"Najong!" pekik Sandra melalui sambungan telepon usai teman satu kantornya itu memanggil sebutan sayang. "Geli gue!"
"Apalagi gue," tandas Sherly masuk ke dalam mobil Honda Brio putih dan menekan loudspeaker .
"Gue ogah punya cewek mak lampir kayak lo," sembur Sandra.
"Gue juga males punya cewek jorok mata duitan kayak lo," balas Sherly meraih botol mineral dari drink holder, meneguk cepat melintasi kerongkongan yang terasa kering setelah percakapan tak pentingnya dengan Eric. Beruntung panggilan dari Sandra bisa mengakhiri dan seakan Tuhan tahu kalau Sherly enggan berlama-lama melakukan kontak dengan lelaki sok ganteng itu. "Tapi, gue sayang sama lo, Nek."
"Gue juga, Mak," kata Sandra cekikikan. "Gue sampe lupa mau nelepon lo buat apa. Udah ah, gue tunggu di kantor!"
Sambungan telepon terputus, Sherly menghela napas panjang dan mengembuskan melalui mulut mengeluarkan segala kerisauan yang menggerombol dalam dada. Mengelus lengan yang tertutupi blazer cream berpotongan tiga perempat yang sempat dipegang sang mantan. Beruntung Eric tidak mendengar betapa keras debaran dadanya. Selain itu, ada sisi positifnya juga selama pelajaran di kampus kalau para pengacara harus menunjukkan wajah tegas di depan lawan agar tak terlihat kalau mereka sedang terpojok. Walau Sherly tak yakin berapa lama lagi dia akan bertahan menghadapi sikap keras kepala Eric yang masih saja menjejalinya alasan kepergian gadis itu lima tahun lalu.
Seraya menyalakan mesin mobil kemudian melaju menuju kantor, pikiran Sherly terpusat pada sosok Eric. Seberapa pentingnyakah hubungan di masa lalu dari sisi pandang Eric? Bukankah lelaki sepertinya akan lebih mudah menggaet lawan jenis, apalagi bibirnya mampu meluncurkan ratusan rayuan yang bisa membuat mereka bertekuk lutut? Lantas, kenapa pula Eric harus bersusah payah mengejar Sherly hanya karena rasa ingin tahunya? Apa perlu Sherly menuliskan seratus alasan yang membuatnya memutuskan meninggalkan Eric agar lelaki itu segera menjauh?
Kepala Sherly menggeleng pelan. Dia tahu Eric bukan lelaki yang mudah menyerah walau ada jutaan alasan yang akan dikatakan Sherly. Gadis itu paham apa yang tengah dicari oleh mantan kekasihnya. Bodohnya, Sherly seperti sedang menggali kuburan sendiri kala mengambil kasus ini. Seharusnya dia tolak saja seperti kebiasaannya di kantor cabang agar tak perlu bertemu Eric yang terus-menerus meminta pertanggungjawaban atas rasa sakitnya lima tahun lalu. Setelah lelaki itu tahu kebenarannya, lalu apa? Memohon ampun agar hubungan mereka membaik walau statusnya sebagai mantan?
Tidak!
Dalam kamus percintaan Sherly, tidak pernah sekalipun ada keinginan untuk menjalin pertemanan dengan orang di masa lalu yang sudah membuat hidupnya terseok-seok. Sherly sudah mengikrarkan diri dan membangun tembok tinggi untuk tidak membiarkan Eric mencari celah dan masuk ke dalam hatinya seperti dulu. Lagi pula, di dunia yang memiliki milyaran lelaki ini, banyak yang rela antre mengajaknya kopi darat sampai merogoh lebih dalam isi dompet demi menyenangkan hatinya. Bak bunga penuh nektar yang tak akan habis diisap oleh para lebah kelaparan, Sherly tak perlu bergalau ria hanya karena kehilangan satu pria.
Roda empat bercat putih itu berhenti di area parkir gedung SCBD berbarengan dengan notifikasi W******p dari Sandra. Gadis yang rambutnya dicat cokelat gelap itu menyunggingkan senyum miring membalas pesan teks dari temannya dengan ikon hati dan jempol. Kebetulan malam ini jadwalnya sedikit longgar untuk menerima ajakan makan malam seorang pengusaha batik di Jakarta. Selain teman satu kantor, Sandra adalah mak comblang yang lebih mirip mucikari yang mengobral kecantikan Sherly.
Hidup hanya sekali jadi gunakan waktu sebaik mungkin untuk bersenang-senang. Itu moto hidup sang pengacara tiap menerima tawaran dari para buaya. Sayang, di antara para pengejar wanita itu, Sherly kerap kali mendapat tawaran untuk menjadi pendamping hidup. Berhubung, dia belum siap berkomitmen apalagi mengurus anak dan suami seumur hidup. Pada akhirnya, Sherly terpaksa menjadi neng ghosting sampai mendapat umpatan kalau gadis bertubuh langsing itu terlalu jual mahal.
Hei, apakah salah menolak laki-laki? pikir Sherly tak terima. Bukankah mereka juga melakukan hal yang sama dengan menebar daya tarik sampai memberikan harapan yang tidak bisa ditepati. Apa mereka pikir perempuan hanyalah manusia pemuas nafsu saja yang tunduk jika diberi segepok uang dan janji belaka. Ah, jika seperti itu, tak salah juga kalau angka perceraian sekarang makin meningkat. Terlebih pernikahan di jaman sekarang seperti selembar kertas yang ditanda tangani oleh dua manusia, bukannya mengikat janji di depan Sang Pencipta.
Selagi berjalan menuju kantor firma hukum di lantai lima tempatnya mengabdi, Sherly mendapat telepon dari salah satu lelaki yang sudah mengajaknya kencan buta. Hebatnya, meski sudah menghapus kontak dan memutus komunikasi, otak cemerlang Sherly mengingat nomor para buaya.
"Apa lagi?" ketus Sherly. "Gue udah punya cowok nih jadi enggak bisa jawab telepon enggak penting dari lo. Udah ya, gue sibuk!" Dia kembali mengakhiri percakapan itu dan memasukkan ponselnya ke dalam tas.
Dua bulan lalu, Sherly terpaksa menghapus nomor kontak Indra--lelaki berprofesi sebagai pemilik toko roti yang bolak-balik mengajaknya kencan lagi seperti tadi. Dia mencebik dan mengira kalau mode menghilang dan menghapus kontak sudah tak mempan. Sherly harus memutar otak untuk mencari cara lain agar tidak terhubung dengan pejantan kurang kasih sayang itu.
###
"Sher, ini ada kasus baru." Sandra menyerahkan sebuah berkas perkara kepada Sherly. "Pelecehan seksual di ojek online."
"Hadeh, kenapa otak cowok jaman sekarang makin enggak bener aja?" omel Sherly membaca cepat berkas itu.
"Korbannya pegawai bank swasta, kasihan dia sampai trauma," tambah Sandra mengabaikan keluhan Sherly dengan memberikan sebuah rekaman data. "Terus ini, dia bawa beberapa bukti termasuk video rekaman di flashdisk. Ah, iya ... kenapa lo tadi manggil gue sayang? Lo ketemu cowok kopi darat lo? Seingat gue ... gue enggak pernah ngenalin lo sama pengacara atau jaksa. Lo kan bilang sendiri anti-jaksa."
"Bisa enggak lo tanya gue satu-satu, Nek?"
"Habisnya ... lo tahu kan gue itu enggak sembarangan ngenalin lo, kecuali si Indra kampret itu," ucap Sandra. "Dia enggak neror lo lagi kan?"
"Apaan, tadi aja dia telepon gue. Lama-lama gue potong juga burungnya," ancam Sherly kesal. "Oh iya, masalah tadi gue ketemu--"
Tak sempat melanjutkan ucapannya tentang Eric kepada Sandra, ponsel Sherly lagi-lagi berdering. Lama-lama dia mirip customer service yang tidak bisa mengistirahatkan telinga barang sedetik pun. Melihat nomor asing yang muncul di layar handphone, mata bulat Sherly menyipit bersamaan sel-sel dalam otaknya membuka berkas demi berkas kiranya siapa yang memiliki nomor unik itu.
"Kayaknya enggak ada deh," gumam Sherly. "Apa telepon dari pinjaman bodong?"
"Siapa?" bisik Sandra penasaran melihat nomor asing yang masih muncul di layar ponsel Sherly. "Jawab aja, kalau ada yang bilang 'Mama minta pulsa' gue yang pasang badan."
Sherly menggeser ikon hijau dan suara bass dari si penelepon langsung terdengar. "Oh, enggak diblokir ternyata." Berikutnya si pemilik suara itu langsung mematikan sambungan telepon membuat Sherly membeliak mengenalinya.
"Ah! Si anak mami lagi!" gerutu Sherly ingin mencakar wajah Eric saat ini juga.
"Bukan urusan lo!" gertak Sherly menepis tangan Eric dan menutupi lehernya dengan rambut. "Lo beneran enggak move on ya sampai kepo siapa yang habis kasih cupang ke gue, tuh berkas dakwaan lo lain kali kudu lengkap!" sindirnya lagi lalu bergegas meninggalkan Eric."Enggak move on bukan berarti gue masih suka sama lo kali!" balas Eric menggema ruang sidang. "Dasar dada triplek!"Jika bukan di gedung pengadilan, mungkin satu tendangan maut di pangkal paha Eric bisa membuatnya bungkam. Entah dari mana ejekan dada triplek yang disematkan mantan padahal bentuk tubuhnya saat ini sudah banyak berubah. Belum lagi pandangan orang-orang yang mendengar cibiran Eric langsung mengarah ke Sherly yang dibalas sorot tajam. Dia mendengus sambil membatin apakah perlu menaikkan kegiatan gym-nya yang semula seminggu sekali jadi dua kali? Perlukah dia menggunakan baju lebih ketat lagi agar bola mata Eric yang sipit itu bisa melihat betapa indah dirinya sampai digilai banyak pria."Dia aja yang buta," guma
Rintihan penuh hasrat dua insan memenuhi mobil bercat hitam di parkir area dekat kelab kala bibir mereka saling mencecap. Beruntung posisi kendaraan milik Johan tidak terkena sorotan CCTV sehingga tak perlu takut kalau ada orang yang memergoki kemesumannya. Atmosfer terasa sangat panas sampai-sampai dua manusia yang dikuasai oleh gairah itu berpeluh butiran keringat. Tangan Johan bergerilya menelusuk masuk ke dalam gaun pendek Sherly untuk mencari-cari pusat tubuhnya. Begitu juga dengan Sherly, tangannya sudah sangat lihai menggoda milik Johan."Kenapa enggak sewa kamar aja sih?" bisik Johan di depan bibir bengkak Sherly. "Lo tahu betapa gue pengen bermain sama lo." Jempol kanannya mengusap bibir itu lembut.Sherly masih terengah-engah setelah cumbuan panas yang sungguh gila. Johan pintar juga, pikir gadis itu menilai kepiawaian Johan memanjakannya sampai pusat tubuhnya membutuhkan pelampiasan. Sekuat tenaga, dia mengumpulkan sisa-sisa kewarasan yang sempat menghilang entah ke mana, m
Memulas bibir sensual dengan lip cream merah menyala lalu menyemprotkan parfum Chanel yang manis nan segar membuat penampilan Sherly lebih mirip pelakor siap merebut lelaki orang. Dia kembali merapikan tatanan rambut panjang yang sengaja dikeriting bagian tengah hingga ujung rambut agar terkesan bervolume. Sementara balutan mini dress satin hitam dengan spageti strap menonjolkan lekukan tubuh terutama dada yang bisa membuat para buaya lupa daratan. Sherly patut memberikan seratus jempol pada orang yang berhasil menciptakan push up bra tanpa harus membuatnya melakukan implan."Pantas saja si Eric enggak bisa move on dari gue," gumam Sherly menatap pantulan wajahnya dari cermin penuh percaya diri. "Cewek seksi badass gini, mana bisa dia cari lagi."Usai menemui klien yang mengalami pelecehan seksual untuk mengumpulkan keterangan di acara persidangan nanti, Sherly langsung berganti jadwal untuk berjumpa dengan lelaki pengusaha batik yang dikenalkan oleh Sandra di Fable yang ada di lantai
"Najong!" pekik Sandra melalui sambungan telepon usai teman satu kantornya itu memanggil sebutan sayang. "Geli gue!""Apalagi gue," tandas Sherly masuk ke dalam mobil Honda Brio putih dan menekan loudspeaker ."Gue ogah punya cewek mak lampir kayak lo," sembur Sandra."Gue juga males punya cewek jorok mata duitan kayak lo," balas Sherly meraih botol mineral dari drink holder, meneguk cepat melintasi kerongkongan yang terasa kering setelah percakapan tak pentingnya dengan Eric. Beruntung panggilan dari Sandra bisa mengakhiri dan seakan Tuhan tahu kalau Sherly enggan berlama-lama melakukan kontak dengan lelaki sok ganteng itu. "Tapi, gue sayang sama lo, Nek.""Gue juga, Mak," kata Sandra cekikikan. "Gue sampe lupa mau nelepon lo buat apa. Udah ah, gue tunggu di kantor!"Sambungan telepon terputus, Sherly menghela napas panjang dan mengembuskan melalui mulut mengeluarkan segala kerisauan yang menggerombol dalam dada. Mengelus lengan yang tertutupi blazer cream berpotongan tiga perempat y
Kenapa di sini suasananya terasa pengap dan panas? batin Sherly mengibaskan tangan. Dia paham kalau udara di Jakarta selalu terasa membakar kulit, tapi sekarang di ruang sidang ini rasanya Sherly masuk ke dalam sebuah mesin pemanggang.Padahal ada empat mesin pendingin yang menyala untuk meredam emosi yang mungkin bisa terjadi selama proses peradilan atau bisa jadi gejolak perasaan yang mulai mendesak.Entah mencari kejelasan atau memulai kembali apa yang dulu pernah terjadi. Sherly tak mau terlalu percaya diri hanya karena Eric kemarin menanyainya tentang kejadian lima tahun lalu.Lihat saja sekarang, sang mantan yang menatap nyalang seakan ingin sekali mencaploknya hidup-hidup. Sherly membalas sorot mata sipit itu tanpa rasa takut sementara telinganya mendengar hakim Setyo tengah membuka persidangan."Apakah penasihat hukum sudah siap dengan pembacaan eksepsi?" tanya hakim Setyo."Iya, Yang Mulia," jawab Sherly lalu membuka dokumen eksepsi yang yang sudah disiapkan. "Nota keberatan
Bajingan!Umpatan kasar ini harusnya bisa menyembur tepat mengenai sosok itu. Sayang, semua hanya tertahan di rongga dada menyisakan sebuah gumpalan sebesar bola tenis. Beruntung dia tak sampai perlu bantuan oksigen atau bantuan pijat jantung kala iris mata lentiknya menatap lurus ke arah lelaki yang mengenakan toga hitam menunggu hakim membuka persidangan. Jangan tanya bagaimana desiran darahnya mengalir sekarang, justru tidak ada kejut listrik yang mampu mendebarkan dada melihat wajah berbingkai rahang tegas di sana tak banyak berubah. Alih-alih meniti mahakarya Sang Pencipta, pulasan gincu merah Sherly mencibir, memaksa alam bawah sadarnya untuk tetap fokus.Kliennya seorang lelaki berusia empat puluh tahunan meminta hak pendampingan hukum. Ini pertama kali dia mendampingi kalangan pencuri yang tergabung dalam jaringan curanmor. Sejujurnya, kehidupan menjadi seorang penasihat hukum tak jarang berbanding terbalik dengan hati nurani. Sering kali mereka dituntut untuk membela mereka y