Share

Mahar 10 Juta

Author: DV Dandelion
last update Last Updated: 2025-06-23 15:38:33

“Saya janji, Ma, ini pertama dan terakhir kalinya saya meminta tolong,” ucap Bahtiar sungguh-sungguh.

“Kamu ini cari penyakit saja.” Bu Ely melempar pandangan ke arah rerimbunan mawar di luar jendela. “Padahal kamu bisa saja cari perempuan lain yang lebih cantik, lebih seksi, dan pastinya setara dengan keluarga kita. Kenapa harus Ayu?”

Bahtiar mengikuti arah pandangan mamanya kemudian tersenyum. Ingatannya melayang ke masa delapan tahun silam.

Saat itu, Bahtiar menuntun sepeda motor karena bannya bocor. Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Bahtiar basah kuyup dan tidak bisa berteduh karena posisinya berada di tengah area persawahan.

“Bang Tiar!” seru seseorang dari arah belakang.

Bahtiar menoleh dan mendapati Ayu berlari-lari kecil di bawah payung kuning nan lebar. Tanpa diminta, Ayu memayungi Bahtiar yang sudah basah kuyup. Tangannya terangkat tinggi-tinggi sebab perawakan Bahtiar cukup bongsor.

“Motornya kenapa, Bang?”

“Bocor,” jawab Bahtiar singkat. Dia celingak-celinguk melihat sekitar, barangkali ada seseorang yang bisa dimintai tolong atau ditanya lokasi tambal ban terdekat.

Seolah mengerti apa yang sedang dicari Bahtiar, Ayu pun menawarkan bantuan. “Di depan, belok kanan, ada tukang tambal ban. Ayo, kuantar ke sana!”

Ayu yang kala itu baru masuk SMP belum mengetahui bahwa keluarga Bahtiar adalah rentenir. Yang dia tahu, Juragan Manan sering membantu saat orang tuanya sedang tidak punya uang.

Bahtiar mulai mengagumi kecantikan paras Ayu seiring mereka tumbuh dewasa. Sesuai namanya, Ayu memiliki paras menawan dengan kulit kuning langsat. Bulu matanya lentik dan hidungnya bangir bak perosotan.

Sayang seribu sayang, sikap Ayu mulai berubah setelah mengetahui siapa Bahtiar sebenarnya. Dia tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Manan. Maka, ketika kini kesempatan menikahi Ayu datang, Bahtiar tidak mau menyia-nyiakannya.

“Boleh ya, Ma?” bujuk Bahtiar lagi.

Bu Ely menarik napas dalam-dalam. Mengingat andil besar si sulung terhadap bisnis keluarga, dia tidak sampai hati juga menolak keinginannya.

"Baiklah, Mama akan berikan deposito itu kepadamu, tapi ...."

"APA?!" Seseorang memotong ucapan Bu Ely.

Bahtiar dan mamanya menoleh. Di depan pintu, seorang gadis berambut pirang bergegas melepas sepatu dan berjalan cepat menghampiri mereka.

“Apa Mama bilang? Bang Tiar boleh ambil deposito dari Nenek?” Belinda bertanya dengan tatapan tajam.

Adik Bahtiar itu baru sampai rumah setelah semalaman tidak pulang. Mendengar mamanya mengizinkan kakaknya menerima warisan sebelum waktunya, Belinda naik pitam.

"Mama nggak adil!" suara Belinda meninggi. Wajahnya memerah, bola matanya membulat penuh amarah.

“Aku yang lebih dulu minta uang itu untuk skripsi dan wisuda, Ma. Aku yang lebih butuh, tapi malah Bang Tiar yang Mama kasih.”

Bu Ely memijat pelipisnya yang berdenyut. Sejak awal, dia sudah tahu kalau pembicaraan ini tidak akan berjalan mudah.

"Karena tujuannya beda, Belinda!"

"Apa yang beda? Kami berdua sama-sama cucu Nenek! Aku juga berhak atas warisan itu!"

"Kamu belum menikah, itu yang membedakan." Suara Bu Ely terdengar lebih tegas sekarang. "Uang itu hanya boleh diambil setelah kalian menikah. Itu wasiat Nenekmu, dan Mama tidak mau melanggar."

Belinda mendengus kesal. "Lalu kenapa Bang Bahtiar boleh? Kenapa wasiatnya tiba-tiba jadi fleksibel?"

Bahtiar, yang sejak tadi duduk tenang sambil menikmati teh, akhirnya membuka suara. "Karena aku memang akan menikah dalam waktu dekat. Kalau kamu juga sudah punya calon, mungkin Mama akan mempertimbangkan."

Belinda melipat tangan di dada, ekspresinya penuh ketidaksetujuan. "Jadi karena aku belum nikah, aku nggak punya hak? Itu konyol! Uang itu tetap milikku juga!"

"Dengar, Belinda." Bu Ely menatap putrinya dalam-dalam. "Ini bukan masalah hak. Mama cuma ingin menjalankan wasiat Nenek dengan baik. Tahu sendiri bagaimana Nenek kalian. Dia tidak suka kalau warisannya dipakai untuk hal yang sia-sia."

"Maksud Mama, studiku sia-sia?" Suara Belinda bergetar, lebih kepada terluka daripada marah.

Bahtiar menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan begitu, Belinda. Maksudnya, pernikahan memang lebih besar tanggung jawabnya. Dan uang itu bisa membantu Ayu nanti."

Mendengar nama itu, Belinda mendengkus sinis. "Oh, jadi semua ini demi calon istrimu? Perempuan yang bahkan belum jadi bagian dari keluarga kita? Hebat sekali!"

Bahtiar mengambil ponsel lalu membuka mobile banking. Tertera saldo ratusan juta rupiah di rekeningnya.

“Kamu butuh berapa untuk skripsi dan wisuda? Dua puluh, cukup? Nanti Abang transfer ke rekeningmu.”

“Aku nggak butuh uang Abang! Sejak dulu, Mama memang cuma sayang sama Bang Tiar. Mama selalu nurutin kemauan Bang Tiar!”

“Jaga ucapan kamu, Bel! Mama tidak akan mengubah keputusan. Kamu boleh mengamuk sepuasnya, tapi deposito itu tetap hanya akan diberikan setelah kamu menikah."

Belinda mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Dengan langkah cepat, dia bangkit dan meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Bahtiar mengejar adiknya ke kamar. Namun, langkahnya terhenti sebab sang adik langsung membanting pintu dan mengunci pintu dari dalam.

*

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
EstrianaTamsir
seru banget
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Mengumpulkan Bukti (1)

    Ponsel Ayu berdenting di meja kerja. Notifikasi WhatsApp dari nomor Pak Arman muncul.[Bu, data pemesanan dalam kurun waktu lima bulan terakhir sudah saya kirim via email. Silakan dicek.]Ayu bergegas membuka email melalui ponsel. Ada lampiran Excel dan beberapa foto nota pengiriman.Ia menyalakan lampu meja kerja, menata beberapa lembar catatan stock opname, lalu mulai menyalin angka-angka yang tertera di layar.Semakin jauh ia membandingkan, keningnya semakin berkerut. Dugaannya benar. Jumlah yang ia pesan dan barang yang dikirim supplier sudah sesuai. Namun, jumlah itu berbeda dengan angka yang tertulis di laporan keuangan butik.Tidak ada kekeliruan dari pihak suplier. Artinya, masalah bukan dari luar, melainkan di dalam butiknya sendiri.Ayu mencondongkan tubuh, menelusuri setiap baris catatan masuk yang dibuat karyawannya. Dari situ Ayu menyadari bahwa ada sekitar 50 potong cardigan yang hilang.Tak mau gegabah menyimpulkan, Ayu segera mengecek sisa stok di gudang. Menurut catat

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Tak Ingin Curiga

    Dugaan selisih stok barang di butik membuat Ayu benar-benar gusar. Ia sudah menyisir tumpukan berkas di meja kerja, tapi catatan restok dari suplier itu seperti menghilang tanpa jejak.Dari teras, suara tawa para karyawannya terdengar jelas. Mereka baru saja selesai menikmati siomay dan es teh, lalu masuk kembali ke dalam butik dengan langkah riang. Tak ada sedikit pun raut khawatir di wajah mereka. Seolah-olah mereka memang tidak tahu-menahu soal selisih stok.“Teh, kami lanjut ke gudang, ya. Sekalian mau hitung sisa stok sarimbit lebaran tahun lalu.” Salah satu karyawan berpamitan sambil menenteng buku catatan.Ayu mengangguk singkat, mencoba memasang ekspresi netral. Padahal hatinya kacau. Ia ingin sekali menanyakan soal cardigan rajut dan harga sablon plastik yang janggal itu. Namun, lidahnya seakan kelu. Ada ketakutan kalau pertanyaannya malah disalahartikan sebagai tuduhan.Ia menarik napas panjang lalu bersandar ke kursi. Matanya memandangi tumpukan baju baru yang nantinya akan

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Jujur kepada Ibu

    Ayu duduk di meja makan dengan tatapan kosong. Sendok di tangannya hanya mengaduk-aduk bubur ayam yang sebenarnya sudah mulai dingin. Sesekali ia menarik napas panjang, tapi tidak juga menyuap makanan itu ke mulut.Bahtiar, yang duduk di seberang meja, memperhatikan sambil menyeruput teh hangat. Awalnya ia diam, berharap Ayu membuka obrolan terlebih dahulu. Namun, setelah beberapa menit, wajah istrinya tetap serius seperti sedang memikirkan sesuatu. Akhirnya ia angkat bicara.“Ayu Andini yang paling cantik se-Banyusari … buburnya nanti pusing lho kalau kamu putar-putar terus,” guraunya.Ayu memutar bola mata karena mendengar candaan garing Bahtiar. Tapi akhirnya tersenyum kecil juga.“Lagi mikirin apa sih, Sayang?”Ayu akhirnya menaruh sendoknya lalu menopang dagu. “Sejujurnya aku masih kepikiran Teh Sora, Bang. Nggak nyangka aja dia lepas jilbab di acara semalam. Mana gaunnya seksi banget lagi.”Nada suaranya masih menyimpan ketidakpercayaan. Bahtiar menatapnya dengan sabar, lalu ter

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Undangan Pesta

    Ayu sudah berdiri hampir setengah jam di depan lemari pakaian. Wajahnya cemberut sementara tangannya berkacak pinggang. Beberapa potong baju tergeletak berantakan di tempat tidur.“Aduh … kenapa aku nggak punya baju yang cocok buat ke pesta, sih?” keluhnya. Padahal ada sederet baju-baju bagus nan mahal yang tergantung rapi di hadapannya.Bahtiar yang sejak tadi duduk di sofa sambil membaca pesan di ponsel akhirnya mendongak. Senyum tipisnya muncul, separuh geli separuh gemas melihat tingkah sang istri.“Itu isi lemari mau dikeluarin semua?” candanya. “Kamu udah nyoba tujuh baju, Sayang. Baju biru yang barusan cocok, kok. Elegan, pas banget buat acara nanti.”Ayu meraih gaun biru safir berbahan satin halus. Area pinggang, ujung lengan, dan sebagian roknya dihiasi payet. Tumpukan lipatan kain sutra di sisi kiri gaun membuat gaun itu tampak indah menjuntai.“Tapi warnanya ngejreng banget, Bang. Aku nggak PD. Kalau pakai ini aja gimana?”Ayu mengambil gamis putih tulang. Ada tali panjang

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Kecurigaan Ayu

    Ayu memutuskan untuk pulang ke Karawang lebih cepat. Entah mengapa hatinya tak tenang memikirkan kedekatan Sora dan suaminya. Selama ini, Sora memang selalu bersikap baik. Namun, mengirim makan siang untuk suami orang itu rasanya sudah agak di luar batas.Hal ini tidak mungkin dibicarakan lewat telepon, apalagi chat. Tulisan tanpa suara bisa saja ditafsirkan berbeda. Mendengar intonasi suara tanpa saling melihat ekspresi juga bisa menimbulkan kesalahpahaman.Pagi itu juga, Ayu berkemas. Tak banyak barang yang ia bawa. Baju yang ia pakai selama di Bandung semuanya milik Sekar.Udara Bandung terasa lebih segar setelah semalaman hujan. Sekar yang duduk di tepi ranjang menatap kakaknya dengan wajah murung.“Teh, beneran hari ini pulang?” suaranya lirih, seperti anak kecil yang hendak ditinggal pergi.Ayu menoleh sebentar, lalu tersenyum hangat. “Iya, Kar. Kamu sudah jauh lebih sehat. Obat juga tinggal diminum sesuai jadwal. Maaf, ada toko dan rumah di Karawang yang harus Teteh urus juga.”

  • JERAT CINTA RENTENIR MUDA   Kehadiran Sora

    “Siapa ya, Teh?” bisik Sekar. “Apa jangan-jangan Ibu tahu kalau aku dirawat di rumah sakit?”Ayu menggeleng yakin. “Bukan … kamu kan dengar sendiri waktu kemarin Ibu teleponan sama Teteh.”Sekar kembali menajamkan pendengaran. Lalu, dari balik pintu, terdengar suara panggilan lembut yang tidak asing di telinga Ayu.“Yu, ini aku.”Sekejap wajah Ayu berubah lega. “Ahh, Teh Sora rupanya!”Ayu pun bergegas membukakan pintu. Sora berdiri di luar dengan senyum ramah. Wanita itu tampak cantik dalam balutan blazer abu muda yang senada dengan warna celakanya.“Mari silakan masuk, Teh. Maaf agak lama, tadi sempet deg-degan nebak siapa yang ketuk pintu karena nggak ada yang berkabar mau jenguk,” jelas Ayu panjang lebar.“No problem, Yu. Maaf aku juga lupa chat dulu. Tadi habis ada acara yayasan langsung kemari.”Wanita itu lantas menoleh ke belakang. “Yuk, masuk!”Seorang pemuda berkulit sawo matang dengan perawakan tinggi mengekor Sora dari belakang. Ayu mengernyit bingung. Sadar bahwa adiknya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status