Share

Part 8

"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.

Kuliah? 

Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati bang Haikal dan keluarganya.

"Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk.

"Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__."

"Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini." 

"Abang bosan, ya?"

"Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."

Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia tidak betah. 

Lagipula tak satu pun yang dia kenal. Hanya Dea dan juga beberapa teman wanitaku saja yang dulu sering main ke rumah. Selebihnya hanya para mahasiswa dan juga mahasiswi yang tidak sefrekuensi dengannya yang seorang karyawan.

Tak lama acara di mulai. Aku menarik tangan suamiku untuk berdiri dan mendekat. Usai memotong kue tart dan membaca doa, kurasa aku bisa mengajaknya pulang. Aku dan dia tentu saja tak perlu menikmati acara musik sebagai puncaknya hingga larut malam nanti.

Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Ucapan doa juga sudah dilantunkan. Potongan demi potongan kue dia berikan pada beberapa orang, temasuk aku. Lalu semua kembali ke posisi dengan koloninya masing-masing.

"Kita pulang, ya, Bang." Lagi-lagi dia hanya mengangguk. 

Usai pamit pada Dea dan teman-teman yang lain, aku kembali menghampirinya. Aku meraih lengannya saat dia tengah berdiri mematung memandang sesuatu. Aku langsung menoleh ke arah pandangannya. Tiba-tiba saja jantung ini menjadi begitu sesak.

Seorang gadis tengah berdiri di sudut sana, melihat ke arah suamiku. Entah sudah berapa lama mereka saling berpandangan. Dan itu menghancurkan hati dan juga harga diriku.

Aku yang kini berdiri di sisi suamiku mendongak untuk melihat wajahnya. Raut wajah itu seperti sedang menyimpan sebuah kerinduan. Sorot matanya tak lekang menatap objek di depannya.

Hatiku hancur. Air mataku lolos begitu saja. Tak lama gadis itu mengalihkan pandangan karena seseorang mengajaknya bicara. Tawa riangnya dengan lawan bicaranya membuat raut wajah suamiku begitu menyedihkan. Seperti mengingat-ingat kejadian di masa lalu.

Aku sudah tak tahan lagi. Lalu berlari keluar meninggalkan laki-laki itu tanpa pamit. Entah dia menyadari atau tidak, bahwa baru saja aku tadi berada di sisinya, lalu meninggalkannya begitu saja.

Aku sampai di tempat parkir menuju mobil. Menangis di samping pintu sambil menarik-narik handelnya. Pikiranku kacau hingga tak lagi sadar bahwa kuncinya masih dipegang oleh suami jadi-jadian itu.

Aku menangis sesenggukan. Bahkan merengek sambil mengentakkan kaki saking kesalnya.

Kania. 

Kenapa gadis itu berada di sana? Menatap suamiku tanpa rasa bersalah. Harusnya dia tahu diri bahwa mereka kini tak lagi bersama. 

Akhir-akhir ini dia bagai teror yang terus menerus berada di sekitar suamiku. Membuatku berpikir bahwa ini bukan hanya sebuah kebetulan. Mereka pasti selama ini sudah bersandiwara dan sengaja membuat janji bertemu.

Aku semakin sesenggukan hingga dadaku terasa begitu sesak. Aku berjongkok saking tak kuatnya menahan sakit. Kedua lututku lemas membayangkan jika selama ini aku telah dikhianati.

Dalam tangisan kulihat sepasang kaki melangkah dari arah depan. Sebentar saja sepatu sport itu sudah berbaris rapi di hadapanku.

"Kau sedang apa?"

                                 ~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status