**
Keesokan harinya..,
Pagi-pagi sekali aku bangun, membuat sarapan untuk kami berdua, yaitu untuk aku dan Galih.
Setelah sarapan pagi selesai kumasak aku pun membangunkan Galih. Aku mengajaknya makan pagi bersama.
“Eeee.., busyet! Jam berapa ini?” Tanya Galih, yang mengintip suasana di luar lewat jendela. Masih agak gelap memang.
“Jam enam pagi,” jawabku.
Sewaktu bersarapan ini aku mengungkapkan pamitku pada Galih. Aku juga mengucapkan terima kasih karena telah banyak membantu aku selama ini.
Sekaligus, aku juga meminta maaf karena pernah beberapa kali merepotkan dia. Beberapa kali kami pernah pindah tempat tinggal, ya aku ini penyebabnya.
Lalu sekelompok preman yang aku kalahkan tadi malam itu adalah satu dari sekian banyak alasan.
Galih-lah yang dulu pertama kali menolong aku di Jakarta ini. Walaupun, betapa jengkelnya aku saat itu. Kenapa?
Di akun media sosialnya Galih tampak san
**Tiba-tiba, ada yang aneh lagi di sini!Ibu Suri terhenyak, wajahnya mengeras dan tidak mengesankan apa-apa.Akan tetapi, ada sedikit kerutan yang tecetak di dahinya, disusul kemudian dengan kedua bola matanya yang menatapku dengan pandangan kosong.Gelagatnya yang tak wajar itu tentu saja membuat aku cemas.“Kata-kata kamu itu mengingatkan saya pada seseorang.” Ujarnya kemudian.Aku mengangguk pelan beberapa kali, lalu merapatkan kedua telapak tanganku di atas paha.Masih dengan sikapku yang canggung dan satu senyum yang aku paksakan aku pun menyahut.“Apakah ada yang salah dengan kata-kata saya, Bu?”“Tidak, tidak. Tidak ada yang salah kok.” Sahut Ibu Suri dengan senyum.“Mudah-mudahan kata-kata saya tadi tidak mengingatkan Ibu pada seseorang yang jahat.”“Justru sebaliknya, Gending. Itu mengingatkan saya pada orang yang baik. Sangat, sangat baik.&rd
**Aku tercekat mendengar pertanyaan itu. Sungguh aku tidak menduga Ibu Suri akan memberi persoalan yang cukup memeras otakku untuk berpikir.“Siapa yang akan kamu pilih andai saja kamu berada di dalam situasi seperti itu? Kamu sedang berkendara, tiba-tiba ada orang yang nyelonong di kanan dan di kiri jalan secara bersamaan.”Ibu Suri sedikit mencondongkan tubuhnya ke arahku, lalu memandangku dengan tatapannya yang lembut nan misterius.“Siapa yang akan kamu korbankan, Gending? Si kakek atau Si anak kecil?”Tak pelak juga Miss Widya yang menyimak dialog kami sejak tadi pun kembali mengalihkan perhatiannya padaku.Kali ini ia bahkan merebahkan layar ponselnya ke samping, ikut menatap aku dengan sorot yang penasaran.Bagaimana aku menjawab? Tentu saja situasinya adalah dilema!Kalau aku menabrakkan mobilku pada Si kakek supaya Si anak kecil yang selamat, aku memang bisa menggunakan alasan bahwa Si an
**Aku melihatnya bagaikan seorang ibu suri dari suatu kerajaan, yang marwah dan martabatnya terjaga dengan kesetiaan dan kecintaan orang-orang di sekelilingnya.Sosoknya tampak begitu anggun dan berwibawa. Pandangan matanya sejuk dan menenangkan. Wajahnya lembut dan penuh keibuan.Rambutnya, yang sebagian sudah mulai beruban, dililitkan di bagian belakang kepala, lalu disimpul dengan sebuah gelang.Jika bukan karena azas kesopanan, rasanya ingin sekali aku menatap dirinya berlama-lama.Namun, ada yang sedikit aneh di sini. Sang Ibu Suri itu—begitu aku akan menyebutnya, ia memandang aku seperti pernah melihatku sebelumnya.Seakan-akan ia pernah bertemu dengan aku dan ia tengah berusaha keras mengingatnya.“Jadi inilah ajudan yang aku ceritakan ke Mama.” Kata Miss Widya pada sang ibunda.Aku mengangguk takzim, tersenyum, lalu dengan rasa segan aku pun maju untuk menyalami Ibu Suri. “Nama kam
**“Ibu?” Sapa Mojo pelan, menyadari Widya yang tiba-tiba bengong macam kambing ompong.“Ibu? Ibu baik-baik saja?”“Eh, iya, iya,” Widya tergeragap bagai tersadar dari mimpi. “Ayo antar saya pulang.”Ganjil sekali. Entah mengapa sekarang Widya menjadi gugup. Ia sampai kesulitan mengemasi laptop dan memasukkannya ke dalam tas.Kabel carger laptop dan ponsel yang mau ia gulung malah tercerai berai. Ketika ia mau membereskannya, malah tas makeup-nya pula yang menyusul terjatuh.“Biar saya bantu, Bu.” Mojo maju menghampiri meja Widya.“Jangan!” Sentak Widya dengan ketus.“Saya bisa sendiri!” Matanya pun sontak nyalang menatap Mojo dengan amat tajam.Mojo segera menundukkan kepala, lalu bergerak mundur dua langkah ke belakang. Sembari menunggu Widya berkemas Mojo lantas berinisiatif dengan kegiatan yang lain.Ia berjalan menuju ke arah
**“Kamu cowok, ngapain juga kamu pakai wig?” Tanya Mbak Vera dengan heran.“Hemm.., yaaa tentu saja untuk penyamaran,” sahutku.Mbak Vera mengerutkan dahinya, masih tidak mengerti dengan maksudku.“Untuk merubah penampilanku, Mbak. Jadi, supaya memberi kesan kepada orang lain, siapa pun di luar sana yang punya maksud buruk, bahwa ajudannya Ibu Widya bukan cuma satu.”“Ini juga punya punya tujuan psikologis. Ketika misalnya aku mengawal Ibu Widya jalan-jalan, shoping, nonton, atau ke salon, atau eee.., nge-date, apa-lah, Ibu Widya tidak perlu merasa risih atau merasa terganggu dengan keberadaanku.”Aku menatap Mbak Vera dengan sungguh-sungguh. “Terlalu panjang kalau aku ceritakan secara detil, Mbak.”“Okelah, okelah, apa pun yang kamu butuhkan untuk improvisasi nanti aku uruskan.” Selang tak lama kemudian, aku dan Mbak Vera telah selesai dengan
**"Gending?"Aku cepat menoleh. Ternyata yang memanggil aku barusan adalah Vera.Sang sekretaris itu sepertinya baru saja tiba di kantor ini. Aku berdiri untuk menunjukkan respek yang wajar.Untuk kesopanan, sepertinya aku harus memanggil dia dengan Mbak Vera.Tepat ketika Mbak Vera sampai di depanku aku pun menjulurkan tangan, mengajaknya bersalaman.“Mojo, nama saya Mojo,” ucapku meralat.“Tapi, Ibu Widya bilang nama kamu Gending.”“Begitu?”“Iya.”“Ya sudahlah.” Aku mengalah.“Aku kira tadi kamu belum datang. Oh ya, kamu sudah menemui Pak Syailendra?”“Sudah, Mbak.”“Oke, sekarang kamu bisa temui Ibu Widya di ruangannya. Kamu melapor dulu.”Aku mengangguk.“Nanti kalau sudah selesai, kamu temui aku lagi di ruangan itu ya.” Kata Mbak Vera sambil menunju