“Saya janji, Ma, ini pertama dan terakhir kalinya saya meminta tolong,” ucap Bahtiar sungguh-sungguh.
“Kamu ini cari penyakit saja.” Bu Ely melempar pandangan ke arah rerimbunan mawar di luar jendela. “Padahal kamu bisa saja cari perempuan lain yang lebih cantik, lebih seksi, dan pastinya setara dengan keluarga kita. Kenapa harus Ayu?” Bahtiar mengikuti arah pandangan mamanya kemudian tersenyum. Ingatannya melayang ke masa delapan tahun silam. Saat itu, Bahtiar menuntun sepeda motor karena bannya bocor. Di tengah perjalanan, tiba-tiba hujan turun dengan sangat deras. Bahtiar basah kuyup dan tidak bisa berteduh karena posisinya berada di tengah area persawahan. “Bang Tiar!” seru seseorang dari arah belakang. Bahtiar menoleh dan mendapati Ayu berlari-lari kecil di bawah payung kuning nan lebar. Tanpa diminta, Ayu memayungi Bahtiar yang sudah basah kuyup. Tangannya terangkat tinggi-tinggi sebab perawakan Bahtiar cukup bongsor. “Motornya kenapa, Bang?” “Bocor,” jawab Bahtiar singkat. Dia celingak-celinguk melihat sekitar, barangkali ada seseorang yang bisa dimintai tolong atau ditanya lokasi tambal ban terdekat. Seolah mengerti apa yang sedang dicari Bahtiar, Ayu pun menawarkan bantuan. “Di depan, belok kanan, ada tukang tambal ban. Ayo, kuantar ke sana!” Ayu yang kala itu baru masuk SMP belum mengetahui bahwa keluarga Bahtiar adalah rentenir. Yang dia tahu, Juragan Manan sering membantu saat orang tuanya sedang tidak punya uang. Bahtiar mulai mengagumi kecantikan paras Ayu seiring mereka tumbuh dewasa. Sesuai namanya, Ayu memiliki paras menawan dengan kulit kuning langsat. Bulu matanya lentik dan hidungnya bangir bak perosotan. Sayang seribu sayang, sikap Ayu mulai berubah setelah mengetahui siapa Bahtiar sebenarnya. Dia tidak mau lagi berurusan dengan keluarga Manan. Maka, ketika kini kesempatan menikahi Ayu datang, Bahtiar tidak mau menyia-nyiakannya. “Boleh ya, Ma?” bujuk Bahtiar lagi. Bu Ely menarik napas dalam-dalam. Mengingat andil besar si sulung terhadap bisnis keluarga, dia tidak sampai hati juga menolak keinginannya. "Baiklah, Mama akan berikan deposito itu kepadamu, tapi ...." "APA?!" Seseorang memotong ucapan Bu Ely. Bahtiar dan mamanya menoleh. Di depan pintu, seorang gadis berambut pirang bergegas melepas sepatu dan berjalan cepat menghampiri mereka. “Apa Mama bilang? Bang Tiar boleh ambil deposito dari Nenek?” Belinda bertanya dengan tatapan tajam. Adik Bahtiar itu baru sampai rumah setelah semalaman tidak pulang. Mendengar mamanya mengizinkan kakaknya menerima warisan sebelum waktunya, Belinda naik pitam. "Mama nggak adil!" suara Belinda meninggi. Wajahnya memerah, bola matanya membulat penuh amarah. “Aku yang lebih dulu minta uang itu untuk skripsi dan wisuda, Ma. Aku yang lebih butuh, tapi malah Bang Tiar yang Mama kasih.” Bu Ely memijat pelipisnya yang berdenyut. Sejak awal, dia sudah tahu kalau pembicaraan ini tidak akan berjalan mudah. "Karena tujuannya beda, Belinda!" "Apa yang beda? Kami berdua sama-sama cucu Nenek! Aku juga berhak atas warisan itu!" "Kamu belum menikah, itu yang membedakan." Suara Bu Ely terdengar lebih tegas sekarang. "Uang itu hanya boleh diambil setelah kalian menikah. Itu wasiat Nenekmu, dan Mama tidak mau melanggar." Belinda mendengus kesal. "Lalu kenapa Bang Bahtiar boleh? Kenapa wasiatnya tiba-tiba jadi fleksibel?" Bahtiar, yang sejak tadi duduk tenang sambil menikmati teh, akhirnya membuka suara. "Karena aku memang akan menikah dalam waktu dekat. Kalau kamu juga sudah punya calon, mungkin Mama akan mempertimbangkan." Belinda melipat tangan di dada, ekspresinya penuh ketidaksetujuan. "Jadi karena aku belum nikah, aku nggak punya hak? Itu konyol! Uang itu tetap milikku juga!" "Dengar, Belinda." Bu Ely menatap putrinya dalam-dalam. "Ini bukan masalah hak. Mama cuma ingin menjalankan wasiat Nenek dengan baik. Tahu sendiri bagaimana Nenek kalian. Dia tidak suka kalau warisannya dipakai untuk hal yang sia-sia." "Maksud Mama, studiku sia-sia?" Suara Belinda bergetar, lebih kepada terluka daripada marah. Bahtiar menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Bukan begitu, Belinda. Maksudnya, pernikahan memang lebih besar tanggung jawabnya. Dan uang itu bisa membantu Ayu nanti." Mendengar nama itu, Belinda mendengkus sinis. "Oh, jadi semua ini demi calon istrimu? Perempuan yang bahkan belum jadi bagian dari keluarga kita? Hebat sekali!" Bahtiar mengambil ponsel lalu membuka mobile banking. Tertera saldo ratusan juta rupiah di rekeningnya. “Kamu butuh berapa untuk skripsi dan wisuda? Dua puluh, cukup? Nanti Abang transfer ke rekeningmu.” “Aku nggak butuh uang Abang! Sejak dulu, Mama memang cuma sayang sama Bang Tiar. Mama selalu nurutin kemauan Bang Tiar!” “Jaga ucapan kamu, Bel! Mama tidak akan mengubah keputusan. Kamu boleh mengamuk sepuasnya, tapi deposito itu tetap hanya akan diberikan setelah kamu menikah." Belinda mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras. Dengan langkah cepat, dia bangkit dan meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata lagi. Bahtiar mengejar adiknya ke kamar. Namun, langkahnya terhenti sebab sang adik langsung membanting pintu dan mengunci pintu dari dalam. * Bersambung"Kami sudah mengevaluasi kondisi Saudari Belinda," ucap dokter. "Hasil tes laboratorium dan konsultasi dengan psikolog menyimpulkan bahwa ia mengalami gejala ketergantungan obat-obatan tertentu. Kami menyarankan agar Belinda menjalani rehabilitasi sesegera mungkin."Bahtiar menghela napas berat. Ayu yang duduk di sampingnya langsung memegangi tangan suaminya erat-erat. Meski ia sempat curiga, mendengar vonis itu secara langsung tetap saja menyesakkan."Apakah dia akan ditahan, Bang?" tanya Ayu pelan.Salah satu petugas BNN yang datang bersama polisi menjawab, “Kami akan melakukan penggeledahan terlebih dahulu. Jika Saudari Belinda kedapatan memiliki barang tersebut, maka yang bersangkutan bisa dikenai pasal tentang kepemilikan narkoba.”“Digeledah, Pak?” Ayu menggeleng setengah tak percaya. Terbayang masyarakat sekitar pasti akan langsung memberi penilaian buruk terhadap keluarga mereka.Polisi mengeluarkan surat izin penggeledahan. Mau tak mau, mereka hanya bisa pasrah. Sementara Ayu
Kadang kala, rezeki datang dari arah yang tidak disangka-sangka. Ia seperti tamu yang tak berkabar, tapi tiba-tiba datang membawa banyak oleh-oleh. Itu pulalah yang dialami Ayu hari ini.Wanita itu menghadiri kajian rutin seperti biasa. Salah satu jamaah yang cukup akrab dengannya adalah Aisyah, ibu muda dengan satu anak yang masih TK. Beberapa kali, Aisyah membawa anaknya ke kajian karena tidak ada yang menjaga di rumah.Anaknya, Raihan, dikenal cukup aktif dan sulit diatur. Tapi anehnya, setiap kali main di dekat Ayu, bocah itu jadi penurut. Raihan bahkan pernah tidak mau pulang karena ingin terus bermain dengan Ayu."Teh Ayu, saya tuh ada kepikiran. Kalau Teteh berkenan, mau nggak ngajarin Raihan baca Iqro di rumah? Dua hari sekali, durasi satu jam untuk tiap pertemuan. Saya udah pusing gimana cara ngajarin karena, yah … Teteh tahu sendiri dia kayak gimana.”Ayu menaikkan alis. "Serius, Bu? Waduh, saya takut nggak sabaran ngajarin anak kecil.""Saya yakin Teh Ayu bisa. Raihan tuh c
Ayu memandangi plastik klip transparan berisi pil kuning di tangannya. Tanpa keterangan di kemasan, Ayu bertanya-tanya mengapa Belinda menyimpan barang tersebut.“Mungkinkah Abel sakit? Perlukah aku melaporkannya ke Bang Tiar?” batin Ayu.Wanita itu mengamati sekeliling kamar. Selain baju yang berserakan, tidak banyak barang Belinda yang dibawa ke sana. Ayu bahkan tidak melihat buku atau alat tulis di meja.“Ah, sebaiknya aku tidak ikut campur. Abel pasti marah kalau tahu aku memeriksa kamarnya.”Kamar adalah area privasi. Ayu pun semula hanya berniat bersih-bersih menggantikan tugas Mbok Yun. Kurang pantas jika ia menggeledah kamar Belinda meskipun ini adalah rumahnya.Ayu pikir, mungkin itu hanya vitamin. Toh, selama ini Belinda kelihatan sehat dan baik-baik saja. Wanita bermata bulat itu pun menaruh kembali barang tersebut di laci dan keluar.Sesampainya di ruang tengah, Ayu menepuk dahi. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 10.30. Hampir saja ia lupa kalau hari ini ada jadwal pertemu
Ayu dan Bahtiar berjalan pelan di antara keramaian pasar malam. Tak ada kata yang terucap di awal. Pikiran mereka sibuk mencari topik untuk membuka obrolan.“Bang ….”“Saya …,” ucap mereka hampir bersamaan.Mereka tertawa kecil. Tawa yang canggung, tapi menyenangkan. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu yang beterbangan di perut.“Silakan Bang Tiar duluan,” kata Ayu. Matanya mengamati kerlip lampu yang menghiasi stand-stand jualan.Tiba-tiba saja Ayu merasakan tangannya menghangat. Jari-jemari Bahtiar mengisi sela-sela jarinya lalu menggenggam erat tangannya. Genggaman itu seolah-olah menjadi penahan agar tubuh mereka tidak melayang.Bahtiar tak bisa menahan senyum. Ayu tidak memberontak atau berusaha melepaskan genggaman. Sebaliknya, wanita itu menggenggam balik. Mereka layaknya sepasang kekasih yang dibuai asmara.“Bagaimana kabarmu?” tanya Bahtiar. Suaranya beradu nyaring dengan mesin penggerak wahana permainan.“Baik,” jawab Ayu singkat. Bukan karena kesal, melainkan gugup tangann
Ayu sudah bersiap di kedai sejak pukul lima pagi. Sesekali ia bersenandung atau bercanda dengan Ragil yang ikut ke kedai. Sejak memutuskan kembali berjualan, ada sedikit semangat baru dalam dirinya.“Teh, gorengan taruh sebelah mana?” tanya Bu Ratna. Wanita itu baru saja meniriskan seloyang bakwan dan tahu isi untuk menu pendamping nasi uduk.“Biarin di situ dulu, Bu. Etalasenya belum kering benar,” sahut Ayu.Semenjak tidak lagi mengambil suplai barang dari pondok pesantren, Ayu menjual kue buatannya sendiri. Bu Ratna berhenti menjadi buruh cuci dan berinisiatif menjual nasi uduk. Pak Senolah yang bertugas mengangkut bahan-bahan dari rumah ke kedai, dan sebaliknya.Serombongan ibu-ibu yang bekerja sebagai petugas penyapu jalan perumahan lewat di depan kedai. Ayu menghentikan mereka.“Tunggu sebentar ya, Bu. Ini ada nasi buat sarapan.”Ayu dan Bu Ratna membungkus lima porsi nasi uduk. Ia juga memasukkan beberapa potong gorengan dan kue talam.“Terima kasih, Neng Geulis. Semoga sehat s
Bahtiar menatap dinding sel yang tampak kelabu. Sudah lebih dari 24 jam ia ditahan di Polres. Petugas menyatakan bahwa Bahtiar didakwa atas kasus penipuan nasabah koperasi melalui pemalsuan dokumen.Kepala Bahtiar penuh dengan berbagai pertanyaan. Bagaimana mungkin ia bisa dilaporkan atas kasus yang tidak pernah ia lakukan? Siapa yang melaporkannya? Apa motifnya?“Saya tidak melakukannya, Pak!” seru Bahtiar saat pertama kali datang ke kantor polisi. Napasnya naik turun menahan amarah.“Pengadilan yang nanti akan membuktikan Anda bersalah atau tidak.” Petugas bermata elang itu menjawab santai, seolah sudah terlalu sering menerima pernyataan serupa dari setiap orang yang mereka tangkap.“Apa buktinya?” Bahtiar menggebrak meja. Setiap kali ditanya, jawaban para petugas itu seperti template yang tidak memuaskan rasa penasarannya sedikit pun.“Bukti akan ditunjukkan saat sidang. Kalau sekarang Bapak mau mencari pengacara, silakan. Tapi harap mengikuti setiap prosedur dengan tertib!”Bersam