MasukAzka pagi itu diam tak bergerak di kursinya, tangan kecilnya memeluk tas bergambar robot dengan erat. Ruang makan rumah Arka terasa sunyi, jauh dari riuh tawa dan obrolan tentang dinosaurus kesukaan Azka. Arka memandang putranya dengan hati yang mulai mengganjal, suaranya lembut memecah keheningan, "Azka, ayo kita berangkat." Namun, gelengan kepala Azka begitu pelan di awal lalu berubah makin tegas. "Papa telat ngajar," katanya dengan suara kecil. "Azka nggak mau sekolah." Arka menunduk, menyesuaikan tinggi badan supaya sejajar mata Azka. "Kenapa, Nak?" tanyanya penuh harap. Hidung Azka mengerut, bibirnya gemetar, seolah berjuang menahan air mata. "Karena Mama Akira nggak datang." Jantung Arka seperti tercekat. Ia mencoba menenangkan, "Kita sudah bicara soal ini. Mama Akira memang lagi sibuk." "Nggak! Bohong!" suara Azka pelan tapi penuh penolakan. "Papa juga bohong." Diam mencekam menyelimuti ruangan. Tanpa aba-aba, Azka bangkit dari kursi, menggenggam tasnya seku
Ruang rapat fakultas pagi itu terasa dingin. Bukan dari hembusan AC, melainkan dari ketegangan yang menggantung di udara. Akira duduk kaku di ujung meja panjang, punggungnya lurus dan tangan saling menggenggam di pangkuan, berusaha menahan gejolak di dadanya. Di seberangnya, beberapa dosen senior, dekan, dan staf akademik membuka map tebal berisi laporan, mata mereka tajam meneliti setiap lembar. Dua kursi di dekatnya, Arka duduk diam, wajahnya membatu seperti patung. Tenang di luar, tapi Akira tahu badai emosi mengamuk di balik tatapan itu. “Setelah kami telaah,” suara Pak Dekan pecah di keheningan, “tidak ditemukan pelanggaran etik.” Akira mengembuskan napas panjang, berharap itu sudah akhir semuanya. “Tapi,” lanjut Pak Dekan, suaranya menurunkan harapan itu seketika, “demi menjaga nama baik institusi, kami perlu mengambil sikap resmi.” Arka mengangkat wajah, matanya penuh tantangan. “Silakan, Pak.” “Kalian akan dijauhkan sementara,” ujar Pak Dekan tegas. “
Pagi itu kampus terasa lebih gaduh dari biasanya. Bukan karena keramaian mahasiswa baru, bukan pula karena demo UKM yang biasa. Semua pandangan tertuju pada sosok Akira yang melangkah pelan melewati koridor. Tangannya menggenggam erat tali tas ransel, jari-jari menekan hingga terasa nyeri. Setiap langkah terasa berat bagai menahan beban dunia. Bisikan-bisikan kecil mengikuti di belakangnya, seperti bayangan yang tak bisa ia usir. “Itu dia…” “Yang sama Pak Arka.” “Yang anak kecil itu manggil mama.” “Beneran ya rumor kemarin?” Akira menunduk, dada sesak, napasnya pendek dan terburu-buru. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. “Tenang, Kira... Mereka cuma pegang skripsi lo, bukan hidup lo.” Tapi suara-suara itu tetap menghantui, merayap ke dalam pikirannya, menggerogoti mental yang mulai retak. *** “KIRA!” suara Lintang tiba-tiba membelah keramaian, berisik seperti sirene evakuasi. Akira seketika berhenti, jantungnya berdegup kencang. Salah besar.
Akira sudah tahu hari itu pasti akan datang, tapi detak jantungnya seolah menolak diajak kompromi. Mobil Arka melambat, berhenti tepat di depan rumah besar bergaya klasik tenang, rapi, dan terasa terlalu sempurna, seperti melukai tiap denyut jantung yang berdegup keras dalam dada Akira. “Ini rumah orang tua saya,” kata Arka singkat, tanpa menoleh. Akira menatap pagar tinggi di depannya, tangan perlahan menggenggam pegangan pintu mobil. “Pak... kalau saya pingsan di sini, tolong jangan tinggalkan saya.” Suaranya sedikit bergetar. Arka menoleh, matanya menatapnya dalam sekejap. “Kamu tidak akan pingsan.” “Tapi saya pernah pingsan di depan minimarket, lho,” balas Akira dengan nada setengah memelas. Sebentar, sudut bibir Arka bergetar. Hampir tersenyum, tapi cepat-cepat ditahan. Dari kursi belakang, Azka sudah melonjak dengan semangat membuncah. “OMA! OPA!” teriaknya begitu pintu mobil dibuka lebar. Akira menghela napas panjang, mencoba meredam kecemasannya yang masih b
Akira duduk terpaku di tepi kasur, matanya menatap layar ponsel yang sunyi tanpa suara notifikasi. Jari-jarinya menggenggam lemah, sesekali mengusap wajah yang tampak letih. Pagi itu, keheningan yang biasa ia anggap biasa berubah menjadi beban berat. Tak ada pesan dari Azka, dan sepi itu menusuk lebih dalam daripada biasanya. "Gue kira menjauh itu tanda dewasa," gumamnya pelan sambil menarik napas panjang, "Ternyata gue cuma pengecut." Tiba-tiba ponselnya bergetar, sebuah pesan masuk dari grup Naya, "Lo kenapa nggak masuk kampus?" Akira menutup matanya, mengetik dengan berat, "Gue salah." Lalu ia membiarkan diri tenggelam dalam hening, seolah beban di dadanya semakin menyesakkan. ** Akira melangkah keluar dari kos dengan langkah yang berat dan ragu, seolah beban tak terlihat menekan pundaknya. Bukan ke kampus yang seharusnya, tapi menuju TK Azka. Otaknya berputar cepat, penuh pertanyaan yang beriak dalam dada. “Kalau dia marah? Kalau dia kecewa? Kalau gue malah bikin se
Akira duduk terpaku menatap layar ponselnya yang menyala. Notifikasi dari nama Arka muncul dengan pesan singkat yang sederhana, "Azka nanya kamu." Napasnya tiba-tiba memburu, tapi wajahnya malah membeku. Jari-jarinya menggenggam ponsel begitu erat sampai kulitnya sedikit memutih. Dia menutup mata, mencoba menahan gejolak yang mengacak dalam dada. “Maaf,” gumamnya, suaranya hampir tak terdengar. Entah untuk siapa kata itu, Arka, Azka, atau untuk dirinya sendiri. Dengan berat hati, Akira memilih diam, menjaga jarak seperti yang sejak lama paling ia takuti. Karena bukan karena ia tak peduli, tapi justru sebaliknya, karena ia terlalu peduli. *** Akira melangkah ke kelas dengan langkah pasti, lalu memilih duduk di bangku paling depan, jauh dari pintu. Matanya sengaja menghindari arah masuk, takut jika Arka tiba-tiba muncul dan menyapanya dengan suara datar tapi penuh perhatian itu. Naya menatapnya tajam, ada rasa penasaran di balik sorot matanya. “Kira… lo kenapa, sih? Kayak







