**
Menghadapi serbuan anjing-anjing liar itu aku tetap berdiri di tempatku, tegak, tak mundur barang satu langkah pun.
Aku mengangkat kedua tanganku masing-masing ke samping kanan dan kiri. Seakan mau memeluk angin, seakan pasrah.
Hingga beberapa detik kemudian anjing-anjing liar itu pun sampai di depanku. Jumlahnya mencapai puluhan ekor.
Akan tetapi, mungkin karena sikap teguhku yang mengembangkan tangan ini, mereka urung menyerang aku.
Guk! Guk! Gukk..!
Mereka terus mengelilingi aku. Taring-taring mereka terhunus. Bola mata mereka menyorot aku dengan kejam. Suasananya semakin kritis dan mencekam.
Guk! Guk! Gukkk..!
“Santai, boy.., santai.” Ujarku dengan lembut pada anjing-anjing itu.
Oh ya, apakah aku sudah bilang, bahwa aku pernah bekerja di sekolah pelatihan anjing?
Apakah aku pernah bilang bahwa aku bisa menundukkan anjing yang paling liar sekalipun?
Aku tidak membual, dan malam ini a
**“Oh, jadi begitu,” gumamku pelan.Ternyata, Kelvin itu seorang deputi manajer pemasaran wilayah Asia. Ia sengaja memilih untuk ditugaskan oleh perusahaannya di Indonesia ini supaya bisa berdekatan dengan Miss Widya.Aku baru tahu akan hal itu dari Pak Murad yang sekarang sedang asyik menikmati rokoknya di sampingku. Kami berdua duduk di teras paviliun, berbincang-bincang sembari menunggu kantuk tiba.Sementara Kelvin, orang yang sedang kami perbincangkan sekarang sedang duduk bersama Miss Widya di sana, di beranda samping rumah utama. Biasa, mereka apel-apelan lagi.Seingatku, sudah dua kali Kelvin itu mengapeli Miss Widya. Kalau makan siang bareng, sudah tidak terhitung lagi.“So sweet sekali, Pak,” ujarku, mengomentari keterangan dari Pak Murad tadi.Aneh juga, Pak Murad sang sopir ini lebih mengetahui tentang Miss Widya dari pada aku yang ajudan ini.“Ya wajar toh,” cetus Pak Murad. &ld
**Eee.., kenapa begitu? Ternyata, mobil itu pergi. Iya, benar, tepat ketika aku akan menyeberangi jalan di jalur yang satu lagi, mobil itu bergerak maju.Mulanya perlahan, hingga beberapa saat kemudian pun melaju dan semakin kencang. Jauh, semakin jauh, lantas menghilang dari pandanganku.“Aaaakh..! Aku tak sempat!” Gerutuku dalam hati, kesal dan menyesal saat menyadari aku tak sempat melihat nomor pelat mobil itu.Padahal, itu bisa menjadi alat bukti yang barangkali aku membutuhkannya kelak. Ya sudahlah.“Ckk! Sayang sekali.”Aku masih berdiri di tengah median jalan, masih menoleh ke kanan, menatap kepergian mobil sedan yang mencurigakan itu dengan segenap rasa penasaranku. “Baiklah,” bati
**“Apa itu??” Pekikku dalam hati.Pada dinding kaca ini aku melihat bayangan sebuah mobil di kejauhan. Sekilas saja tadi, aku melihat sebuah titik cahaya berwarna merah yang melesat dari dalam mobil tersebut.Cepat aku menoleh ke kiri, lalu mencari keberadaan sebuah mobil sedan hitam yang bayangannya masih ada di dinding kaca sebelahku.“Nah, itu mobilnya,” batinku.Aku menyipitkan mata, berusaha menajamkan pandangan ke arah mobil sedan yang jaraknya sekitar empat puluh meter di tepi jalan sana.Entah mengapa, tanpa alasan yang jelas sekarang aku merasa was-was.Apakah tadi aku mengalami ilusi, semacam itu? Atau memang benar pandangan mataku yang menangkap seberkas titik cahaya berwarna merah dari arah mobil itu?Seberkas cahaya merah tadi bisa berasal dari sebuah pointer laser, atau berasal dari alat penginderaan infra merah yang hanya bisa dilihat melalui alat bantu semisal kaca.Be
**Aku tidak mengerti, mengapa Pak Murad kembali ke rumah Acropolis ini tanpa membawa Miss Widya. Setahuku tadi, Miss Kunti itu pergi ke gym.Aku yang sudah berkalung handuk dan mau mandi terpaksa urungkan niat karena Pak Murad mencegatku di teras depan paviliun.“Ayo, Gending, kamu dipanggil Miss Widya.” Katanya.Aku tercenung sebentar. Gara-gara aku yang memanggil Widya dengan sebutan ‘Miss’, sekarang hampir semua orang di rumah Acroplis ini juga memanggil dengan sebutan serupa.Bahkan di kantor juga begitu. Banyak orang, termasuk Mbak Vera, yang menggunakan kata ‘Miss’ sebagai sebutan untuk bos kami itu. Tapi kalau berhadapan langsung, tetap saja ia menggunakan sebutan ‘ibu’.“Miss Widya memanggil aku?” Tanyaku yang sontak heran.“Iya.”“Di mana? Bukannya tadi Bapak mengantar dia ke gym?”“Iya, dia masih di sana, menunggu k
**“Sebenarnya, Ibu tidak terlalu suka dengan anjing. Widya juga tidak suka. Di rumah ini hanya papanya Widya saja yang suka dengan anjing.”“Oh, begitu.” Komentar Gending.“Iya. Dulu, si Venus ini diadopsi sama papanya Widya, waktu Widya masih kuliah di Amerika.”“Dari mana asalnya Venus ini, Bu?” Tanya Gending, sembari berjongkok, dan mengelus kepala Venus yang sekarang berbaring di depan kaki Ibu Suri.“Dia dari sebuah petshop, atau toko hewan peliharaan terkenal di Cijantung, di daerah Jakarta Timur sana.”“Waktu diadopsi dulu, umurnya Venus ini berapa tahun, Bu?”“Oh, masih kecil. Sekitar enam bulanan. Masih imut banget. Masih suka menangis. Suaranya uik-uik, begitu.”“Berarti sekarang, umur Venus sekitar enam atau tujuh tahun ya, Bu?”“Iya, sekitar itu. Ibu tidak ingat pastinya.”“Umur maksimal rata-rata anjing sih sekitar sepuluh atau dua belas tahunan, Bu. Tapi kalau dirawat dengan baik, makan dan&nb
**Ibu Suri memberi isyarat dengan tangannya, supaya Devi, sang perawat melepaskan pegangan pada kursi roda.Ibunda Widya ini lalu meneruskan putaran roda pada kursi dengan tangannya sendiri, pelan-pelan dan hati-hati.Tak lama kemudian ia menghentikan kursi rodanya tepat di bagian tengah halaman belakang. Ia menatap Gending dengan kedua matanya yang seakan tak bermakna apa-apa, bergantian dengan memandangi Venus.Gending yang kemudian menyadari kehadiran Ibu Suri itu sedikit terkejut. Ia merasa gugup, dan untuk beberapa saat ia tidak tahu harus berbuat apa. Tangannya mengendurkan tali kekang Venus.Gending tidak mengerti mengapa Ibu Suri tiba-tiba keluar rumah dan menghampiri dirinya di halaman belakang ini.Baginya, hal ini merupakan sesuatu yang aneh. Atau, atau mungkin ini sesuatu yang positif? Sebab, seperti yang ia ketahui dari Pak Murad, Mbak Ratih dan semua asisten di rumah Arcopolis ini, bahwa Ibu Suri sama sekal