.Setelah itu, para serdadu yang hampir semuanya pernah dilatih langsung oleh Martin Sindoro itu mulai menyisir seluruh gedung Hotel Preatorium. Setiap kamar diperiksa tanpa kecuali, memastikan bahwa tidak ada sisa-sisa tentara milisi anggota Tim Alfa yang masih bersembunyi.Di luar dugaan, saat hendak memeriksa salah satu kamar di lantai
Ramos bukan ragu karena takut mati.Bandit tua itu hanya merasa tak percaya diri.Dia hanya sendirian dan harus melawan banyak orang yang bahkan belum diketahui jumlah dan posisi pastinya. Lebih dari itu, dia hanya berbekal dua pucuk senjata otomatis yang pelurunya pun sudah banyak terpakai – saat menembaki lampu tadi.“Harus minta bantuan secepatnya,” gumam Ramos pelan, mencoba berpikir jernih.Dia kemudian mengeluarkan ponselnya lalu menghubungi Rudolf. Tanpa meninggalkan detil apa pun, dia melaporkan seluruh situasi yang dihadapinya.“Semua anggota kita mungkin sudah tewas, Ketua!” ujar Ramos menutup laporannya.“Bertahanlah, jangan mati sebelum aku datang. Bakar beberapa kamar di lantai atas untuk menarik perhatian dan bantuan pihak lain di luar gedung!” sahut Rudolf tegas, langsung memberi perintah setelah memahami situasi di Hotel Preatorium.“Siap, Ketua!” jawab Ramos girang, mulai percaya diri lagi.Selanjutnya, dia langsung membakar sebuah tempat tidur besar yang terdapat di