Share

Kecurigaan

Terdengar deritan pintu,  itu berarti Mas Tama memang ingin menemui Pricilia. 

"Dasar lelaki,  padahal aku hanya ingin mengetes dia, kok malah ditemui beneran," cebikku. 

Ku raih ponselku yang tergeletak di samping lampu tidur, di layar ponsel tertera jam digital yang menunjukkan pukul sembilan malam. 

Aku hubungi Ibu dan Bapak aja lah, baru satu hari aku berada di sini,  tetapi rasa rindu sudah sangat menggebu. 

Ku tekan tombol hijau dan tertera nomor ponsel bertuliskan nama Bapak.

Bapak dan Ibu memang bukan tergolong orang berada, namun jika hanya sekadar ponsel yang hanya dapat menerima panggilan dan pesan pun beliau memilikinya. 

[Tuut ... Tuut ... Tuut]

"Hallo assalamu'alaikum, Nduk," seketika terdengar suara setelah panggilan terhubung. 

"Wa'alaikum salam, Bu,  Ibu belum tidur ya? " tanyaku basa-basi. 

"Belum, Nduk,  jam segini kok telpon kemari, Nduk?  Apakah suamimu sudah tidur? " tanya Ibu keheranan. 

"Belum, Bu. Mas Tama sedang keluar barusan, Bu"

"Gimana, Nduk, betah disana? " tanya Ibu. 

" Insya Allah betah, Bu,  doakan saja. Palingan yang buat tidak betah karena Hani rindu Ibu sama Bapak." Seketika air mata meleleh, baru satu hari berpisah sudah serindu ini. 

"Ya, nanti kalau suamimu libur kerja, ajak dia pulang kemari, Nduk. Sekarang kamu harus terbiasa seperti ini ya, sebagai wujud baktimu kepada suamimu, Nduk," suara Ibu terdengar parau,  seperti menahan rasa yang sama seperti yang tengah aku rasakan. 

"Iya, Bu. Ibu sehat selalu ya di sana, nanti kapan-kapan Hani ajak Mas Tama pulang," kataku. 

"Ya sudah,  sekarang kamu istirahat ya, Nduk.  Oh iya,  besok bangun pagi ya, Nduk, terus ke dapur bantu-bantu, yang rajin kalau tinggal di rumah mertua ya,"

"Baik, Bu " jawabku singkat. 

"Assalamu'alaikum, Bu "

"Wa'alaikumsalam, Nduk"

Panggilan pun terputus. 

Sebenarnya aku berniat memberitahu perihal kakiku kepada Ibu, tapi ku rasa tidak perlu,  aku tak mau jika Ibu khawatir kepadaku. 

    Apakah harus selama ini menemui wanita yang pernah singgah dalam hatinya?

Siapa yang bisa menjamin jika perasaan mereka masih saling terpaut satu sama lain. 

Aku berniat keluar kamar untuk mencoba mencari tahu di mana keberadaan Mas Tama,  walau hanya sekadar memastikan dari puncuk tangga. 

Aku berjalan perlahan,  rupanya setelah diurut Mas Tama tadi, kakiku sudah sedikit membaik dan bisa digerakkan meskipun masih sakit. 

Tak kudapati Mas Tama di sofa ruang tamu, aku sangat penasaran sebenarnya di mana suamiku.

Aku kembali masuk ke kamar, mengambil ponsel lalu menghubungi nomor kontak milik Mas Tama. 

Berdering, namun tak diangkat olehnya. 

Dadaku terasa sesak, aku terus merutuki nasib yang kujalani. 

Ku kira perjodohan ini akan membawa kebahagiaan,  mengingat perilaku Mas Tama yang perhatian,  meskipun ku akui,  ia bersikap cukup dingin kepadaku. 

Lima belas menit kemudian,  aku memutuskan kembali keluar kamar, berharap dapat menjumpai suamiku.

Aku masih sungkan untuk berkeliling mencari Mas Tama sampai ke bawah, terlebih aku belum paham letak ruangan di rumah ini. 

Saat aku keluar dari kamar,  aku mendengar suara keras yang berasal dari ruangan sebelah. 

Seperti suara meja yang digebrak.

Aku tak mengetahui apakah itu kamar, atau ruangan lainnya. 

Aku berjalan mengendap-endap mendekati ruangan tersebut,  pintu tertutup rapat, namun dapat ku dengar lamat-lamat suara sepasang manusia yang sedang berbincang di dalam sana. 

Ku tempelkan daun telingaku ke daun pintu,  sebenarnya bukan sifatku suka menguping seperti ini, namun entah mengapa perasaanku mengatakan Mas Tama lah yang sedang berada di dalam sana. 

Belum ku dapati jawaban dari firasatku,  aku dikejutkan oleh tepukan cukup kuat pada bahuku.

Seketika ku balikkan tubuhku menghadap seorang wanita paruh baya memiliki kulit putih terawat, dengan tersenyum sinis kepadaku.

Mataku membulat,  aku terkejut bukan main,  rasa malu berkecamuk dalam kalbu,  kepergok seperti ini sangat memalukan sekali. 

"Ngapain kamu disini, kamu masuk kamar aja, jangan ganggu Tama dan Pricilia." Mama menunjuk ruangan tersebut dengan menggunakan dagunya. 

Jantungku seperti berhenti berdetak, aku berusaha keras menahan mataku agar tak mengeluarkan cairan di depan Mama Anita. 

"Mengapa mereka berdua berada di dalam ruangan ini, Ma?" Ku beranikan diri angkat suara.

"Begini ya, Han. Kamu tahu sendiri 'kan,  mereka itu berpacaran sudah lama, tapi Tama terpaksa menikahimu karena ia tak mau membuat Papanya kecewa, sebagai wanita dewasa kamu pasti tahu apa yang mereka perbuat di dalam sana, " ucapnya sembari berjalan meninggalkanku yang masih mematung di ambang pintu.

Ku lihat Mama Anita berjalan menuruni anak tangga, air mata yang sedari tadi ku tahan, akhirnya tumpah ruah tak terkendali. 

Aku masuk ke kamar lalu menghempaskan bobotku di atas kasur. Tak ku pedulikan lagi kaki ku yang masih sakit ini. 

Ruangan yang kedap udara ini ku pastikan dapat menyembunyikan isak tangisku yang cukup keras. 

Setelah lelah dengan adegan penuh bawang tersebut,  aku beranjak ke kamar mandi untuk buang air kecil dan mencuci muka demi menghilangkan jejak pada pipiku. 

Untung saja, kamar ini didesain mencakup kamar mandi di dalamnya. 

Jadi, aku tak perlu repot-repot keluar dari ruangan ini. 

Cukup lama aku di dalam kamar mandi,  bercakap-cakap dengan diriku sendiri di depan cermin, mengajukan pertanyaan seputar perjodohan ini,  lalu menjawabnya sendiri.

Setelah puas berbincang dengan diri sendiri,  aku keluar dari kamar mandi.

Kulihat Mas Tama dalam posisi membelakangiku sedang mengatupkan daun pintu ke kerangkanya. 

Aku bersikap tak acuh kepadanya,  dan langsung merebahkan tubuhku. 

"Loh,  belum tidur, Han?" tanyanya. 

"Belum," jawabku singkat. 

"Istirahatlah! Sudah jam sepuluh, besok juga aku sudah mulai kerja, Han," 

"Iya." Aku memiringkan tubuhku membelakangi tubuh suamiku itu. 

Rasa kantuk sudah sangat mendera,  namun mataku enggan terpejam. 

Apa yang dilakukan sepasang insan di dalam ruangan tertutup? Terlebih mereka bukan mahram. 

Pertanyaan itu terus saja menari-nari dalam pikiranku. 

Kulihat waktu menunjukkan tepat pukul dua belas.

Aku mengalihkan pandanganku kepada lelaki di sampingku, terdengar dengkuran halus yang menandakan ia sudah berada di alam bawah sadar. 

Mengapa harus serumit ini? mengapa aku yang harus menerima kenyataan ini?

    Netraku kembali memuntahkan lahar bening yang menganak sungai bak banjir bandang. 

Setelah terasa lelah, rupanya mataku mulai mau untuk terpejam.

***

      Saat aku mulai terjaga, namun belum membuka mata, tubuhku terasa agak berat,  seperti ada yang menimpa,  ku buka mata, seketika mataku terbelalak mendapati lengan lelaki di sampingku yang melingkar pada bagian perutku. 

Ada perasaan aneh yang seketika menjalar ke seluruh tubuhku. 

Mas Tama memperlakukanku layaknya guling yang ia peluk cukup erat. 

Ku lirik ke arah jendela, keadaan di luar masih pekat. 

Aku tak berani bergerak sedikit pun. 

Untuk sekedar bernafas saja aku benar-benar meminimalisir pemasukan dan pengeluaran oksigen dari tubuhku agar tidak menimbulkan gerakan yang signifikan.

Sebenarnya, aku merasa sedikit risih, hal ini sangatlah baru bagiku. Namun, aku sadar, hal seperti ini bahkan terhitung pahala dalam kehalalan suatu pasangan. 

Aku membiarkannya dan tak merubah sedikit pun posisi kami. 

Aku masih mencari solusi apa yang harus ku perbuat saat ini. 

Entah mengapa aku tak ingin beranjak, aku terpaku dalam keadaan hati yang bergejolak hebat. Rasa kesal yang semalam ku rasakan pun seketika sirna, lenyap terhapus perasaan yang entah, sulit untuk dijelaskan. 

Ku putuskan kembali memejamkan mataku, hingga aku terlelap kembali. 

Terdengar muazin mengumandangkan azan, aku pun berniat melaksanakan kewajibanku, karena merasa berdosa meninggalkannya selama perjalanan menuju kemari.

Tak ku dapati suamiku berada di sampingku. 

Ah, aku jadi penasaran bagaimana reaksinya dengan apa yang ia lakukan tadi.

Aku jadi malu sendiri membayangkannya. Aku terkekeh kecil. 

"Pagi buta begini sudah senyum-senyum sendiri," ucapnya, sembari menggelar sajadah tanpa menolehku lagi. 

Aku gugup, hendak menjawab namun mulutku mengatup. 

"Buruan wudu,lalu kita salat berjemaah," ucapnya. 

"I-iya," jawabku terbata. 

"Kalau masih sakit, sini aku bantu, " tawar Mas Tama. 

"Tidak usah, Mas, nanti kamu batal," kataku polos. 

"Hani, sekarang kita sudah menjadi suami istri,  jadi tak mengapa jika aku hanya sekadar membantumu ke kamar mandi, selama tidak melewati batasan yang telah ditentukan," bebernya panjang lebar.

"Oh, begitu ya, Mas, " jawabku faham. 

Mas Tama berusaha meraih lenganku untuk membantuku berjalan, tapi justru peristiwa semalam kembali hadir dalam fikiranku, membuatku merasa enggan disentuh olehnya. 

Kutepis tangan suamiku, lalu berkata "Aku bisa sendiri,  Mas"

Aku berjalan perlahan menuju kamar mandi.

Sebenarnya aku merasa tak enak hati atas perlakuan ku kepada Mas Tama barusan. 

Tak ku pedulikan Mas Tama yang menatapku heran. 

Tapi ... Ah, biarlah, dasar sok alim, semalam saja berduaan sama wanita lain, gumamku. 

Setelah selesai berwudu, aku memakai mukena dan Mas Tama membantuku menggelar sajadah. 

Dan kami melaksanakan salat dengan khusyuk.

Meskipun aku melakukannya dalam posisi duduk.

Setelah selesai salat, aku mengadukan keluh kesahku kepada sang khalik. 

Ku tumpahkan segala emosi yang tertahan sejak semalam, bulir bening lolos satu persatu. 

Setelah usai, Mas Tama menjulurkan tangannya. 

Aku meraih ragu tangan suamiku. 

Mas Tama menghapus airmata di pipiku lalu, mencium keningku setelah sebelumnya ku cium takzim punggung tangan suamiku, yang berhasil membuat mataku membulat sempurna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status