Share

Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!
Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!
Penulis: Syaard86

Bab 1

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-09 11:47:46

Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit.

Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali.

Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres.

"Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin.

Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, seolah menyerap seluruh damainya sore itu, berharap bisa bertahan sedikit lebih lama sebelum kembali menghadapi dunia yang menuntutnya kembali.

"Sebenernya Pak Arka itu dosen apa malaikat maut sih! Galaknya udah ngalahin ibu tiri aja!" gerutu Akira dengan wajah cemberut, matanya menatap tajam ke arah pepohonan rindang di tengah taman.

Ia menggigit roti isi sambil menghela napas panjang, frustrasi yang jelas terpancar dari sudut bibirnya yang menahan kesal.

"Tampan sih tampan, tapi iritnya itu loh kebangetan," gumamnya pelan sambil menatap ke arah rindangnya pepohonan yang ada di depan sana.

"Udah irit ngomong, eh tambah irit nilai juga," lanjutnya, suara Akira nyaris serak karena menahan amarah yang lama terpendam.

Ia mengunyah roti itu dengan setengah hati, seolah ingin menelan sekaligus segala beban yang membuatnya jengkel. Matanya lalu melirik ke arah jalan setapak, membayangkan sosok Pak Arka yang selalu berdiri tegak dengan wajah serius dan sorot mata tajam yang bikin semua mahasiswa serasa diawasi dari atas awan.

"Pak Arka itu sebenernya suka cewek nggak ya? Perasaan gue nggak pernah denger kalau dia deket sama cewek," pikir Akira sambil mengerutkan dahi.

Keraguan itu membuatnya menunduk, lalu kembali menatap roti yang setengah dimakannya.

"Atau jangan-jangan para cewek takut deket sama dia," gumamnya lirih, sambil membayangkan reaksi cewek-cewek yang mungkin ciut nyalinya kalau berhadapan dengan Pak Arka. Bayangan itu membuatnya tersenyum miris, seakan pria dengan tatapan dingin itu memang punya aura yang sulit ditembus.

Akira baru saja mengangkat sepotong roti ke mulutnya ketika suara cempreng itu memecah keheningan taman.

“Mamaaa!!” teriak si bocah dengan penuh semangat.

Ia menoleh, matanya membesar, seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Di depannya berdiri seorang anak kecil dengan pipi tembam dan rambut ikal yang berantakan, wajahnya begitu manis sampai membuat hati Akira tiba-tiba mencair tanpa bisa menolak.

Tanpa ragu, si bocah langsung melompat dan memeluk kaki Akira dengan erat, suaranya bersemangat, “Horee! Mamaaaa! Aku udah ketemu sama mama!”

Sementara itu, Akira hanya bisa terpaku, mulutnya menganga setengah kaku. “W-wait... apa?” gumamnya terbata-bata, penuh kebingungan.

Ia menoleh ke kanan dan kiri, mata berkeliling mencari sosok wanita yang semestinya hadir di taman luas itu. Namun, taman itu kosong, tak ada siapa pun selain mereka berdua. Hati Akira berdegup cepat, campuran antara kebingungan dan rasa ingin tahu yang mendalam. Siapa sebenarnya anak ini? Dan di mana mama yang ia cari?

Akira menunduk, menatap mata anak kecil yang mulai berkaca-kaca itu dengan hati yang tiba-tiba sesak. Tangannya perlahan melepas pelukan, berusaha menjaga suara agar tetap lembut.

"Adek kecil... kamu salah orang. Kakak bukan mama kamu," ucapnya pelan sambil berjongkok agar sejajar dengan anak itu.

Namun, kata-kata itu justru memecah keheningan menjadi isak tangis yang pecah, "UWAAAAA...!" Suara tangisnya menggema memenuhi taman kampus itu.

Akira terpaku, dadanya naik turun karena panik yang menyeruak tanpa ia sangka. "Ya Tuhan, cobaan apalagi ini," pikirnya dalam hati sambil mengusap keringat di dahinya.

Ia menggigit bibir, bingung harus berbuat apa. Anak kecil itu masih menangis tersedu-sedu, wajahnya memerah, bibir gemetar, dan kedua tangan mungilnya menggenggam baju Akira seolah ingin melekat selamanya.

"Waduh, mati gue... ini anak siapa sih? Gimana cara ngebujuknya?" bisik Akira dengan suara tercekat, matanya menyapu sekeliling mencari bantuan yang tak kunjung datang.

Jangankan mengasuh bayi, pacaran pun belum pernah ia jalani. Akira merasakan detak jantungnya melonjak, jari-jarinya gemetar saat mencoba mengelus punggung anak itu perlahan, berharap air matanya segera berhenti.

Ia menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak, lalu menatap anak kecil itu dengan mata penuh campuran rasa iba dan ketidakberdayaan.

"Tenang, tenang... Kakak di sini," ucapnya setengah berbisik, berharap suaranya cukup menenangkan. Namun, ketidaktahuannya tentang dunia anak-anak membuatnya semakin cemas, seolah sedang berdiri di tengah badai tanpa perlindungan.

Akira menunduk, suara kecilnya berusaha menenangkan, "Ssstt, ssstt... Jangan nangis ya. Kakak nggak jahat kok, kakak orang baik."

Tangannya gemetar saat mengusap kepala bocah itu, tapi air mata si kecil malah menetes deras. Hatinya sesak, ingin rasanya ikut melepaskan tangis. "Mak! Tolongin anakmu ini!" jeritnya dengan nada frustasi, sambil merogoh tas mencari sesuatu.

Ketemu! Potongan roti isi telur diambilnya dengan tangan yang masih gemetar. "Adek mau roti? Nih, makan dulu ya? Suka telur kan?" katanya pelan.

Ajaib, tangisan itu berhenti, anak itu meraih roti sambil sesenggukan. Akira menarik napas lega, menyipitkan mata melihat bocah itu mulai tenang di pangkuannya.

Bibir Akira tersungging senyum kecil, tapi pikirannya sibuk mengulur jawaban dalam hati. "Wih, pinter banget sih gue bisa bikin dia kalem. Nggak mungkin hadiahnya panci kan?" gumamnya pelan sambil mengusap dagunya.

Tiba-tiba, suara berat memecah keheningan, "AZKA!"

Akira cepat menoleh ke sumber suara. Seorang pria tinggi berjalan cepat, rapi dengan kemeja biru tua dan celana hitam. Wajah dinginnya, rahang tegas, dan mata elang tajam membuat seluruh tubuh Akira merinding. Tidak perlu ditebak lagi Pak Arka Dwijaya, dosen killer yang selalu bikin nyali ciut.

“Apa yang kamu lakukan pada anak saya!” suara Arka pecah, penuh amarah dan cemas.

Akira langsung membeku, tubuhnya kaku seperti patung yang baru saja terpaku dalam kilatan petir. “Anak saya?” Akira mengulang pertanyaan itu dengan bodoh dan panik, matanya melebar seolah mencari-cari alasan yang tepat.

Ia lalu cepat menggeleng, suaranya bergetar, “A-aku nggak ngapa-ngapain, Pak! Sumpah deh, demi IPK aku nggak bakal macam-macam!” katanya tergagap, ketakutan menguasai seluruh gerak tubuhnya.

Arka, dengan wajah serius namun lembut, menarik anaknya ke dalam pelukan. Anak itu, yang sebelumnya rewel, kini sudah tenang sambil menggenggam sepotong roti di tangannya. Namun, tatapan polosnya tak pernah lepas dari Akira.

“Itu Mama…” suara kecilnya terdengar lirih tapi penuh kejujuran.

Akira menundukkan kepala, kedua tangannya menutupi wajahnya.

Hari sial dimulai.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 5

    Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. “Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. Suami? Siapa? Arka? Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip. Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Naik,” katanya pendek. Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Ka

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 4

    Pagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik. Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang mena

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 3

    Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.***Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa e

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 2

    Angin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun. "Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," A

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 1

    Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit. Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres. "Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status