“Yu, saya boleh minta satu hal?”Ayu mengangguk seraya menatap Bahtiar yang sedang melepas jam tangan. Dia sudah berniat akan memenuhi apa pun permintaan suaminya selama tidak melanggar syariat.“Sudahi kerjasama dengan pihak pesantren. Kamu boleh jualan apa pun. Kalau butuh tambahan modal, saya bersedia memberi suntikan dana. Tapi, jangan pernah lagi terlibat dengan orang-orang dan kegiatan pesantren.”"Jadi … Abang mau aku berhenti jualan takjil dari pesantren?" tanya Ayu pelan, memastikan apakah dia tidak salah dengar.Bahtiar menatap Ayu serius. "Ya. Kamu bisa produksi sendiri, ambil dari suplier lain, atau apa pun sistemnya asal bukan ambil jualan dari pesantren."Ayu terdiam sejenak mencerna permintaan itu. Sebenarnya, permintaan Bahtiar tidak sulit untuk dituruti. Dia juga ingin usahanya berkembang lebih mandiri, hanya saja keterampilannya memang masih terbatas.Mungkin ini memang yang terbaik untuk semua. Bahtiar tidak perlu cemburu lagi kepada Zen. Ayu pun bisa lebih menjaga
Bahtiar duduk di sofa dengan tangan terlipat di dada, menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa benar-benar ditonton. Piring bekas makan malam masih tergeletak di meja. Puntung rokok berceceran sehingga debunya mengotori taplak meja.Lelaki itu kemudian tersenyum kecut. Biasanya, akan ada seseorang yang mengomel jika melihat pemandangan tersebut.“Abang ini sudah besar, tapi nggak bisa rapihan dikit buang sampahnya. Noda kayak gini susah dicuci!”“Kenapa kamu yang sewot? Yang nyuci kan Bibi, bukan kamu.”“Justru itu, Bang. Bibi udah berumur, kasihan kalau keluar tenaga ekstra buat ngucek taplak.”Ada saja hal-hal yang menurutnya sepele, tapi mengganggu bagi Ayu. Terkadang Bahtiar tidak bisa memahami jalan pikiran istrinya. Bi Sanih memang digaji untuk melakukan pekerjaan rumah, tapi dia sering tidak tega ketika melihat pembantu mereka mulai kelelahan.Bahtiar juga tidak tahu mengapa Ayu begitu kukuh memegang prinsip agama. Di saat wanita lain berlomba-lomba memakai baju seksi
Laras langsung berlari dan memeluk erat begitu melihat Ayu turun dari taksi online. Gadis cilik kelas 4 SD tersebut gembira bukan main. Baru kemarin minta dibelikan baju lebaran, kakaknya tiba-tiba datang membawa sebuah tas besar."Teh Ayu bawain baju lebaran, ya?” tanyanya dengan mata berbinar.Ayu tersenyum canggung. Dia sebenarnya lupa akan permintaan adiknya. Kemarin pikirannya terlalu sibuk mencerna semua fakta terkait rahasia mertua serta trauma masa lalu Bahtiar.“Baju barunya nanti kita beli bareng aja, gimana?” Ayu berkelit.“Beneran, ya? Asik!”“ Iya, janji. Nanti kita beli mukena princess juga seperti yang kamu pengin.”Laras meloncat girang. Karena suaranya yang berisik, Bu Ratna yang tengah menggendong si bungsu pun ikut keluar. Galuh dan Sekar menyusul kemudian.Ayu mengucap salam dan mencium tangan sang ibu. Setelah itu, bergantian adik-adik yang menyalaminya. Meskipun baru-baru ini Ayu sempat mampir ke rumah untuk mengantar kue kering, pulang dalam keadaan bertengkar d
Ayu merapikan toples-toples kue kering yang ia buat sendiri di sela-sela kesibukannya berjualan takjil. Kedainya makin ramai seiring berjallannya waktu dan dia semakin sibuk. Namun, kesibukan itu juga sebenarnya menjadi pelarian. Sejak pertengkaran mereka malam itu, Bahtiar mulai menjaga jarak.Bahtiar berangkat kerja sebelum Ayu bangun dan pulang saat Ayu sudah tidur. Tak ada lagi percakapan ringan atau sekadar basa-basi soal bagaimana hari mereka. Ayu menyadari perubahan itu, tapi ia memilih diam. Mungkin Bahtiar butuh waktu untuk menerima bahwa prinsip mereka soal halal-haram sama sekali tidak bisa dikompromikan.Hari itu, Ayu datang ke pondok dengan membawa bingkisan berisi snack dan perlengkapan sekolah untuk acara santunan anak yatim. Ia tidak bisa datang saat hari H untuk menghindari intensitas pertemuan dengan Zen. Namun, rencananya berubah saat yang menyambutnya justru lelaki itu sendiri."Teh Ayu?" Zen sedikit terkejut saat melihat Ayu berdiri di gerbang pesantren."Ehm, iya
Bahtiar melempar kunci mobil asal-asalan dan langsung mengempaskan tubuhnya di sofa begitu tiba di rumah. Matanya terpejam, tapi napasnya berat dan tangannya mengepal erat.“Yang tadi beneran Papa, Bang?” tanya Ayu pelan.Lelaki itu tidak menjawab. Ayu sebenarnya menduga Juragan Manan berselingkuh. Namun, itu hanya sebatas dugaan berdasarkan apa yang dia lihat. Jika Bahtiar mau bicara, tentu semuanya akan lebih jelas.Ayu pergi ke kamar. Selain untuk berganti baju, dia juga ingin memberi ruang sendiri untuk suaminya. Wanita yang kini mengenakan piyama merah muda itu kemudian ke dapur untuk membuat teh hangat.“Diminum dulu, Bang,” katanya seraya menaruh segelas teh di depan Bahtiar. Aroma wanginya menguar hingga membuat Bahtiar membuka mata.“Mau sendiri dulu apa mau ditemani?” Entah mengapa, seperti ada dorongan dari dalam diri Ayu untuk menanyakan hal itu.Bahtiar menyesap teh beberapa saat sebelum akhirnya menjawab, “Tumben perhatian.”Ayu cemberut. Ia berdiri hendak kembali ke kam
Hari baru saja beranjak malam. Cahaya rembulan beradu indah dengan kerlip bintang. Keindahannya diiringi oleh lantunan ayat suci dari speaker masjid dekat rumah. Sebagian warga bersiap pergi ke masjid untuk salat Isya dan Tarawih. Namun, berbeda halnya dengan penghuni rumah Bahtiar.“Bang Tiar, kan, yang nyuruh preman buat hajar mereka?” tanya Ayu dengan tatapan tajam.Bahtiar tidak langsung menjawab. Dia hanya bersedekap menatap sang istri yang tengah merajuk. Sejak pulang dari kedai, wanita itu terus membahas soal permintaan maaf dari preman yang meminta iuran keamanan.“Jawab aku, Bang!”“Kalau iya, memangnya kenapa?” sahutnya santai sambil menyilangkan kaki dan bersandar di sofa.“Abang nggak mikirin perasaanku?” tuduh Ayu. “Sekarang orang-orang jadi curiga sama aku. Mereka selalu tanya backinganku siapa.”Tawa Bahtiar menggema. “Tinggal jawab Bahtiar, apa susahnya?”“Nggak akan! Asal Abang tahu, kemarin aku dengar percakapan pedagang yang punya utang di koperasi. Dia sampai ketak