LOGIN**
“Aku tidak bisa tidur, Gending..,” ujar Miss Widya pelan.
Kami sekarang telah berpindah ke ruang keluarga, dan melanjutkan obrolan kami yang bagiku, semakin tidak penting saja.
Miss Widya duduk di sebuah sofa. Kedua kakinya naik, merapat, dan ia memeluk kedua lututnya macam anak gelandangan di emperan toko.
“Aku capek..,” katanya lagi.
“Capek pikiran..,”
“Capek hati..,”
Aku yang duduk di sampingnya hanya bisa mendengarkan dan terdiam. Sebagai seorang ajudan aku juga sudah terlatih dengan hal yang membosankan seperti ini.
“Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur..,” ujar Miss Widya seraya menatapku.
“Sampai sakit kepalaku. Sampai lemas badanku. Rasanya tersiksa. Mengantuk, tapi tidak bisa tidur.”
“Kalau pun tertidur, itu cuma beberapa detik dan setelah itu terbangun lagi. Jadi
**“Aku tidak bisa tidur, Gending..,” ujar Miss Widya pelan.Kami sekarang telah berpindah ke ruang keluarga, dan melanjutkan obrolan kami yang bagiku, semakin tidak penting saja.Miss Widya duduk di sebuah sofa. Kedua kakinya naik, merapat, dan ia memeluk kedua lututnya macam anak gelandangan di emperan toko.“Aku capek..,” katanya lagi.“Capek pikiran..,”“Capek hati..,”Aku yang duduk di sampingnya hanya bisa mendengarkan dan terdiam. Sebagai seorang ajudan aku juga sudah terlatih dengan hal yang membosankan seperti ini.“Sudah beberapa hari ini aku tidak bisa tidur..,” ujar Miss Widya seraya menatapku. “Sampai sakit kepalaku. Sampai lemas badanku. Rasanya tersiksa. Mengantuk, tapi tidak bisa tidur.”“Kalau pun tertidur, itu cuma beberapa detik dan setelah itu terbangun lagi. Jadi
**“Gending, aku berubah pikiran. Ada yang mau aku sampaikan ke kamu sekarang.”“Apa itu, Miss?” Aku memperbaiki posisi dudukku.Miss Widya menoleh sebentar ke arah ruang tengah. Entah apa yang ia lihat, atau apa yang ia dengar. Aku pun ikut menoleh karena penasaran.Memang tidak ada apa-apa di ruang tengah itu. Miss Widya hanya sedang berkelindan dengan pikirannya sendiri.Antara membongkar semua rahasia yang ia simpan selama ini, atau membiarkannya tetap tenggelam di lubuk hatinya.Detik-detik yang berlalu membuat ia terombang-ambing pada pilihan yang berganti-ganti dengan begitu cepatnya. Akhirnya, Miss Widya berkata pula.“Aku mau membicarakan soal gaji kamu.”Aku tersenyum tipis. Dalam waktu yang bersamaan aku merasa tersanjung dan juga malu.“Kamu mau gaji berapa?” Tanya Miss Widya.Pertanyaan itu membuat aku terdiam. Miss Widya menunggu jawabanku namun aku tet
**“Entah ya.., sepertinya.., aku mulai jatuh cinta pada seseorang..,”Miss Widya menghentikan kata-katanya. Tiba-tiba ia menjadi gugup. Duduknya di kursi meja dapur ini menjadi tidak tenang.Aku yang tadi menunduk sekarang mengangkat wajah pula, menatap Miss Widya dengan penasaran.“Jatuh cinta pada seseorang?” Tanyaku, khawatir telingaku tadi salah mendengar.“Emmh.., iya.” Jawab Miss Widya malu-malu.“Belum lama Miss putus hubungan dengan Kelvin dan sekarang Miss sudah jatuh cinta lagi?”“Eee.., bukan begitu maksud aku.” Miss Widya tesentak.“Aku bilang tadi, sepertinya. Ya, sepertinya. Sepertinya aku mulai jatuh cinta. Bukan berarti sudah jatuh cinta ya.”“Mungkin rasa suka di dalam hatiku ini sudah tumbuh sejak beberapa waktu yang lalu. Tetapi, karena waktu itu aku masih ada Kelvin, jadinya perasaan itu teredam dengan sendirinya.”
**Duuh.., Ceu Lena, kok bayangan kamu hadir lagi sih??Segera saja berkelebatan memori manis di dalam ingatanku. Memori ini sangat natural dan naluriah, selayaknya masa kecil anak-anak yang hidup di suatu perkampungan.Aku dan Ceu Lena bermain masak-masakan. Kami menggunaakan batu bata sebagai tungkunya. Kualinya dari batok kelapa, pancinya dari kaleng bekas susu.Ceu Lena mulai memasak dan merajang bumbu, dan aku mencari kayu..,“Gending..,”Aku tersentak.“Dari mana kamu belajar memasak?” Tanya Miss Widya lagi setelah meneguk segelas air putih.Aku menuntaskan terlebih dulu kunyahan di mulutku, sekaligus menyingkirkan bayangan Ceo Lena yang bertahan menari-nari di pelupuk mataku. Aku pun menjawab.“Kalau ditanya dari mana, agak sulit saya menjawabnya, Miss. Tapi kalau Miss tanya ‘sejak kapan’, saya memang sudah bisa memasak sejak masih kecil.”“Oh ya?&
**“Gak mau. Kita makan bareng!”“Emm, saya jadi ngerasa tidak enak, Miss.”“Dienak-enakin saja-lah. Pokoknya kita makan bareng.”Aku mengusap-usap rambut di bagian belakang kepalaku. Aku berpikir keras, mencari skenario lain supaya Miss Widya tidak jadi ikut makan dan kembali saja ke kamarnya sana.Akan tetapi, rupanya ia telah mantap dengan keinginannya makan bersamaku di sini.Ia juga cukup tahu diri dengan peran atau kontribusinya. Aku yang memasak, maka dia sekarang yang menyiapkan piring-piring, gelas, sendok dan garpu.Semua perlangkapan makan itu ia tata di atas meja, di sini, di dapur, bukan meja di ruang makan sana.“Makan malam-malam begini, Miss tidak takut gemuk?” Tanyaku, dengan maksud tersembunyi, yaitu Miss Widya tidak ikut makan.Alasanku keberatan sangat masuk akal. Karena porsi yang aku masak ini, ya untuk diriku saja. Untuk satu orang, bukan dua.
**Mendengar Miss Widya memutuskan hubungannya dengan Kelvin entah mengapa aku merasa begitu senang.Ini pasti naluriah, dikarenakan pengetahuanku tentang karakter Kelvin yang sebenarnya kasar dan rasis.Kadang-kadang, aku masih saja sakit hati jika mengingat kata-kata Kelvin sewaktu aku mendatangi apartemennya.“Kamu tahu, Gending?? Kebodohan semacam inilah yang menyebabkan bangsa kamu dijajah selama 350 tahun oleh bangsa kulit putih seperti kami!”Huh! Sebal sekali aku jika mengingat bagian yang itu.Kegembiraanku terkait putusnya hubungan dua sejoli itu tidak berlangsung lama. Aku tetap dihadapkan pada kondisi di mana aku terus terbelenggu dengan amanah Abah Anom.Jadi kapan Miss Widya akan menikah??Lalu kalau menikah, dengan siapa??Aku suka uring-uringan sendiri jika mengingat itu. Rasanya, aku ingin protes pada nasib yang menelantarkan aku di lingkungan Arung Bahari Corp dan menjadikan aku sebaga







