"Eh, sudah, ya? Suamiku pasti sudah menunggu." Aku bergegas pergi tanpa berniat menjawab pertanyaannya.
Kuliah?
Bahkan berangkat sekolah dulu pun aku sudah malas. Tak ada pelajaran yang aku sukai. Juga tak ada guru tampan atau kakak kelas yang membuatku bersemangat menuju ke sana. Yang kupikirkan hanyalah bagaimana caranya agar cepat pulang dan melintasi rumah kontrakan yang ditempati bang Haikal dan keluarganya.
"Ini saladnya, Bang." Aku meletakkan mangkuk kecil di atas meja. Dia hanya mengangguk.
"Abang lama menunggu, ya? Tadi aku berbicara sebentar dengan teman. Sudah lama tidak bertemu. Dulu dia itu__."
"Tidak apa-apa," selanya sebelum aku menyelesaikan ucapan. "Kau temui saja dulu teman-temanmu. Aku tunggu di sini."
"Abang bosan, ya?"
"Kubilang tidak apa-apa. Ini pesta temanmu. Berbaurlah."
Aku tak menggubris ucapannya. Aku lebih memilih menemaninya meski tahu tak akan ada pembicaraan berarti di antara kami. Ingin sekali aku mengajaknya pulang. Kasihan karena kelihatannya dia tidak betah.
Lagipula tak satu pun yang dia kenal. Hanya Dea dan juga beberapa teman wanitaku saja yang dulu sering main ke rumah. Selebihnya hanya para mahasiswa dan juga mahasiswi yang tidak sefrekuensi dengannya yang seorang karyawan.
Tak lama acara di mulai. Aku menarik tangan suamiku untuk berdiri dan mendekat. Usai memotong kue tart dan membaca doa, kurasa aku bisa mengajaknya pulang. Aku dan dia tentu saja tak perlu menikmati acara musik sebagai puncaknya hingga larut malam nanti.
Lagu selamat ulang tahun dinyanyikan. Ucapan doa juga sudah dilantunkan. Potongan demi potongan kue dia berikan pada beberapa orang, temasuk aku. Lalu semua kembali ke posisi dengan koloninya masing-masing.
"Kita pulang, ya, Bang." Lagi-lagi dia hanya mengangguk.
Usai pamit pada Dea dan teman-teman yang lain, aku kembali menghampirinya. Aku meraih lengannya saat dia tengah berdiri mematung memandang sesuatu. Aku langsung menoleh ke arah pandangannya. Tiba-tiba saja jantung ini menjadi begitu sesak.
Seorang gadis tengah berdiri di sudut sana, melihat ke arah suamiku. Entah sudah berapa lama mereka saling berpandangan. Dan itu menghancurkan hati dan juga harga diriku.
Aku yang kini berdiri di sisi suamiku mendongak untuk melihat wajahnya. Raut wajah itu seperti sedang menyimpan sebuah kerinduan. Sorot matanya tak lekang menatap objek di depannya.
Hatiku hancur. Air mataku lolos begitu saja. Tak lama gadis itu mengalihkan pandangan karena seseorang mengajaknya bicara. Tawa riangnya dengan lawan bicaranya membuat raut wajah suamiku begitu menyedihkan. Seperti mengingat-ingat kejadian di masa lalu.
Aku sudah tak tahan lagi. Lalu berlari keluar meninggalkan laki-laki itu tanpa pamit. Entah dia menyadari atau tidak, bahwa baru saja aku tadi berada di sisinya, lalu meninggalkannya begitu saja.
Aku sampai di tempat parkir menuju mobil. Menangis di samping pintu sambil menarik-narik handelnya. Pikiranku kacau hingga tak lagi sadar bahwa kuncinya masih dipegang oleh suami jadi-jadian itu.
Aku menangis sesenggukan. Bahkan merengek sambil mengentakkan kaki saking kesalnya.
Kania.
Kenapa gadis itu berada di sana? Menatap suamiku tanpa rasa bersalah. Harusnya dia tahu diri bahwa mereka kini tak lagi bersama.
Akhir-akhir ini dia bagai teror yang terus menerus berada di sekitar suamiku. Membuatku berpikir bahwa ini bukan hanya sebuah kebetulan. Mereka pasti selama ini sudah bersandiwara dan sengaja membuat janji bertemu.
Aku semakin sesenggukan hingga dadaku terasa begitu sesak. Aku berjongkok saking tak kuatnya menahan sakit. Kedua lututku lemas membayangkan jika selama ini aku telah dikhianati.
Dalam tangisan kulihat sepasang kaki melangkah dari arah depan. Sebentar saja sepatu sport itu sudah berbaris rapi di hadapanku.
"Kau sedang apa?"
~~~~
Aku langsung mendongak karena tak mengenali sepatu itu. Lalu Kulihat sesosok pria yang tadi kutemui sedang berdiri menatapku. Aku langsung bangkit dan berdiri. Mengusap air mata dengan menekuk jari telunjuk. Menyelipkan rambutku ke belakang telinga yang kurasa tadi sedikit acak-acakan. Bima tak boleh melihat keadaanku yang kacau seperti ini."Sedang apa kau di sini?" Aku balik bertanya."Pulang. Itu mobilku." Dia menunjuk dengan dagu ke samping mobil yang kami bawa tadi.Aku hanya ber oh ria saja. Tak ingin bertanya lebih jauh."Kau sendiri? Kenapa menangis?""Aku? Siapa yang menangis? Aku baik-baik saja." Aku berdusta agar dia tak bertanya lagi. Dia menatapku heran. Raut wajahnya jelas tak percaya pada pengakuanku."Kenapa sendirian? Mana suamimu?""Oh, itu... dia....""Aku di sini. Ada perlu apa mencariku?" Suara bariton itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Aku langsung menekuk wajah begitu melihatnya. Meski di depan orang lain aku baik-baik saja, tetap saja tak bisa kuse
"Kenapa? Curiga lagi? Ganti bajumu, ikut denganku."Aku menatap wajahnya. Lalu memandang dress selutut yang aku kenakan saat ini. Ada apa dengan gaun ini? Kenapa dia menyuruhku untuk menggantinya. Jika terlalu pendek, kenapa tadi dia membiarkanku bertemu teman-temanku? Lagipula baju ini sudah pernah aku pakai ke rumah orang tuaku. Bang Eka pun sama sekali tak keberatan. Kenapa malah tak mau aku memakainya malam ini."Pulangnya naik motor. Kau pasti merasa tidak nyaman. Itu kan alasanmu menyuruh pak Ali datang?" Ucapannya seolah tahu apa yang sedang aku pikirkan.Aku sedikit bernapas lega. Sepertinya dia begitu mengerti apa saja yang ada di dalam pikiranku.*Aku dan bang Haikal pamit usai mengambil motor yang dibawa oleh pak Ali sore tadi. Ayah menyuruh kami menginap, namun bang Haikal menolak. Kami hanya akan menginap saat akhir pekan saja. Agar dia tak perlu buru-buru bangun untuk berangkat ke kantor lebih cepat."Kau masih marah?" Dia bertanya saat berhenti di lampu merah. Aku yan
Dahinya mengernyit mendengar nama itu. Alis tipisnya bahkan terlihat hampir menyatu."Kania? Kenapa tiba-tiba kau membicarakannya?" Wajahnya tampak bingung. Entah itu sungguhan atau hanya sekedar sandiwara. Aku memundurkan punggung ke sandaran kursi sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Mencoba mengintimidasi dengan menatap tajam ke arahnya. Bersikap seolah aku sudah tahu semua perbuatannya."Pestamu. Kenapa mengundangnya? Kau jelas tahu kalau aku begitu cemburu dan membenci wanita itu.""Kau salah paham, Dwi. Aku tak pernah mengundangnya. Aku juga tak tahu kalau dia hadir malam tadi. Kau lihat sendiri aku begitu sibuk dengan teman-teman kampusku, bukan?""Jadi kenapa dia bisa berada di sana? Dia bahkan menatap suamiku. Dia berusaha menggodanya, De." Aku mulai tersulut emosi. Membayangkan bagaimana mereka saling memandang penuh cinta."Aku benar-benar tidak tahu," ucapnya lirih, seperti ikut merasakan kesakitanku.Aku mengalihkan pandangan. Mataku perih menahan air yang kini suda
Aku menyiapkan bekal untuk makan siang. Hari ini aku bermaksud membuat kejutan dengan mengantarkan nasi dan lauk pauk yang aku buat ke kantor bang Haikal. Hari ini aku bangun kesiangan karena tidak salat subuh. Hanya sempat mendadar telur saja untuk sarapan suamiku. Biasanya jika seperti itu dia akan makan siang di luar saja. Ini sudah tanggal tua. Dia pasti kehabisan uang untuk melakukan itu. Aku takut dia hanya akan makan pop mie di pantry saja karena merasa segan meminta uang padaku.Padahal aku tak pernah menuntut semua gaji yang dia hasilkan. Gaji yang masih secara manual dimasukkan ke dalam amplop dia serahkan padaku. Dia hanya meminta sebagian untuk uang bensin dan juga pegangan selama di perjalanan.Aku bilang tak butuh itu. Uang saku dari ayah dan juga bang Eka berkali-kali lipat dari gajinya saat ini. Namun lagi-lagi dia tersinggung."Memang seperti inilah berumah tangga. Istri harus mampu mengelola penghasilan suami meski tak seberapa. Kalau kau masih belum paham, kenapa
Hati ini begitu hancur. Mati-matian aku berusaha bertahan untuk merebut perhatiannya. Bahkan membatalkan permintaan cerai karena suamiku juga tak mau aku menyandang status janda di usia muda.Lalu ini apa? Dia lebih memilih menanggung dosa perselingkuhan dibanding menceraikan aku yang sudah jelas-jelas ingin membebaskannya.Aku tak mau lagi. Aku menyerah dan ingin segera membebaskan rasa sakit ini.Tiba-tiba dering ponsel terdengar. Aku yang tengah bersembunyi di balik sebuah mobil tak mau menghiraukan dan memilih mengabaikannya. Aku mundur perlahan untuk segera pulang. Sampai akhirnya punggungku menabrak tubuh seseorang."Kau di sini rupanya." Bang Haikal menegur, masih dengan ponsel yang menempel di telinga.Aku langsung mengusap air mata dengan kasar. Namun dadaku masih naik turun karena menahan sesak. "Kau kenapa? Apa seseorang menganggumu?" Dia tampak begitu khawatir. Aku tak peduli dan enggan menjawab.Bukankah harusnya dia berpikir bahwa aku menangis karena perbuatannya. Belum
"Aku benar-benar tidak tahu kalau Kania ada di sini. Sudah berapa kali aku bilang, aku tak pernah lagi berhubungan dengannya." Pria itu menatapku dengan teduh. "Berhenti cemburu pada Kania, Dwi. Sebesar apa pun perasaanku padanya, aku tetaplah suamimu. Kau yang paling berhak atas diriku. Sudah?" Dia mencoba meyakinkanku.Bibirku bergetar menahan tangis. Rasa cinta ini selalu bisa meluluhkan hati begitu mendengar kata-katanya yang begitu manis. Kenapa rasa sayangnya padaku sebagai adik tak bisa berubah layaknya pada kekasih. Tak bisakah dia melihat sisi lain diriku yang sudah mencoba bersikap sesuai keinginannya?"Kau sedang datang bulan. Pasti jadi lebih sensitif. Makanya marah-marah terus. Pulang dan istirahatlah!" Dia mengacak-acak rambutku seperti anak kecil, lalu mengambil tas bekal yang berada di tanganku.Lihatlah!Dia terlihat begitu perhatian. Selalu mengerti tentang keadaanku. Siapa yang tidak berpikir kalau dia benar-benar sayang dan bisa dengan mudah mencintaiku. Harusn
Makan malam kali ini penuh kebisuan. Masing-masing dari kami masih saling diam. Biasanya jika tahu aku sedang marah, bang Haikal pasti menyapa duluan. Entah bertanya apa aku masih marah, atau mungkin meminta maaf dan mengalah.Namun kali ini tampak berbeda. Sedari tadi raut wajahnya terus gelisah. Seperti ingin berbicara, namun urung karena ragu. Membuat perasaanku makin tak menentu dan kembali timbul rasa curiga.Sebentar-sebentar mata itu menatapku, lalu kembali menyendok nasi dari piring ke mulutnya. Hatiku yang masih dilanda rasa amarah berusaha untuk tetap tenang. Semoga saja kali ini tak ada hubungannya dengan Kania."Dwi." Akhirnya terdengar panggilan itu dari mulutnya."Iya?" Aku berusaha menyahut selembut mungkin."Maaf soal tadi siang." Aku tertegun. Rupanya dia kembali mengalah dan merasa bersalah karena telah membuatku menangis."Abang sudah bilang tak bertemu dengannya. Tak apa. Anggap saja aku salah lihat." Aku mencoba untuk tersenyum.Aku ikut mengalah, demi membuatnya
Mata itu kembali menatapku dengan sendu. Kembali menolak seperti waktu itu. Namun hati ini terlanjur sakit dan tak tahu lagi bagaimana cara mengatasinya."Aku sungguh-sungguh tidak tahu. Kenapa kau masih membahas soal perceraian. Tak baik sering-sering mengucapkan kata itu, Dwi." Suaranya terdengar lirih."Abang harusnya mengucap syukur. Aku sudah berbaik hati membebaskan Abang. Jangan lagi mempermainkan perasaanku dengan berpura-pura menolaknya." Tangisku tertahan tanpa suara."Pernikahan bukan mainan, Dwi. Jelas-jelas aku sudah bertanya tentang keyakinanmu. Menerima segala kekurangan dan mungkin perasaanku saat itu. Lalu sekarang apa? Kau membuatku terlihat seperti penjahat."Suamiku benar. Sebelum menikah dia telah mengungkapkan semuanya. Tentang perasaannya yang hanya menganggapku sebagai adik. Dia juga terang-terangan mengungkapkan betapa besar rasa cintanya pada Kania. Sangat sulit untuk berpaling dan tak ingin menyakitiku. Memintaku mengurungkan niat dan membatalkan pernikahan