"Safiaaa!" pekik Jevin dan Yuki bersamaan dengan panik.Jevin lantas berlari menangkap tubuh Safia yang ambruk ke lantai."Safia ... bertahanlah, Fia!" Jevin memeluk istrinya yang tengah meringis menahan sakit yang teramat pada perutnya. Pria itu mencium rambut Safia lama. Dia pikir cara itu bisa mengalihkan rasa sakit sang istri.Tapi Safia terus saja tersengal kesakitan. Wajahnya kini sepucat kapas. "Je-Je-Jevin," sebut Safia dengan mulut yang menahan rasa sakit."Aku ... aku akan membawamu ke rumah sakit secepatnya. Bertahanlah!" tekad Jevin meyakinkan Safia."Sa-sakit, Jevin," desis Safia. "Arghhh!" Safia kian mengerang kesakitan. Lalu napas wanita itu kembali tersengal. Pandangannya pun buram. Safia tidak sadarkan diri."Fia ... Fia bangun!" jerit Jevin sambil menepuk-nepuk pipi Safia. Pria itu amat takut jika harus kehilangan Safia untuk kedua kali dalam hidupnya. Jevin terus mengguncang bahu Safia berusaha membangunkan istrinya ituEmbun sendiri seketika mematung melihat ada ba
Jevin dan Yuki sudah diperbolehkan masuk ke ruang ICU untuk melihat kondisi Safia dan Embun. Kedua wanita itu berada dalam satu ruangan. Mereka hanya terpisah sekat korden hijau saja. Jevin gegas menuju ranjang tempat Safia terbaring, sedang Yuki hanya melihat keadaan sahabat kecilnya itu sebentar saja. Pemuda itu beralih melihat kondisi Embun.Jevin yang melihat Safia tergolek lemah dengan wajah pucat seketika membuat hatinya iba. Mulut dan hidung Safia tertutup selang oksigen. Tidak ada suara selain bunyi dari alat monitor jantung. Ruangan ICU memang menyeramkan. Mata Jevin turun beralih ke perut Safia. Kini wanita itu telah berganti dengan pakaian khusus. Pria itu meringis perih. Ia dapat merasakan kesakitan yang istrinya rasa.Jevin menghela napas panjang. Tidak dapat terbayangkan, jika Safia tidak menolong dirinya. Mungkin dia yang akan terbaring lemah seperti ini. Atau mungkin dia sudah meregang nyawa.Tiba-tiba mata Jevin terasa merebak. Tanpa bisa dicegah air matanya menetes
"Maksudnya apa ini?" tanya Vino kurang paham.Dia juga sedikit tidak rela istrinya dituduh seperti itu oleh Yuki. Pria itu menatap Yuki saksama. Sorot matanya menutup penjelasan pada Yuki.Yuki hanya melirik sekilas pada Vino yang masih menatapnya serius. "Lo tanya ke istri lo aja. Tanyakan apa yang ia hasutkan pada Embun." Akhirnya Yuki berujar dengan datar.Vino segera menatap istrinya. Pria itu menelisik manik cokelat Ghea. Sedangkan Ghea hanya mampu tertunduk. Wanita ber-blouse kuning kunyit itu merasa bersalah."Ghe ...." Vino meraih dagu istrinya agar kembali mendongak. Suami istri itu saling memandang. Kembali sorot mata Vino menuntut penjelasan.Ghea lantas membuang muka. Dirinya malu mengakui kesalahannya."Maafkan aku, Vin." Akhirnya, Ghea bersuara setelah beberapa menit membisu. "Aku telah meracuni pikiran Embun untuk membenci Safia." Ghea mengaku sembari menunduk."Kenapa? Apa yang membuatmu melakukan hal itu?" Vino kembali menuntut penjelasan."Itu ... ah ... Vino." Ghea
Jevin menatap Safia. Istri sudah dipindah ke ruang inap biasa sehabis magrib tadi, setelah mendapat transfusi darah darinya tadi siang. Jevin sengaja memilih ruang VIP. Kini dirinya seorang diri menjaga sang istri. Tadi dua jam lalu mamanya baru saja menjenguk Safia. Menggantikan tugas Bu Ratih yang telah seharian menunggui Safia.Sebenarnya Jevin dilarang oleh mertuanya untuk menunggui Safia seorang diri karena pria itu masih terlihat lemas sehabis transfusi. Tetap Jevin menolak. Bahkan pria itu menyuruh Sabiru pulang saja agar tidak usah menemaninya menunggui Safia.Jevin merasa kelelahan. Pikirannya tertuju pada Yuki. Pemuda sama sekali belum menginjakkan kaki ke rumah selama Embun ada di rumah sakit ini. Jevin menghela napas. Ia dapat merasakan jika perasaan Yuki pada mantannya sungguh tulus."Kalo kamu sadar, jangan pernah lagi menyia-nyiakan ketulusan hati Yuki, Bun." Jevin bicara sendiri. "Jangan sampai menyesal seperti aku yang mengabaikan Safia," lanjutnya sembari mengelus p
Keadaan Embun berangsur pulih setelah mendapat tambahan darah dari Bu Ratih. Seperti halnya Safia, gadis itu pun sudah dipindah ke ruang inap biasa. Semua prosedur itu semua ditangani oleh Yuki. Pemuda itu benar-benar menunjukkan kepedulian pada sang gadis.Dirinya rela meninggalkan segala urusan syuting demi menjaga gadis itu. Pasalnya Embun tidak punya keluarga. Satu-satunya bibi hanya bisa menengok beberapa waktu saja. Janda itu harus banting tulang menghidupi ketiga anaknya seorang diri. Dan Yuki memaklumi hal itu. Yuki bahkan tidak mengindahkan perintah sang bunda untuk rehat sejenak menjaga Embun.*Pagi harinya ketika Yuki masih tertidur di kursi depan ranjang Embun, gadis itu sadarkan diri. Perlahan matanya mulai terbuka. Dengan netra yang masih samar-samar Embun menyapu seisi ruangan. Semua serba putih. Di seberang sana ada juga seseorang yang tengah tertidur pada ranjang dengan selang oksigen di hidung. Kantong Yuki memang tidak setebal Jevin. Pemuda itu hanya mampu memberi
"Jevin, kapan ... kapan kamu akan mengajakku menemui mamamu?" Embun bertanya dengan sorot mata penuh pengharapan. Wajahnya mendongak menatap lekat pujaan hatinya itu. Namun, Jevin bergeming. Pria itu enggan menanggapi kelakuan Embun lagi. Cukup sudah perlakuan gadis itu yang hampir saja melenyapkan nyawa sang istri."Jeviiin!" Embun sedikit berseru dengan menarik kemeja hitam sang kekasih."Cukup, Embun! Cukup!" gertak Jevin keras.Pria itu menyentak kedua tangan Embun dengan kasar. Karena dia merasa tidak nyaman ketika Embun terus saja menarik-narik kemejanya seperti anak kecil yang merengek sesuatu. Jevin tidak ingin Safia yang baru pulih menjadi sedih lagi.Embun sendiri sedikit terhuyung ke belakang disengaja kasar oleh Jevin. Untung saja Yuki sigap menangkap tubuhnya."Jevin, kamu kasar sekali. Ada apa?" sedih Embun dengan mata yang mulai berkaca-kaca.Jevin tidak peduli. Pria itu menarik kursi roda Safia menjauh dari ranjang. "Ayo kita tinggalkan tempat ini, Sayang," ujar Jevin
Keadaan Embun berangsur pulih. Gadis itu sudah diperbolehkan pulang oleh dokter sejak beberapa hari lalu. Hanya saja menurut Dokter Wibawa, gadis yang tahun ini menginjak usia dua puluh lima tahun itu harus rajin kontrol.Biaya rumah sakit tidak sepenuhnya Embun yang tanggung. Ada bantuan Yuki yang lumayan besar. Pemuda itu merelakan sebagian tabungannya terkuras demi sang gadis.Sayang ... pengorbanan pemuda itu tidak dapat dirasakan oleh Embun. Gadis yang kehilangan sebagian memorinya itu menolak setiap kali Yuki menawarkan bantuan atau kunjungan. Embun merasa asing jika melihat Yuki. Di otaknya hanya ada nama Jevin yang bertahta.Perlakuan dingin Embun membuat Yuki kehilangan semangat. Pemuda itu ingin menyerah saja. Dirinya yang selalu melibatkan Tuhan dalam setiap tindakan, akhirnya mendirikan shalat istikharah.Yuki ingin kebimbangan di hati antara terus lanjut mengejar cinta Embun atau tidak, lebih memilih bertanya ke pada Allah. Kemudian pemuda itu seperti mendapat jawaban yai
Semenjak ke luar dari rumah sakit dan mengalami amnesia, Embun minta cuti dari kantornya untuk pemulihan. Karena dia adalah karyawan teladan, bosnya memberi cuti sampai gadis itu benar-benar pulih. Kini aktivitas Embun adalah berdiam diri di rumah sang bibi. Dia tidak lagi menghuni kontrakan.Pagi ini seperti biasa Embun ikut berkutat di dapur bersama para pegawai sang bibi. Usaha katering Bu Desi sudah lumayan berkembang. Wanita itu sudah mampu menggaji karyawan untuk membantu usahanya.Ketika Embun sedang sibuk mengolah makanan, sepupunya memberi tahu jika ada seorang pemuda ingin menemuinya. Embun yang penasaran siapa tamu itu lekas cuci tangan dan menggantung appron-nya. Gadis itu bercermin sebentar untuk merapikan pakaian dan rambutnya. Hatinya menduga jika yang datang pasti Jevin sang kekasih. Benar saja Embun merasa sedikit kecewa begitu melihat yang datang ternyata adalah Yuki."Kamu? Ada apa ke mari?" tanya Embun dingin.Walau mendapat perlakuan tidak mengenakkan seperti itu,