"Kami sudah mengevaluasi kondisi Saudari Belinda," ucap dokter. "Hasil tes laboratorium dan konsultasi dengan psikolog menyimpulkan bahwa ia mengalami gejala ketergantungan obat-obatan tertentu. Kami menyarankan agar Belinda menjalani rehabilitasi sesegera mungkin."Bahtiar menghela napas berat. Ayu yang duduk di sampingnya langsung memegangi tangan suaminya erat-erat. Meski ia sempat curiga, mendengar vonis itu secara langsung tetap saja menyesakkan."Apakah dia akan ditahan, Bang?" tanya Ayu pelan.Salah satu petugas BNN yang datang bersama polisi menjawab, “Kami akan melakukan penggeledahan terlebih dahulu. Jika Saudari Belinda kedapatan memiliki barang tersebut, maka yang bersangkutan bisa dikenai pasal tentang kepemilikan narkoba.”“Digeledah, Pak?” Ayu menggeleng setengah tak percaya. Terbayang masyarakat sekitar pasti akan langsung memberi penilaian buruk terhadap keluarga mereka.Polisi mengeluarkan surat izin penggeledahan. Mau tak mau, mereka hanya bisa pasrah. Sementara Ayu
Kadang kala, rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Ia seperti tamu yang tak berkabar, tapi tiba-tiba datang membawa banyak oleh-oleh. Itu pulalah yang dialami Ayu hari ini.Wanita itu menghadiri kajian rutin seperti biasa. Salah satu jamaah yang cukup akrab dengannya adalah Aisyah, ibu muda dengan satu anak yang masih TK. Beberapa kali, Aisyah membawa anaknya ke kajian karena tidak ada yang menjaga di rumah.Anaknya, Raihan, dikenal cukup aktif dan sulit diatur. Tapi anehnya, setiap kali main di dekat Ayu, bocah itu jadi penurut. Raihan bahkan pernah tidak mau pulang karena ingin terus bermain dengan Ayu."Teh Ayu, saya tuh ada kepikiran. Kalau Teteh berkenan, mau nggak ngajarin Raihan baca Iqro di rumah? Dua hari sekali, durasi satu jam untuk tiap pertemuan. Saya udah pusing gimana cara ngajarin karena, yah … Teteh tahu sendiri dia kayak gimana.”Ayu menaikkan alis. "Serius, Bu? Waduh, saya takut nggak sabaran ngajarin anak kecil.""Saya yakin Teh Ayu bisa. Raihan tuh c
Ayu memandangi plastik klip transparan berisi pil kuning di tangannya. Tanpa keterangan di kemasan, Ayu bertanya-tanya mengapa Belinda menyimpan barang tersebut.“Mungkinkah Abel sakit? Perlukah aku melaporkannya ke Bang Tiar?” batin Ayu.Wanita itu mengamati sekeliling kamar. Selain baju yang berserakan, tidak banyak barang Belinda yang dibawa ke sana. Ayu bahkan tidak melihat buku atau alat tulis di meja.“Ah, sebaiknya aku tidak ikut campur. Abel pasti marah kalau tahu aku memeriksa kamarnya.”Kamar adalah area privasi. Ayu pun semula hanya berniat bersih-bersih menggantikan tugas Mbok Yun. Kurang pantas jika ia menggeledah kamar Belinda meskipun ini adalah rumahnya.Ayu pikir, mungkin itu hanya vitamin. Toh, selama ini Belinda kelihatan sehat dan baik-baik saja. Wanita bermata bulat itu pun menaruh kembali barang tersebut di laci dan keluar.Sesampainya di ruang tengah, Ayu menepuk dahi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Hampir saja ia lupa kalau hari ini ada jadwal pertemu
Ayu dan Bahtiar berjalan pelan di antara keramaian pasar malam. Tak ada kata yang terucap di awal. Pikiran mereka sibuk mencari topik untuk membuka obrolan.“Bang ….”“Saya …,” ucap mereka hampir bersamaan.Mereka tertawa kecil. Tawa yang canggung, tapi menyenangkan. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perut.“Silakan Bang Tiar duluan,” kata Ayu. Matanya mengamati kerlip lampu yang menghiasi stand-stand jualan.Tiba-tiba saja Ayu merasakan tangannya menghangat. Jari-jemari Bahtiar mengisi sela-sela jarinya lalu menggenggam erat tangannya. Genggaman itu seolah-olah menjadi penahan agar tubuh mereka tidak melayang.Bahtiar tak bisa menahan senyum. Ayu tidak memberontak atau berusaha melepaskan genggaman. Sebaliknya, wanita itu menggenggam balik. Mereka layaknya sepasang kekasih yang dibuai asmara.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bahtiar. Suaranya beradu nyaring dengan mesin penggerak wahana permainan.“Baik,” jawab Ayu singkat. Bukan karena kesal, melainkan gugup tangann
Ayu sudah bersiap di kedai sejak pukul lima pagi. Sesekali ia bersenandung atau bercanda dengan Ragil yang ikut ke kedai. Sejak memutuskan kembali berjualan, ada sedikit semangat baru dalam dirinya.“Teh, gorengan taruh sebelah mana?” tanya Bu Ratna. Wanita itu baru saja meniriskan seloyang bakwan dan tahu isi untuk menu pendamping nasi uduk.“Biarin di situ dulu, Bu. Etalasenya belum kering benar,” sahut Ayu.Semenjak tidak lagi mengambil suplai barang dari pondok pesantren, Ayu menjual kue buatannya sendiri. Bu Ratna berhenti menjadi buruh cuci dan berinisiatif menjual nasi uduk. Pak Senolah yang bertugas mengangkut bahan-bahan dari rumah ke kedai, dan sebaliknya.Serombongan ibu-ibu yang bekerja sebagai petugas penyapu jalan perumahan lewat di depan kedai. Ayu menghentikan mereka.“Tunggu sebentar ya, Bu. Ini ada nasi buat sarapan.”Ayu dan Bu Ratna membungkus lima porsi nasi uduk. Ia juga memasukkan beberapa potong gorengan dan kue talam.“Terima kasih, Neng Geulis. Semoga sehat s
Bahtiar menatap dinding sel yang tampak kelabu. Sudah lebih dari 24 jam ia ditahan di Polres. Petugas menyatakan bahwa Bahtiar didakwa atas kasus penipuan nasabah koperasi melalui pemalsuan dokumen.Kepala Bahtiar penuh dengan berbagai pertanyaan. Bagaimana mungkin ia bisa dilaporkan atas kasus yang tidak pernah ia lakukan? Siapa yang melaporkannya? Apa motifnya?“Saya tidak melakukannya, Pak!” seru Bahtiar saat pertama kali datang ke kantor polisi. Napasnya naik turun menahan amarah.“Pengadilan yang nanti akan membuktikan Anda bersalah atau tidak.” Petugas bermata elang itu menjawab santai, seolah sudah terlalu sering menerima pernyataan serupa dari setiap orang yang mereka tangkap.“Apa buktinya?” Bahtiar menggebrak meja. Setiap kali ditanya, jawaban para petugas itu seperti template yang tidak memuaskan rasa penasarannya sedikit pun.“Bukti akan ditunjukkan saat sidang. Kalau sekarang Bapak mau mencari pengacara, silakan. Tapi harap mengikuti setiap prosedur dengan tertib!”Bersam