Share

Bab 5

Penulis: Syaard86
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-21 23:29:18

Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. 

“Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. 

Suami? 

Siapa? 

Arka? 

Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip.

 Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. 

 “Naik,” katanya pendek. 

 Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” 

 Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Kamu masuk gerbang sendiri.” 

 Akira mengusap dahinya sambil menahan kekesalan. Dengan langkah berat, dia masuk ke mobil, membawa hati yang tak sepenuhnya rela tapi sudah pasrah.

***

Setibanya di TK, Azka yang masih terikat di car seat langsung melebarkan tangannya saat melihat Akira.

“Mamaaaa, Kiraaa...” serunya riang, wajahnya penuh harap. 

 Akira belum sempat bereaksi saat Azka tiba-tiba melompat ke pelukannya dengan tenaga seperti peluru karet. 

 “AZKA! YA AMPUN!” 

Akira terkejut, hampir terhuyung. Tubuh mungil itu menempel erat, seolah magnet tak bisa dilepaskan. 

 Arka buru-buru membuka pintu mobil, suaranya tegas menyuruh, “Azka, turun. Jalan, jangan lompat begitu.” 

 Tapi Azka malah menggenggam Akira lebih erat, pipinya menempel hangat di dada Akira. “Azka mau mama Kira gendong!” pintanya tanpa kompromi. 

 Arka melirik Akira dengan tatapan seolah berkata, ‘Urusi dulu anakmu itu, ya.’ 

 “Ini anak saya?!” bisik Akira, suaranya penuh campuran lelah dan heran. 

 Arka cuma mengangkat bahu santai. “Kamu yang dia pilih.” 

 Akira menatap dosen itu dengan mata penuh keinginan melempar sandal tapi dia tahan, hanya menyimpan amarah itu dalam hati.

Begitu Akira melangkah melewati gerbang, seketika sekelompok ibu-ibu di sana seperti terpicu sensor waspada. Mata mereka membesar, penuh rasa ingin tahu yang membara, mulut bergetar menahan gelombang gosip yang siap meledak. Gelang emas yang melingkar di pergelangan tangan mereka berkilauan, seolah menyalakan alarm rahasia. 

 “Eh, itu ibunya Azka, kan?” suara kecil satu ibu terdengar penuh kekaguman. 

 “Cantik banget! Pantes anaknya manja terus sama dia,” celetuk yang lain sambil saling bertatapan penuh arti. 

 “Pak Arka sama dia itu cocok banget, ya,” timpal yang lain dengan nada menggoda. 

 “Mirip nggak sih? Azka itu kayaknya kayak ibunya,” bisik seorang ibu, matanya mengerling penuh keyakinan. 

 “Mata, hidung, rambutnya juga! Pokoknya sama,” mereka beramai-ramai saling mengiyakan, seperti sedang merangkai puzzle. 

 Akira menundukkan kepala, bibirnya menggumam marah dalam hati, “Astaga, kapan Azka punya rambut sama kayak aku? Azka rambutnya lurus, aku kan ikal. Mirip di bagian mana, coba?” 

 Ia menghela napas panjang, sambil menggoyang-goyang perlahan Azka yang masih digendong erat di pelukannya.

“Azka, yuk turun dulu,” ujarnya lembut. 

 “Nggak, Azka mau sama Mama Kira terus!” balas kecil yang penuh kelekatan. 

 Seketika suara ibu-ibu langsung melembut, diikuti deretan “Awwwwww...” yang bergetar hangat memenuhi udara.

 Akira menatap ke bawah, berharap bisa hilang sejenak dari pandangan mereka.

Azka tiba-tiba menggeliat di pelukan Akira, tangannya goyang-goyang menuntut turun. “Mama Kiraaa, Azka nggak mau turun…” Suaranya kecil tapi keras, penuh penolakan. 

 “Iyaaaa, tapi mama Kira—eh, AKU—nggak kuat, sayaaaang…” Akira merayu sambil mengusap kepala Azka, berusaha menenangkan. 

 Tapi Azka makin ngotot, menendang-nendang dengan sepatu kecilnya. Tiba-tiba sepatu itu melayang ke udara, lalu mendarat tepat di kaki guru piket yang lewat. 

 BLUK. 

 Seketika, guru piket meledak tertawa. “Wah, pagi-pagi sudah chaos ya, Bu Akira…” Suaranya ringan tapi penuh keakraban. 

 Akira membeku, matanya membelalak. “Bu-bu Akira?!” Suaranya tercekat. 

 Guru piket cuma tersenyum, “Iya, ibu. Azka selalu cerita tentang ibu di kelas.” 

 Jantung Akira berdegup kencang. Bibirnya terkatup, panik menahan rasa malu. Azka? Apa yang kamu ceritakan pada gurumu? Dia cuma bisa menatap Azka, yang sekarang tersenyum nakal seperti tahu rahasia kecilnya sudah tersebar.

***

Saat gurunya dengan telaten memasang ulang sepatu Azka, beberapa ibu-ibu lain mulai mendekat, suara mereka ramah tapi penuh rasa ingin tahu. 

 “Bu Akira, biasanya ikutan arisan juga nggak?” tanya salah satu dengan senyum menggoda. 

 “Bu Akira kerja apa? Rumahnya di mana?” ibu lain menambahkan, matanya menyipit seolah mengulik rahasia. 

 “Sudah lama nikah sama Pak Arka, ya?” sela yang lain, menatap Akira seolah menunggu pengakuan.

Akira menelan ludah, hatinya langsung berdesir. Di dalam kepala dia hanya bisa "mental cry". 

Suaranya gugup saat akhirnya mencoba menjawab, “Eee, saya bukan… istri Pak Arka...”

Tawa pecah di antara mereka, ringan dan lepas, seperti meledek tanpa niat jahat. 

 “Alaah, Bu, nggak usah malu-malu. Azka tadi waktu Hari Keluarga tunjukin foto ibu juga, kok!” celetuk seorang ibu sambil tertawa.

“Foto?” 

Akira nyaris tercekik, wajahnya berubah pucat.

“Iya, dia bilang itu mama!”

Hah?

Foto apa? Dari mana? Matanya langsung menatap Azka, mencari jawaban.

“Azka... foto apa?”

Azka cuma tersenyum polos, tanpa beban. “Foto mama Kira yang Azka ambil dari I*******m mama Kiraaa...”

Jantung Akira seperti berhenti. Air muka-nya berubah menjadi campuran panik dan kesal. 

 “Azkaaaa... jangan ambil fotoku! Itu PRIVASI!” serunya dengan suara hampir berteriak, tangan mengibas-ngibas seolah ingin menangkap angin yang membawa masalah. Suasana jadi lebih riuh, ibu-ibu malah tambah semangat.

“Loh, sudah follow-followan? Duh, gemes banget!” celetuk seorang ibu sambil terkekeh. 

 “Ih, Pak Arkanya pasti sayang banget sama istrinya…” komentar lain dengan nada penuh selidik. 

 “Ya ampun, keluarga muda goals!” tambah yang lain sambil tersenyum sinis.

Akira hampir kehilangan akal, suaranya tercekat ingin meledak: “GOALS DARI MANA?!” Namun yang keluar cuma napas berat, dia hanya bisa menundukkan kepala, mencoba sembunyikan wajah memerah penuh malu dan jengkel.

***

Setelah drama kecil yang menguras tenaga, Azka akhirnya mau turun dari pundak Akira. Namun, matanya sudah berkaca-kaca saat dia meraih tangan Akira dengan erat.

“Azka mau mama Kira gendong masuk kelas,” gumamnya sambil mengerutkan kening. 

 Akira menahan napas, bibirnya bergetar. “Azka… nggak boleh masuk kelas sambil digendong…” ucapnya pelan, mencoba keras kepala. 

 Tiba-tiba Azka merengek kecil, suaranya nyaris patah. “Kalau mama Kira nggak ikut, Azka nangis.” 

 Aduh. 

Akira merasa dada sesak, ragu antara menolak atau menuruti keinginan bocah itu. Guru kelas A melangkah mendekat dengan senyum lembut di wajahnya. 

 “Tidak apa-apa, Bu Akira. Masuk saja sebentar.” 

 Akira ingin segera meluruskan, “Saya bukan ibu Azka,” tapi kata-katanya terhenti karena sikap ramah guru itu mengalahkan keberaniannya. 

 Azka menarik tangan Akira dengan wajah polos yang tak bisa dibantah, “Mau duduk sama mama Kiraa...” 

 Dengan lemah, Akira pun berjongkok di karpet kelas yang dikelilingi gelak tawa anak-anak TK yang berlarian kecil, merasa seperti babysitter yang harus mengurus tanpa pamrih.

Dan tiba-tiba, suara itu memecah keramaian kelas. “Akira.” Suara yang dingin dan tenang, sampai bulu kuduk Azka berdiri. 

Di depan pintu, Arka berdiri dengan tangan terselip di saku celana. Kemejanya digulung hingga setengah lengan, wajahnya datar tapi entah kenapa justru terlihat semakin ganteng. 

Azka langsung melonjak berlari ke arahnya, “Papa!” 

 Arka menggendong Azka sambil menatap Akira dengan tatapan tajam. “Bukannya saya suruh kamu tunggu di luar? Kenapa masuk kelas?” 

 Akira terbata-bata, wajahnya memerah. “I-ini gara-gara Azkaaa…” 

 Matanya menangkap sosok ibu-ibu yang mengintip dari luar pintu. Rasa malu dan bingung menyeruak. 

Arka menghela napas panjang, lalu berkata pelan, “Besok, kamu antar lagi.” 

 “Tapi... PAK ARKA! Ibu-ibu itu... mereka pikir saya ISTRI BAPAK!” suara Akira hampir berteriak. Arka menatapnya lama, terlalu lama sampai Akira merasa jantungnya berdegup kencang.

 Kemudian Arka sedikit menundukkan kepala dan berkata dengan suara lembut, “Biar saja.” 

 Keheningan sejenak memenuhi ruangan, dan Akira hanya bisa menelan ludah sambil bertanya, “A-apa maksudnya ‘biar saja’?” Arka tersenyum tipis. “Berarti mereka tidak akan tanya-tanya lagi.”

“Tapi...”

Arka memotong dengan suara rendah,

“Dan Azka lebih tenang kalau kamu ada.”

Akira terdiam sekali lagi.

Lalu...

“Papa… Azka mau pulang sama mama Kiraa...”

Akira langsung batuk.

Arka menepuk kepala anaknya pelan.

“Nanti. Mama Kira harus kuliah.”

Ibu-ibu di luar langsung “…AAAAAWWWWWWWWWW!!!”

Akira ingin hilang di lantai.

***

Saat mereka keluar kelas, ibu-ibu TK langsung berkerumun seperti wartawan infotainment.

“Duh, harmonis banget ya keluarganya…”

“Pak Arka sayang banget sama istrinya…”

“Bu Akira cantik sih, pantes Pak Arkanya nempel…”

Arka cuek.

Akira panas dingin.

Saat menuju mobil, Akira mendesis ke Arka,

“Pak… tolong jelaskan pada mereka!”

Arka membuka pintu mobil dan menjawab santai:

“Nanti saja.”

“KAPAN?”

“Sampai gosipnya selesai.”

“PAK! Itu nggak akan selesai!”

Arka hanya memberi jawab yang membuat Akira kehilangan kemampuan bicara:

“Bagus.”

Bagus??

BAGUS??

Mobil melaju pergi.

Dan Akira tahu hidupnya tidak akan tenang mulai hari ini.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 5

    Pagi itu, Akira berdiri di depan cermin kecil di kamar kosnya. Matanya meneliti setiap detail wajahnya, seperti sedang berusaha mengumpulkan keberanian untuk sidang skripsi. Bulu matanya sudah rapi, terlihat natural. Dia mengoles bedak tipis-tipis, takut kalau-kalau ketahuan baru bangun tidur. Pandangannya lalu tertuju pada pilihan pakaian. “Jangan sampai ibu-ibu di TK kira aku dandan demi suaminya,” pikirnya cemas. Suami? Siapa? Arka? Sekilas bayangan Arka hadir dan membuat bulu romanya merinding. Akhirnya, dia memilih kaos polos dan celana jeans pilihan yang aman, simpel, dan jauh dari gosip. Begitu Akira melangkah keluar kos, sebuah mobil hitam yang sangat familiar melambat di depannya. Jendela turun, dan mata Arka menatapnya dengan ekspresi datar seperti biasa. “Naik,” katanya pendek. Jantung Akira hampir melonjak, suaranya setengah berteriak, “Pak! Bukannya saya disuruh datang sendiri?” Arka malah melepas kalimat yang bikin darahnya mendidih, “Ini ‘datang sendiri’. Ka

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 4

    Pagi itu, Akira hanya berniat singgah sebentar, seperti biasanya. Mengantar Azka ke kelas, bilang “hai” sebentar ke gurunya, lalu kabur sebelum para ibu-ibu TK dengan radar gosip setajam satelit NASA menyadari kedekatan mereka. Namun rencana itu hancur dalam hitungan detik. Begitu melewati gerbang, Azka tiba-tiba merangkul leher Akira erat seperti koala yang menemukan pohon favoritnya setelah sekian lama hilang. “Mama… Azka mau gendong terus,” suara kecil itu menggantung di udara. Akira terpaku. Matanya mencari-cari cara menjauh tapi tubuh Azka enggan lepas. “Azkaaa… ini mama Kira ya, bukan mama beneran. Kamu nggak boleh panggil aku mama di sini,” ujarnya pelan, berusaha menarik napas agar tidak panik. Tapi Azka justru mengencangkan pelukannya, wajahnya penuh tekad. “Nggak mau! Mau mama Kira!” Di seberang halaman, beberapa ibu-ibu yang sedang mengantar anak serempak memutar kepala. Mata mereka membesar, saling bertukar pandang penuh arti, seperti kawanan flamingo yang mena

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 3

    Ruangan aula TK itu riuh seperti pasar malam; balon warna-warni menggantung bergoyang ringan di langit-langit, pita-pita berkelok menari ditiup angin, sementara puluhan anak kecil berlarian tanpa henti, seperti pasukan semut yang kebanyakan minum energen. Suara tawa mereka pecah di antara jeritan kecil dan dentingan musik anak-anak yang mengalun riang. Di depan pintu aula, Akira berdiri membeku, tubuhnya kaku seperti patung lilin yang tak bernyawa. Jantungnya berdegup kencang, seolah genderang perang bergaung di dadanya. Keringat dingin menggenang di telapak tangannya, membuatnya harus mengusapnya berulang kali. “Gue benar-benar harus bisa bertahan di tempat kayak gini...” gumamnya lirih, suaranya nyaris pecah. Mata Akira mulai berkaca-kaca saat bayangan pagi tadi kembali menghantam pikirannya, membalik rasa takut yang sudah lama terkunci dalam dada.***Pagi itu di koridor kampus yang ramai, tiba-tiba tangan Pak Arka mencengkeram lengan Akira dengan erat. Wajahnya datar, tanpa e

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 2

    Angin sore di taman kampus tiba-tiba terasa berhenti, seolah ikut menahan napas menyaksikan situasi genting di depan dosen killer itu. Akira berdiri kaku, dadanya sesak, tatapannya tak berani menantang balik sorot tajam Arka. Dosen itu terkenal membuat mahasiswa stres sampai rambut mereka rontok satu per satu. Irit bicara, jarang senyum, dan lebih parah lagi sering memberi nilai rendah tanpa ampun. "Kamu mau menculik anak saya!" tuduh Arka tiba-tiba, matanya melotot seperti pedang siap menancap di dada Akira. Tangan Akira mulai basah oleh keringat dingin, jemarinya gemetar meremas ujung bajunya, kepalanya menunduk dalam-dalam. "Mana berani saya menculik anak kecil. Dia yang nyamperin saya dan ngira kalau saya mamanya, Pak," suaranya bergetar, berusaha tetap tenang. Sekilas ia melirik anak kecil yang digendong Arka, bibirnya menekan keras agar tak meluapkan kekesalan dalam hati. "Kenapa gue mesti ketiban sial cuma gara-gara anak ini," gumamnya penuh kegeraman. "Modus," A

  • Jadi Mama Bohongan? Siapa Takut!   Bab 1

    Suara kicau burung bersahutan lembut di antara ranting-ranting pohon, sementara angin sore menyusup lewat celah daun, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Akira duduk terdiam di bangku taman kampus yang hampir kosong, tubuhnya merosot santai sambil menggenggam roti isi telur yang setengah digigit. Headset bluetooth murahan melingkar di lehernya, satu sisi earbud terlepas dan menggantung, sesekali mengeluarkan suara statis saat mencoba menyambung kembali. Matanya menatap kosong ke arah rerumputan yang berayun pelan, napasnya keluar pelan dan panjang, membebaskan penat yang menumpuk selama tiga hari terakhir. Wajahnya menunjukkan kelelahan, garis-garis gelisah mengintip di sudut mata, namun ada secercah ketenangan yang mulai menyusup menggantikan stres. "Akhirnya bisa napas juga gue," gumamnya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin. Tangan kanan Akira secara refleks mengusap pelipisnya yang masih terasa tegang, lalu ia menarik napas dalam-dalam sekali lagi, s

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status