Share

JODOH PILIHAN MAMA
JODOH PILIHAN MAMA
Author: ET. Widyastuti

1

"Bude, sop kimlonya nanti tinggal manasin aja, ya!" Intan, mahasiswa tingkat akhir itu sudah menyusun semua menu di meja makan. Termasuk sup kimlo favorit Aditya ada di panci pemanas. 

Hari itu, Aditya, putra bungsu keluarga Handoyo pulang dari luar negeri, setelah selesai mengenyam pendiidkan masternya. 

"Kamu nggak ikut ke bandara, jemput masmu?" tanya Bu Handoyo. Wanita itu adalah sahabat dari ibunya Intan. Intan diminta tinggal di rumah itu sejak dua tahun lalu, tepatnya saat Aditya berangkat ke luar negeri. 

Sejak dulu sebenarnya Intan diminta tinggal di rumah keluarga Handoyo. Namun, Aditya yang saat itu masih berstatus mahasiswa, menolak dengan keras. Padahal dia sendiri tinggal di luar kota. 

"Nggak, Ma. Intan itu bukan mahrom. Adit nggak mau." 

"Lha, kan di rumah ini bukan kamu berdua sama Intan. Ada mama, papa, Mas Dimas. Lagian, Intan kan bisa jadi teman mama kalau di sini." 

"Nggak. Adit nggak setuju. Bisa jadi fitnah ntar." Adit beralasan. 

"Siapa yang mau fitnah? Kalau Intan anaknya genit, baru bisa fitnah. Anaknya sopan dan baik. Apalagi udah kita anggap saudara." 

"Pokoknya Adit nggak setuju, titik!" 

Semua orang tak berani menentang. Hingga keberangkatan Aditya dua tahun lalu. 

"Salam aja Bude, buat Mas Adit. Kebetulan Intan ada kuliah." Intan mencari alasan. Meski sebenarnya kuliahnya masih jam siang. 

"Kamu janji ya, meski ada Mas Adit, kamu tetap harus ke sini, ya!" 

Bu Handoyo sebenarnya galau. Di satu sisi, dia senang anak bungsunya pulang. Namun, di sisi lain, dia sedih karena Intan harus meninggalkan rumahnya. 

Dua tahun lamanya tinggal di rumah itu, mereka sudah sangat dekat. Sudah seperti ibu dan anak. Intan paling tahu apa yang diinginkan Bu Handoyo. Apalagi, Bu Handoyo yang memiliki tiga anak dan semuanya laki-laki, sejak dulu menginginkan anak perempuan. 

Aditya dan Intan bukan tak kenal satu sama lain. Sikap Aditya yang dingin pada wanita, tak membuat Intan merasa canggung. Intan sudah menganggap Adit seperti kakaknya sendiri. Apalagi Aditya adalah sahabat kakaknya juga. 

--

"Betah amat, dua tahun nggak pulang." Dimas, kakak kedua Aditya berkomentar.  DImas, Pak Handoyo dan Bu Handoyo menjemput Aditya di bandara. 

"Yah, kesempatan, Mas. Kapan lagi bisa ke Eropa. Kalau liburan, mesti dimanfaatkan buat jalan-jalan." 

"Ayo, cuci tangan, trus langsung makan, baru istirahat," usul Bu Handoyo begitu Aditya masuk rumah. 

Pak Handoyo sudah kembali ke kantor. 

"Wah, harum banget. Mama masak apa?" Aditya menghindu aroma sop kimlo yang membuat perutnya keroncongan. 

"Mana mungkin masakan mama," ledek Dimas. 

"Emang?" Aditya mengerutkan dahinya. 

Bu Handoyo tersenyum. "Adikmu yang masak," sahutnya. 

Semua orang tahu. Adikmu, maksudnya adalah Intan. 

Nafsu makan Aditya bisa saja lenyap, jika bukan karena dorongan kebutuhan. Namun, apa daya, tidak ada pilihan lain. 

"Semua Intan yang masak?" Aditya mencomot perkedel jagung. 

Di Belanda, bukan tak ada masakan Indonesia. Tapi, jajan adalah barang mewah. Dia harus menguras kocek dalam-dalam untuk itu. Pernah saking pinginnya makan bakwan, dia beli bumbu instan di toko Asia. Namun, hasilnya, tak seenak bayangannya, hingga hanya berakhir di tempat sampah. 

"Enak kan?" Bu Handoyo tersenyum puas, melihat putranya makan dengan lahap. 

Aditya mencebik. Dalam hati dia mengakui kelezatannya. Bahkan, dia nambah sampai dua kali sup kimlo buatan Intan. 

--

Beberapa bulan kemudian

Aditya mengikuti langkah Sarah. Mereka memasuki sebuah butik. 

Hari itu, Sarah akan mengambil gaun untuk pesta makan malam di rumahnya. Keluarganya akan menyelenggarakan jamuan minggu depan. Pesta makan malam untuk perkenalan keluarga calon kakak iparnya. Tak lama kakak kandung Sarah akan melanjutkan ke jenjang yang serius dengan pacarnya. 

“Mas, kamu harus datang pakai baju yang senada, ya.” Sarah tersenyum pada Aditya. 

Pria itu tentu saja mengangguk disertai dengan senyum yang selalu mempesona. 

Aditya dan Sarah menjalin hubungan dekat, meskipun tidak bisa disebut pacaran. Aditya tidak pernah menyatakan status hubungan mereka. Keduanya selama ini hanya jalan berdua. Tanpa gandengan tangan, tanpa pelukan dan tanpa sentuhan fisik lainnya. 

Aditya sangat menghargai Sarah. Pemuda itu memilih menjaga kesopanan meskipun tak dipungkiri dia menyukai Sarah. 

Tanpa keduanya sadari, sepasang mata mengamati keduanya yang kini sedang meninggalkan butik itu. Tangan Aditya menenteng tas berbahan kertas bertuliskan nama butik ternama berisi gaun milik Sarah. 

"Kapan kamu akan kenalan sama papaku?" tanya Sarah saat keduannya sudah berada di mobil. 

Aditya menoleh, lalu ia hanya membalasnya dengan senyuman. 

"Ayolah Mas. Kita ‘kan jalan sudah lama. Papaku nanya terus,---" rajuk Sarah. 

Meskipun keduanya selama ini menjalin hubungan tanpa status yang jelas, Sarah ingin mempertegas status mereka. Sarah tak ingin kehilangan Aditya, pria yang bagi Sarah adalah sosok yang sempurna. Tampan, pekerja keras dan cerdas.

Aditya menarik nafas. Dia baru beberapa tahun bekerja di kantor yang sama tempat Sarah berkarir. 

Aditya mengalihkan pandangannya ke jalan. Tak lama kemudian ia menginjak pedal gas perlahan, menjalankan mobilnya. Mobil Sarah tepatnya. 

Mobil itu keluar dari pelataran butik menuju rumah Sarah. Rumah keluarga Sarah berada di kawasan elit. Ukuran rumahnya rata-rata besar dengan halaman yang luas. Sangat berbeda dengan kompleks perumahan di mana Aditya dan kedua orang tuanya tinggal. Hanya kompleks kelas menengah bawah, dengan rumah tipe kecil dan tanpa halaman. Hanya teras yang disulap menjadi carport untuk parkir empat buah motor, miliknya, ayah, ibu dan kakaknya.

"Kalau begitu, Sabtu besok, ya?" Sarah mencoba bernegosiasi. 

"Nanti aku pikirkan lagi..." sahut Aditya dengan datar. Mobil yang dikendarainya sudah mendekati rumah Sarah.

Aditya selalu meminggirkan mobil Sarah di depan kedai kopi yang terletak tak jauh dari gang menuju rumah Sarah. Setiap hari Aditya menitipkan motornya di sana dan mengambilnya di sore atau malam hari. 

Aditya belum punya nyali berkenalan dengan orang tua Sarah. Statusnya sebagai staf junior engineer di kantornya belum cukup bergengsi jika dibandingkan dengan status orangtua Sarah. 

Setelah Aditya turun dari mobil, Sarah kemudian menukar posisinya di depan kemudi. Ia lalu menjalankan mobil itu sednrii hingga rumahnya. 

Sementara, Aditya masih berdiri di tepi jalan, hingga mobil Sarah menghilang ditikungan.

Aditya menghela nafas. Selalu saja ada yang menganggunya jika Sarah mulai membicarakan perihal hubungan mereka. 

Setelah mengambil motor dan mengangsurkan lembaran warna ungu ke pemilik kedai, dipacunya motor tersebut menuju rumahnya. Pikirannya masih mengelana. Entah sampai kapan dia akan memutuskan untuk maju, atau mundur untuk hidup bersama Sarah. 

***ETW***

Usai memarkir motornya di depan rumah, lelaki berparas tampan itu masuk. 

"Ketemu Sarah lagi?" tanya Bu Handoyo. Mama Aditya itu sedang memasak di dapur. Wajahnya dan intonasi suaranya datar, memberi kesan tidak suka.

Wanita paruh baya ini memiliki insting yang tajam. Tatkala menyadari putra bungsunya ini dekat dengan seorang gadis, dia buru-buru menyelidiki siapa wanita yang mampu menjadi tambatan hati putranya yang selama ini tak pernah dekat dengan lawan jenis. 

Sang putra bungsu bukanlah tipe pemuda yang main-main perihal pasangan hidup. Saat dia dekat, artinya dia sudah hendak memastikan kemana kaki melangkah. 

Berbeda dengan putra keduanya yang mudah dekat dengan siapa saja. Hingga sekarang pun putra keduanya meski sudah berganti-ganti pacar, tak jua memutuskan pada siapa hati ditambatkan. 

Bagi Bu Handoyo, bobot, bibit dan bebet itu penting. Tapi, hal lain yang tak boleh dilupa adalah pasangan sekufu. Pasangan yang memiliki kelas dan tatanan sosial yang sama. Pendidikan yang sama, ekonomi yang sama, sosial yang sama, pemahaman agama yang sama, sehingga kelak di kemudian hari, pernikahan akan berjalan langgeng disebabkan permasalahan dasar sudah terselesaikan. 

Bu Handoyo cukup menyadari posisi keluarganya bukanlah berasal dari keluarga menengah ke atas. Mereka hanya tinggal di kompleks kelas menengah ke bawah. Perumahan ukuran kecil, penduduk yang padat, tapi guyup satu sama lain. Bukan perumahan elit yang pagarnya tinggi dan sepi. Dari sini saja, sudah dapat dinilai, kelas sosial dan kelas ekonominya. 

Bu Handoyo menginginkan, anaknya pun mendapat pasangan yang setara. Bukan berasal dari kalangan sultan yang bisa jadi akan merendahkannya. Ataupun kalangan lebih bawah yang bisa jadi akan merasa rendah diri. 

Mendengar pertanyaan mamanya, Aditya menghentikan langkahnya. Biasanya dia akan langsung ke kamar usai mencium punggung tangan mamanya. 

Kali ini, lelaki tampan itu memilih mencuci tangan di wastafel dapur, lalu membuka pintu kulkas. Matanya mencari-cari botol air dingin untuk melepas dahaganya. 

"Jika kamu tidak yakin, tidak usah dilanjutkan. Itu namanya memberikan harapan palsu," tukas Bu Handoyo sambil mengaduk sayur supnya dalam panic yang dijerang di atas kompor. Nada bicaranya masih sama, datar. 

Aditya menatap mamanya sambil mengambil gelas yang ada di lemari. Pria itu duduk di kursi yang mengitari meja makan tak jauh dari mamanya berdiri. Air putih dingin dari botol segera dituangnya dalam gelas. Lalu, meneguknya dengan perlahan.  

Aditya menarik nafasnya. Ingin bertanya dari mana mama tahu hubungannya dengan Sarah, tetapi ia ragu. Mamanya sering sulit ditebak. Tapi, pertanyaan mamanya memang secara tak langsung menciptakan pertanyaan baru dalam lubuk hatinya. Apakah dia sudah mantap, atau dia malah tidak yakin. Benar kata mamanya. 

Aditya tidak tahu, apakah dia mencintai Sarah? Tapi dia merasa nyaman. Sarah selalu berusaha membuatnya merasa dihargai.

"Adit yakin, Ma," jawab Aditya singkat. Pria berusia dua puluh lima tahun itu menatap gelasnya yang sudah kosong, lalu sesekali menatap mamanya yang sibuk memasak.

"Apa kamu pikir Mama akan percaya?” tanya Bu Handoyo.  Kepalanya menoleh ke arah putranya. 

 “Apa yang kamu harapkan darinya? Cinta? Apa kamu akan hidup selamanya dengan cinta?" 

Ada guratan kekecewaan di raut wajah wanita yang telah melahirkan Aditya ini. 

Ditariknya kursi yang berseberangan dengan Aditya. Matanya menatap putranya yang kini telah dewasa itu dengan tatapan sayang. 

Sementara Aditya hanya menunduk. Tatapan matanya tak lepas dari gelas yang masih dipegangnya.

"Dengar Mama, ya, Nak. Kamu dan dia itu berbeda. Kamu jangan hanya mempertimbangkan dirimu. Lihat juga papa dan mamamu. Lihat juga saudaramu," sambung Bu Handoyo.

Aditya masih terdiam. Meski kepalanya menunduk. Sesekali ia mencuri pandang menatap mamanya.  

"Sekarang, Sarah bisa menerima kamu karena cinta. Tapi kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi nanti. Mama tidak mau, ke depannya kamu diremehkan karena berasal dari keluarga yang biasa,” terang mama Aditya. Panjang lebar ia menjelaskan berharap putranya dapat memahami kata perkata yang diucapkannya. 

"Baik, Ma. Nanti Adit pikirkan." 

Aditya menyudahi pembicaraan dengan mamanya. Kursi yang dia duduki digeser sedikit ke belakang, memberikan akses kakinya untuk berdiri. Lalu dia beranjak ke kamarnya di lantai dua. 

Wanita paruh baya yang masih terlihat cantik itu hanya dapat menatap punggung anaknya yang menaiki tangga, sambil menghela nafas. 

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Hana Asmita
yeee... ketemu cerita baru ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status